Maret 2020

بِسْـــــــــــــــمِ اللّٰه الرَّحْمَنِ الرَّحِيـــمِ
 اَلسَلامُ عَلَيْكُم وَرَحْمَةُ اَللهِ وَبَرَكاتُهُ

Habib Sholeh Tanggul : "Selamat Tinggal Penyakit"

Seiring hebohnya berita tentang virus Corona yang tak kunjung usai sampai detik ini, saya kembali teringat kisah tentang karomah Habib Sholeh Tanggul. Kisah ini saya dengar langsung dari KH. Tajul Mafakhir (Gus Tajul) putra Yai Utsman Al-Ishaqi.

Ceritanya : Pernah di suatu desa tersebar penyakit mematikan yang dinamakan penyakit ‘makdeblug’. Orang kalau kena penyakit ini di siang hari, sorenya langsung mati. Kalau kena sore, malamnya langsung mati. Di tengah kepanikan yang melanda penduduk desa, Akhirnya ada seorang penduduk yang datang ke Tanggul membawa sebotol air agar didoakan Habib Sholeh Jember. Habib Sholeh mengambil air itu dan mendoakannya. Ajaib, setelah meminum air barokah dari Habib Sholeh itu, ia langsung sembuh total dari penyakitnya.

Berita kesembuhannya pun tersebar ke seantero desa. Keesokan harinya masyarakat desa sebanyak 3 truck datang ke kediaman Habib Sholeh untuk tujuan yang sama : meminta air barokah. Habib Sholeh tentu kaget dan bingung, ada apa orang sebanyak itu tiba-tiba datang ke rumahnya? Setelah mengetahui maksud kedatangan mereka, Habib Sholeh memanggil perwakilan penduduk desa itu.

“Begini saja, di desa kalian ada danau?” tanya Habib Sholeh.

“Ada bib..”

Habib lalu mengambil secarik kertas, menuliskan sesuatu, menggulungnya lalu berkata:

“Ini kertas lemparkan di danau kalian, nanti semua penduduk suruh minum dari situ”

“Baik bib.. ”

Mereka lalu pulang dan melaksanakan apa yang di perintahkan Habib Sholeh. Dan keajaiban datang, semua penduduk yang minum dari air danau itu sembuh dan sehat wal afiat. Tidak ada satupun yang mati oleh penyakit mengerikan tersebut.

Lurah desa takjub sekaligus penasaran apa kira-kira tulisan dibalik kertas ajaib itu ? Ia lalu pergi ke danau dan mengambil lagi kertas itu.

Ia membukanya dan mencoba membaca tulisan yang ada di dalamnya. Ternyata, yang ditulis dalam kertas itu bukan Ayat Al-Quran, rajah-rajah Arab atau semacamnya. Disitu hanya terdapat sebuah tulisan latin yang berbunyi:

“SELAMAT TINGGAL PENYAKIT.. ”

Kami tertawa ketika mendengar cerita  itu.. Ah.. Begitulah para kekasih Allah dan para kesayangan-Nya, semua yang mereka mau dan inginkan pasti akan Allah turuti. Lahum Maa Yasyaa’uuna ‘Inda Rabbihim.

Dengan Barokah Habib Sholeh dan para kekasih Allah lainnya.. Semoga Allah menjaga kita dari segala penyakit, Bala', Musibah dan mara bahaya.. Aamiin

اللهم صل على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم

Kiriman : Mas Dody


FILOSOFI JAWA

1. Urip Iku Urup
(Hidup itu Nyala, Hidup itu hendaknya memberi manfaat bagi orang lain disekitar kita, semakin besar manfaat yang bisa kita berikan tentu akan lebih baik)

2. Memayu Hayuning Bawono, Ambrasto Dur Hangkoro
(Manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak)

3. Suro Diro Joyo Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti
(segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hny bisa dikalahkan dgn sikap bijak, lembut hati dan sabar)

4. Ngluruk Tanpo Bolo, Menang Tanpo Ngasorake, Sekti Tanpo Aji-Aji, Sugih Tanpa Bondho
(Berjuang tanpa perlu membawa massa; Menang tanpa merendahkan atau mempermalukan; Berwibawa tanpa mengandalkan kekuatan; kekayaan ; kekuasaan; keturunan; Kaya tanpa didasari kebendaan)

5. Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan
(Jangan gampang sakit hati manakala musibah menimpa diri; Jangan sedih manakala kehilangan sesuatu)

6. Ojo Gumunan, Ojo Getunan, Ojo Kagetan, Ojo Aleman
(Jangan mudah terheran-heran; Jangan mudah menyesal; Jangan mudah terkejut-kejut; Jangan mudah kolokan atau manja)

7. Ojo Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan Lan Kemareman
(Janganlah terobsesi atau terkungkung oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan duniawi).

8. Ojo Kuminter Mundak Keblinger, Ojo Cidra Mundak Cilaka
(Jangan merasa paling pandai agar tidak salah arah;Jangan suka berbuat curang agar tidak celaka)

9. Ojo Milik Barang Kang Melok, Aja Mangro Mundak Kendo
(Jangan tergiur oleh hal-hal yang tampak mewah, cantik, indah; Jangan berfikir mendua agar tidak kendor niat dan kendor semangat)

10. Ojo Adigang, Adigung, Adiguno
(Jangan sok kuasa, sok besar, sok sakti).

Kiriman : Mas Dody


Dalam kondisi saat ini, membaca BUKU JEJAK ULAMA NUSANTARA yang berisi tentang :

"SEJARAH DESA, CIKAL BAKAL, ULAMA SE-KABUPATEN KUDUS" merupakan kegiatan yang sangat cocok dan pas.

Agar kita "TIDAK KEPATEN OBOR DAN ORAK LALI WETONE". BUKU ADA 9 JILID. (Punten .. jilid 1 harga berubah).

Minat, bisa hubungi :
085876233330, 085876233336

#LsmAqilaQuds
#AlmasBatrisyia 

Salam Ahad pagi

Allah SWT berfirman:

أَفَرَءَيۡتُمُ ٱللَّٰتَ وَٱلۡعُزَّىٰ

(Setelah kamu - wahai kaum musyrik Makkah - mendengar keterangan yang membuktikan kekuasaan dan keagungan Allah) maka adakah kamu nampak bahawa "Al-Laat" dan "Al-Uzza" -

وَمَنَوٰةَ ٱلثَّالِثَةَ ٱلۡأُخۡرَىٰٓ

Serta "Manaat" yang ketiga, yang bertaraf rendah lagi hina itu (layak disembah dan dianggap sebagai anak-anak perempuan Allah)?

Antara huraian An-Najm: 19-20

Dua ayat ini sebagai perbandingan, setalah pada ayat-ayat sebelumnya menyebut baginda, malaikat Jibril dan Allah.

Ayat ini menyebut tiga berhala yang diagungkan oleh kafir Quraish khasnya juga orang Arab Jahiliyyah pada amnya.

Laata, Uzza dan Manaat, ketiganya dianggap sebagai anak perempuan Allah, Tuhan sekalian alam, mereka mengenal Tuhan Allah, tapi mereka tidak boleh memahaminya, tidak tahu bagaimana menyembahnya.

Maka mereka menciptakan tiga berhala sebagai alat mediator, penengah dan penghubung kepada tuhan Allah, fikir mereka.

Namun anehnya, mereka menganggap ketiga berhala itu perempuan, sedangkan mereka tidak suka anak perempuan, mereka lebih menyukai anak lelaki.

Seakan, ianya juga penghinaan kepada Allah, memberikan sesuatu yang tidak mereka sukai kepada Allah.

Jadi, ayat ini membuka minda dan membuka kenyataan yang ada.

Kata Laata (اللات), sesudah Lam ditulis huruf Alif, ianya untuk membezakan tulisan Allah yang tanpa alif (اللّٰه), ia diyakini sebagai Tuhan perempuan atau anak perempuan Tuhan.

Menjadi kebiasaan orang Quraish, jika mahu mengerjakan sesuatu, mereka menyebut : Dengan nama Laata, Dengan nama Uzza (بسم اللات بسم العزى).

Kata Manaat disebut yang terakhir, ianya berhala yang paling banyak dipuja. Ianya disebut Allah secara tersendiri kerana ia terpisah ketika disebut mereka, mereka menyebut kedua anak tuhan yang di atas tanpa menyebut Manaat.

Ketiganya merupakan hasil pikiran dan pengaruh kaum Nabatean (Petra) dan Romawi dalam pencarian untuk penjelmaan Tuhan.

Adakah ketiganya sama mempunyai kehebatan dengan kehebatan tiga nama utama dalam Islam (Allah, Jibril dan Muhammad)?, sehingga layak disembah?

Tentunya tidak.

Wallahu a'lam

M Zuhal A Lathif
Floral Spring @ Yishun
Singapore, 29 Mac 2020

Al-Amanah
Hidup Berkah, Dengan Al-Quran


Salam Sabtu pagi

Allah SWT berfirman:

عِندَهَا جَنَّةُ ٱلۡمَأۡوَىٰٓ

Yang di sisinya terletak Syurga "Jannatul-Makwa".

إِذۡ يَغۡشَى ٱلسِّدۡرَةَ مَا يَغۡشَىٰ

(Nabi Muhammad melihat jibril dalam bentuk rupanya yang asal pada kali ini ialah) semasa " Sidratul Muntaha" itu diliputi oleh makhluk-makhluk dari alam-alam ghaib, yang tidak terhingga.

مَا زَاغَ ٱلۡبَصَرُ وَمَا طَغَىٰ

Penglihatan (Nabi Muhammad) tidak berkisar daripada menyaksikan dengan tepat (akan pemandangan yang indah di situ yang diizinkan melihatnya), dan tidak pula melampaui batas.

لَقَدۡ رَأَىٰ مِنۡ ءَايَٰتِ رَبِّهِ ٱلۡكُبۡرَىٰٓ

Demi sesungguhnya, ia telah melihat sebahagian dari sebesar-besar tanda-tanda (yang membuktikan luasnya pemerintahan dan kekuasaan) Tuhannya.

Antara huraian An-Najm: 15-18

Pada huraian sebelumnya (ayat 14), disebut kalimat Sidratul Muntaha, ada yang menafsirkan, ianya peristiwa  Mikraj baginda, masa yang kedua kalinya baginda melihat jasad Jibril dalam bentuk aslinya.

Sidratul Muntaha itu tempat yang mulia, di langit ke tujuh, ada pendapat lain, ianya pokok istimewa di langit yang sama.

Di sana ada Syurga Ma'wa, ini hanya menunjukkan tempat yang mulia, hakikatnya tempatnya itu tiada sesiapa yang tahu.

Di sana, baginda melihat berbagai kejadian dan keadaan tanda keagunganNya, yang tinta dan pena tidak cukup untuk menerangkan atau menulisnya.

Mata baginda melihat yang benar, tidak berlebihan ketika baginda bercerita mengenainya.

Sila rujuk cerita Isra dan Mikraj untuk lebih lengkapnya.

Wallahu a'lam

M Zuhal A Lathif
Floral Spring @ Yishun
Singapore, 28 Mac 2020

Al-Amanah
Hidup Berkah, Dengan Al-Quran

PERNYATAAN SIKAP SYAIKHINA KH. MUHAMMAD NAJIH MAIMOEN TERKAIT COVID-19

بسم الله الرحمن الرحيم

    الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على سيدنا محمد، وعلى آله وصحبه أجمعين، أما بعد:    

Kami sangat prihatin sekali dengan langkah Pemerintah Indonesia terkait penanggulangan Virus Covid-19. Di satu sisi, pemerintah berencana menutup pasar-pasar dan tempat-tempat ibadah, dengan dalih meminimalisir penyebaran virus Corona. Sedangkan di sisi lain Supermarket, Swalayan, Minimarket, AlfaMart, IndoMart dan bank, masih diizinkan buka. 

Kalau kebijakan ini benar-benar direalisasikan, bagaimana nasib perekonomian rakyat menengah ke bawah? Bagaimana pula nasib pedagang kaki lima (PKL) yang di suruh tutup, sementara setiap harinya mereka butuh makan, menafkahi keluarga, membayar tanggungan listrik, PDAM dan kebutuhan lainnya. Mereka rakyat kecil yang hidupnya bergantung dengan berjualan di pasar, buka warung di pinggir jalan sebagai pedagang asongan. Jangan samakan mereka dengan pegawai negeri (PNS), yang tetap mendapat gaji meski diliburkan. Sedari awal, katanya pemerintah menghimbau kepada masyarakat agar tenang dan tidak panik, namun kenapa sekarang membuat kebijakan ganjil yang justru menimbulkan kegaduhan dan kepanikan baru di tengah masyarakat.

Jika pemerintah tetap bersikukuh menerapkan kebijakan tersebut, maka harus dimbangi dengan solusi yang tepat, yakni menjamin semua kebutuhan pokok rakyatnya, seperti mensuplai beras, makanan-minuman dan kebutuhan sehari-hari, memberi subsidi listrik dan air bersih, dan menunda tagihan-tagihan yang membebani rakyat untuk sementara waktu. Dalam hal ini, baitul mal dan orang-orang kaya akan memainkan peranan besarnya, Syaikh Ibn Hajar al-Haitami dan  Syaikh Syamsuddin ar-Ramli menandaskan;

ومن ثم منع نحو أبرص وأجذم من مخالطة الناس، وينفق عليهم من بيت المال أي: فمياسيرنا فيما يظهر

“Oleh Karenanya, penderita penyakit belang dan kusta, lepra dilarang keras berinteraksi dengan masyarakat, dan Baitul Mal yang akan menanggung biaya hidupnya, lalu kemudian para donator kaya…” (Tuhfatul Muhtaj, 2/276, Nihayatul Muhtaj 2/160). 

Namun jika melihat neraca keuangan negara saat ini, rasanya mustahil pemerintah bisa menerapkan solusi demikian.  Alangkah baiknya jika rezim ini meminta bantuan para taipan naga sembilan, yang katanya menjadi mitra terdekatnya, siapa tau mereka mau membantu, slogannya aja paling pancasialis, paling patriot!  

Bahkan belakangan ini, presiden mewacanakan untuk pembelian obat malaria dan vaksin yang akan diuji coba untuk pengobatan corona, padahal menurut informasi, obat itu belum jelas khasiatnya, bukan untuk mengobati, tapi justru malah menambah parah. Langkah pemerintah untuk membeli obat pun terkesan terlambat karena di mana-mana korban sudah berjatuhan. Lalu siapa yang bertanggungjawab? Jelas pemerintah! karena selama ini telah lalai dan terkesan diam dan acuh tak acuh terkait virus corona tersebut.

Pengadaan obat-obat tersebut juga rawan dijadikan proyek korupsi seperti kasus megakorupsi jiwasraya, ASABRI dll. Pemerintah juga menolak usulan lockdown secara Nasional, mungkin tujuannya agar  WNA dan investor China tetap leluasa keluar-masuk di negeri ini, sebab kedatangan mereka memang menguntungkan secara materi. Disamping itu, pemerintah tidak memiliki cukup biaya untuk menerapkan lockdown. Kenapa opsi penyelamatan via lockdown tidak diusahakan, padahal beberapa negara sudah bisa mengendalikan virus Covid-19 dengan kebijakan lockdown. Apalagi jauh-jauh hari, syari’at Islam sudah mengintruksikan lockdown jika suatu daerah terkenah wabah penyakit/ Tho’un, pun demikian WHO, organisasi terbesar di dunia dalam bidang kesehatan juga sudah merekomendasikan, lalu apa keberatan pemerintah melaksanakan ikhtiar baik ini? ataukah pemerintah sudah menyiapkan gebrakan baru untuk menangani pandemi? Semoga saja! Kami sangat menyayangkan sikap pemerintah, yang ketika dikritik soal penanganan virus corona, malah justru meminta bantuan kepada para nelayan dan buruh, padahal hak mereka sudah dikebiri dengan UU Omnibus Law. 

Dalam menghadapi krisis, hendaknya pemerintah meningkatkan kepercayaan publik, menghindari statement controversial, menghentikan pembiayaan para Buzzer yang bertugas menyerang rakyat yang kontra pemerintah. Untuk saat ini, mungkin lockdown adalah langkah paling jitu meminimalisir penyebaran Covid-19, jika pemerintah tidak ingin negaranya bernasib seperti Italia, Spanyol, Iran dan Korea, maka segera lakukan lockdown, tentunya dengan menyiapkan sarana dan prasarana yang memadai! sebab kemaslahatan umat menjadi prioritas utama. Qowa’idl Fiqhiyyah menandaskan;

تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة

“Kebijakan pemimpin terhadap rakyat harus berdasarkan kemaslahatan”

Kami sangat keberatan jika aktifitas shalat jama’ah, shalat jum’at, berjabat tangan sesama muslim satu jenis, kegiatan belajar-mengajar dalam sekolah dan madrasah dilarang (sebagaimana difatwakan oleh MUI) hanya karena ketakutan berlebihan dengan penularan Covid-19, lalu kemudian dikorelasikan dengan Qoidah fiqhiyyah yang berbunyi;

درء المفاسد مقدم على جلب المصالح

“Mencegah bahaya lebih didahulukan dari pada menarik kemaslahatan”

Padahal jika dianalisis lebih lanjut, penerapan Qoidah ini untuk realitas NKRI secara keseluruhan justru mengarah pada cacat argumentasi, pasalnya virus Covid-19 ini belum menjangkiti seluruh penduduk Indonesia, sehingga komparasi penakaran antara maslahat dan mafsadah tidak berimbang. Jadi untuk konteks NKRI, mafsadah yang ditimbulkan Covid-19 masih mauhumah (belum nyata), sedangkan maslahat sholat jama’ah dan sholat jum’at sudah muhaqqoqoh (nyata), jika realitanya demikian, mestinya terkena Qoidah fiqhiyyah yang berbunyi: 

لا يجوز تعطيل المصالح المحققة أو الغالبة خوفا من وقوع المفاسد الموهومة أو النادرة

“Tidak boleh mengabaikan maslahat yang sudah nyata, hanya karena takut terjerumus pada mafsadah yang belum nyata atau yang langka” (al-Qowa’id al-Kubro:89)

Sehingga larangan sholat berjama’ah atau sholat jum’at atas dasar mafsadah mauhumah tidak memiliki relevansi dalil syar’i, bahkan jika ditelisik lebih detail menurut nalar fiqhiyyah, untuk skala nasional, Sholat jama’ah dan sholat jum’at tidak boleh dilarang, dengan pertimbangan sebuah Qoidah Fiqhiyyah:

   المصلحة المحققة مقدمة على المفسدة الموهومة 

“Kemaslahatan yang nyata wajib didahulukan dari pada mafsadah yang belum nyata”

Jika mereka berdalih, Covid-19 lebih bahaya dari pada udzur-udzur shalat jama’ah-jum’at yang tertera dalam kutubussalaf, jadi melarang aktifitas sholat berjama’ah-sholat jumat lebih awlawi. Maka kami jawab, udzur-udzur yang tertera dalam fiqh seperti sakit, hujan, dan lain sebagainya itu sifatnya personal (berlaku bagi perorangan) bukan komunal (berlaku bagi semua orang), jadi perlu penjernihan pemahaman terhadap teks fiqhi, agar tidak salah dalam menginterpretasikan kalamul fuqoha’. 

Beda halnya jika suatu daerah sudah ditetapkan darurat Covid-19, seperti Jakarta misalnya, kami sendiri belum mengetahui detail permasalahannya, Wallahu a’lam. Akan tetapi yang harus dicatat, perlu adanya pemilahan yang selektif, kan tidak semua desa di Jakarta terdampak Covid-19, sehingga satu desa dengan desa yang lain harus ada standar hukum yang berbeda, hal ini karena memperhatikan hukum kewajiban mendirikan sholat jum’at pakai standar Suurul balad (batas desa), sehingga masing-masing desa memiliki hukum tersendiri (لكل بلد حكمه), jadi tidak boleh di-gebyah uyah. 

Oleh karenanya, masih terkena hukum wajib jum’atan bagi setiap orang yang tidak terpapar Covid-19, meski pada pelaksanaannya, jumlah peserta jumatan tidak mencapai 40 orang, karena masih banyak qoul ulama yang memperbolehkan mendirikan jum’atan dengan peserta kurang dari 40 orang. Walhasil jangan sampai terjadi Ta’thilul masjid anil jama’ah wal jum’ah. 

Adapun jika ada warga yang terpapar positif Covid-19, maka pemerintah harus mengisolasinya, menangani secara khusus, ia tidak boleh berinteraksi dengan orang lain, sebagaimana konsep fiqh melarang penderita penyakit lepra, kusta dan belang. Ia tidak boleh menghadiri sholat jama’ah dan sholat jum’at di masjid, karena bahaya penularannya sangat besar. Jadi sangat tidak masuk akal melarang seseorang yang masih sehat untuk pergi ke masjid karena dikhawatirkan terkena Covid-19, dengan melalui pendekatan analogi terhadap penderita lepra dan kusta, ini jelas qiyas ma’al fariq! 

Bahkan menurut hemat kami, jika ada sekelompok orang yang hidup di kawasan zona merah, karena ketebalan keimanannya, mereka berani keluar ke masjid untuk menunaikan shalat jama’ah-shalat jum’at, atau keluar dari rumahnya untuk mencari nafkah keluarga, lalu kemudian mereka wafat karena tertular Covid-19, maka sungguh mereka tergolong syuhada’, bukan sebagai orang yang mati konyol karena bunuh diri (ilqo’unnfasi ila attahlukah), sebagaimana digembar-gemborkan oleh sebagian fatwa. 

Mari kita buka kembali lembar sejarah Rasulullah SAW dan generasi salafussholih dalam menghadapi wabah/ tho’un, apakah dari mereka ada yang sampai offside menutup masjid, atau bahkan Ka’bah?! Simak penjelasan di bawah ini: 

ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻨﻬﺎ ﺯﻭﺝ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻟﺖ ﺳﺄﻟﺖ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻦ اﻟﻄﺎﻋﻮﻥ ﻓﺄﺧﺒﺮﻧﻲ ﺃﻧﻪ ﻋﺬاﺏ ﻳﺒﻌﺜﻪ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﻳﺸﺎء ﻭﺃﻥ اﻟﻠﻪ ﺟﻌﻠﻪ ﺭﺣﻤﺔ ﻟﻠﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﻟﻴﺲ ﻣﻦ ﺃﺣﺪ ﻳﻘﻊ اﻟﻄﺎﻋﻮﻥ ﻓﻴﻤﻜﺚ ﻓﻲ ﺑﻠﺪﻩ ﺻﺎﺑﺮا محتسبا ﻳﻌﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺼﻴﺒﻪ ﺇﻻ ﻣﺎ ﻛﺘﺐ اﻟﻠﻪ ﻟﻪ ﺇﻻ ﻛﺎﻥ ﻟﻪ ﻣﺜﻞ ﺃﺟﺮ ﺷﻬﻴﺪ.

“Sayyidah Aisyah ra bertanya pada Nabi saw tentang tha’un. Nabi saw menceritakan bahwa sesungguhnya tha’un itu merupakan adzab yang dikirim Allah swt pada siapa yang dikehendaki, dan Allah menjadikannya rahmat bagi orang-orang mukmin. Tidaklah seseorang tertimpa tha’un, lalu berdiam di tempat dengan sabar, mengisolasi diri, mengerti tidak ada yang mengenainya selain apa yang telah ditetapkan Allah padanya, kecuali baginya ada pahala seperti mati syahid” (HR. Bukhari: 4/213, no: 3287).

Perlu dicatat, menurut riwayat hadits-hadits shohih, terlebih shohih al-Bukhari, larangan keluar bagi penduduk daerah terdampak tho’un itu adalah keluar dari desa/kota, bukan dari rumah, sebaimana yang diviralkan. Memang ada riwayat imam Ahmad bin Hanbal menggunakan redaksi (fi baitihi) sebagai ganti (fi baladihi), akan tetapi sesuai disiplin ilmu mustholah hadits, kita harus mendahulukan Imam Bukhari, yang lebih shohih. Atau begini, maksud redaksi (fi baitihi) dalam riwayat Imam Ahmad, adalah keluar dari kamar, karena lafadz bait belum tentu bermakna rumah. Jadi pemahaman hadits versi riwayat Imam Ahmad demikian: “Bagi seseorang yang terdampak tho’un, hendaknya ia mengisolasi diri dengan menetap di dalam kamar”. Karena jika hadits ini diartikan larangan keluar rumah, maka akan berkonsekuensi pada larangan sholat berjamaah, sholat jumat, pengurusan jenazah, pencarian nafkah, dan seterusnya, sebagaimana isi kandung fatwa MUI Pusat/ MUI Jateng, apalagi dengan landasan kitab Badzlul Ma’un fi Fadli tho’un!    

Karena itu, kami menolak dengan tegas fatwa-fatwa MUI, pusat maupun daerah, ataupun himbauan dari ormas-ormas tertentu, yang mengajak umat Islam untuk meninggalkan sholat jama’ah, sholat jumat, dan menjauhi masjid. Ini sungguh musibah besar bagi umat Islam, Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. 

Menurut hemat kami, Covid-19 belum termasuk kategori tho’un, karena korbannya masih jauh dari tho’un tempo dulu, kalau dulu sampai puluhan ribu, dan memang nyata penyakit yang turun dari langit. Kami sangat curiga, Covid-19 ini bukan penyakit alami, namun sebuah rekayasa besar musuh-musuh Islam, terlebih Zionis-Komunis, untuk menghancurkan tatanan syari’at Islam. Temuan-temuan bukti kongkrit akhir-akhir ini, seperti informasi Covid-19 merupakan virus biologis yang dijadikan senjata pemusnah masal oleh negara tertentu, semakin menelanjangi watak bengis musuh-musuh Islam.  

Rasululullah SAW pernah menolak bersalaman dengan seorang lelaki dari delegasi Tsaqif, yang menderita kusta, yang hendat baiat kepada Nabi Muhammad SAW.
وَأَخْرَجَ مُسْلِمٌ مِنْ حَدِيثِ عَمْرِو بْنِ الشَّرِيدِ الثَّقَفِيِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كَانَ فِي وَفْدِ ثَقِيفٍ رَجُلٌ مَجْذُومٌ فَأَرْسَلَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا قَدْ بَايَعْنَاكَ فَارْجِعْ.

“Dalam delegasi Tsaqif (yang akan dibai’at Rasulullah SAW) terdapat seorang laki-laki berpenyakit kusta. Maka Rasulullah mengirim seorang utusan supaya mengatakan kepadanya: “Kami telah menerima bai’at Anda. Karena itu Anda boleh pulang.” (HR. Muslim).  

إن عمر خرج إلى الشام فلما كان بسرغ بلغه أن الوباء قد وقع بالشام فأخبره عبد الرحمن بن عوف أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال إذا سمعتم به بأرض فلا تقدموا عليه وإذا وقع بأرض وأنتم بها فلا تخرجوا فرارا منه. صحيح البخاري (5/ 2164)

“Suatu ketika Umar bin Khatthab pergi ke Syam. Setelah sampai di Sargh, dia mendengar bahwa wabah penyakit sedang melanda di Syam. Maka ‘Abdurrahman bin ‘Auf mengabarkan kepadanya bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: “Apabila kamu mendengar wabah berjangkit di suatu negeri, maka janganlah kamu datangi negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, janganlah kamu keluar dari negeri itu karena hendak melarikan diri darinya”. (Hadits Riwayat Bukhari)

Rasululullah SAW pernah menolak bersalaman dengan seorang lelaki dari delegasi Tsaqif, yang menderita kusta, yang hendat baiat kepada Nabi Muhammad SAW.
وَأَخْرَجَ مُسْلِمٌ مِنْ حَدِيثِ عَمْرِو بْنِ الشَّرِيدِ الثَّقَفِيِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كَانَ فِي وَفْدِ ثَقِيفٍ رَجُلٌ مَجْذُومٌ فَأَرْسَلَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا قَدْ بَايَعْنَاكَ فَارْجِعْ.

“Dalam delegasi Tsaqif (yang akan dibai’at Rasulullah SAW) terdapat seorang laki-laki berpenyakit kusta. Maka Rasulullah mengirim seorang utusan supaya mengatakan kepadanya: “Kami telah menerima bai’at Anda. Karena itu Anda boleh pulang.”

Sebuah kisah diriwayatkan dari shahabat Amr bin Al-Ash RA, beliau berkata:
“Ketika mewabahnya penyakit, bangkitlah sahabat Abu Ubaidah bin Al-Jarrah R.A. diantara umat lalu berkata: “Wahai manusia, sesungguhnya penyakit ini adalah rahmat dari Tuhan kalian dan panggilan dari Nabi kalian, juga (menyebabkan) kematian orang-orang sholih sebelum kalian, dan Abu Ubaidah memohon kepada Allah SWT agar mendapatkan bagian penyakit itu untuknya, sehingga terjangkitlah beliau dan wafatlah ia. Lalu Muadz bin Jabal R.A. menggantikannya memimpin umat, lalu ia bersabda kepada khalayak dan berkata sebagaimana Abu Ubaidah R.A. berkata namun ia menambahkan dengan permohonan agar keluarganya pun mendapatkan penyakit tersebut, maka terjangkitilah putranya bernama Abdurrahman dan meninggallah, maka beliaupun berdoa bagi dirinya maka terjangkitilah ia seraya berkata: “Dengan ini, aku tidak mencintai sedikitpun bagianku di dunia.” lalu wafatlah beliau, dan kemudian digantikan oleh Amru bin Al-Ash R.A., ketika menjadi pemimpin menggantikan pendahulunya namun berbeda pandangan dengan mereka, beliau berseru kepada khalayak umat dengan mengatakan: 

أيها الناس ! إن هذا الوجع إذا وقع فإنما يشتعل اشتعال النار فتحصّنوا منه في الجبال.

“Wahai manusia, sesungguhnya penyakit ini apabila menimpa maka ia akan bekerja bagaikan bara api maka bentengilah dari penyakit ini dengan berlari ke gunung-gunung.” (Diriwayatkan dari Imam Ibn Hajar Al-Asqalani dalam kitab Badzlul Maa’un hal 163)

Perhatikan dan renungi dengan seksama fakta-fakta sejarah diatas, jangan gegabah melarang aktifitas sholat berjama’ah dan sholat jum’ah hingga menyebabkan pengosongan dan penutupan masjid, terlebih Ka’bah dan Masjid Nabawi, apa kalian tidak takut ancaman Allah SWT dalam firmannya: 

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ مَنَعَ مَسَاجِدَ اللَّهِ أَنْ يُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ وَسَعَى فِي خَرَابِهَا أُولَئِكَ مَا كَانَ لَهُمْ أَنْ يَدْخُلُوهَا إِلَّا خَائِفِينَ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ[البقرة: 114]

“Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang melarang di dalam masjid-masjid Allah untuk menyebut nama-Nya, dan berusaha merobohkannya? Mereka itu tidak pantas memasukinya kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka mendapat kehinaan di dunia dan di akhirat mendapat azab yang berat”. (Q.S. Al Baqarah : 114)

Apa kalian sudah tidak mantep dengan keutaman memakmurkan masjid yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW. 

إِنَّ اللهَ تَعَالَى إِذَا أَنْزَلَ عَاهَةً مِنَ السَّمَاءِ عَلَى أَهْلِ الأرْضِ صُرِفَتْ عَنْ عُمَّارِ الْمَسَاجِدِ. 

“Sesungguhnya apabila Allah ta’ala menurunkan penyakit dari langit kepada penduduk bumi maka Allah menjauhkan penyakit itu dari orang-orang yang meramaikan masjid.” (Hadits riwayat Ibnu Asakir (juz 17 hlm 11) dan Ibnu Adi (juz 3 hlm 232)

إِذا أرَادَ الله بِقَوْمٍ عاهةً نَظَرَ إِلَى أهْلِ المَساجِدِ فَصَرَفَ عَنْهُمْ 

“Apabila Allah menghendaki penyakit pada suatu kaum, maka Allah melihat ahli masjid, lalu menjauhkan penyakit itu dari mereka” (Riwayat Ibnu Adi (juz 3 hlm 233); al-Dailami (al-Ghumari, al-Mudawi juz 1 hlm 292 [220]); Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashbihan (juz 1 hlm 159); dan al-Daraquthni dalam al-Afrad (Tafsir Ibn Katsir juz 2 hlm 341).

يَقُولُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: ” إِنِّي لَأَهُمُّ بِأَهْلِ الْأَرْضِ عَذَابًا فَإِذَا نَظَرْتُ إِلَى عُمَّارِ بُيُوتِي والْمُتَحَابِّينَ فِيَّ والْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ صَرَفْتُ عَنْهُمْ “

“Allah عز وجل berfirman: “Sesungguhnya Aku bermaksud menurunkan azab kepada penduduk bumi, maka apabila Aku melihat orang-orang yang meramaikan rumah-rumah-Ku, yang saling mencintai karena Aku, dan orang-orang yang memohon ampunan pada waktu sahur, maka Aku jauhkan azab itu dari mereka.” (Riwayat al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman 2946)

إِذَا عَاهَةٌ مِنَ السَّمَاءِ أُنْزِلَتْ صُرِفَتْ عَنْ عُمَّارِ الْمَسَاجِدِ 

“Apabila penyakit diturunkan dari langit, maka dijauhkan dari orang-orang yang meramaikan masjid” (Riwayat al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman [2947]; dan Ibnu Adi (juz 3 hlm 232). Al-Baihaqi berkata: “Beberapa jalur dari Anas bin Malik dalam arti yang sama, apabila digabung, maka memberikan kekuatan (untuk diamalkan)

Al-Imam al-Sya’bi, ulama salaf dari generasi tabi’in, رحمه الله تعالى berkata:

كَانُوا إِذَا فَرَغُوا مِنْ شَيْءٍ أَتَوُا الْمَسَاجِدَ 

“Mereka (para sahabat) apabila ketakutan tentang sesuatu, maka mendatangi masjid” (Al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman (juz 3 hlm 84 2951)

Atau kalian sudah ragu dengan keutamaan ka’bah yang menjadi sumber keberkahan, sebagaimana nash al-Qur’an :

إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ (96) فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا  [آل عمران: 96، 97]

“Sesungguhnya rumah (ibadah) pertama yang dibangun untuk manusia, ialah (Baitullah) yang di Bakkah (Makkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seleluruh alam. Disana terdapat tanda-tanda yang jelas, (diantaranya) maqam Ibrahim. Barangsiapa yang memasukinya (Baitullah) amanlah dia” (Q.S. Ali imran : 96-97)

Kenapa yang direkomendasikan tutup hanya masjid, pondok, madrasah dan sekolah? sementara mall, swalayan, supermarket, minimarket, discotik, BAR, Café, Gereja, vihara, klenteng masih bebas beroperasi! Ada apa ini? Tentu ada misi-misi jahat terselubung! 

Saat ini masjid-masjid menjadi sepi. Ka’bah yang menjadi tempat paling aman dari segala ketakutan dari musuh atau aman dari segala penyakit sekarang malah diberi sekat dan pembatas, sehingga orang orang yang thawaf tidak bisa mendekat ke tempat thawaf, apalagi mencium hajar aswad.  

Sangat disesalkan sekali jika pengurusan jenazah terpapar Covid-19 hanya ditayammumi saja dan tidak dimandikan, karena keadaan belum sampai taraf darurat, apa tidak bisa memandikan jenazah dengan cara disemprot air? Lalu tangan orang yang memandikan dibungkus pelindung? 

Majlis ta’lim yang merupakan tempat berdakwah, mengamalkan amar ma’ruf, nahi ‘anil munkar juga dilarang, sementara bank-bank, mall-mall, alfamart, indomart, diskotik tetap beraktifitas, bahkan gereja, wihara, klenteng tidak ditutup. Khotib jum’at harus punya sertifikasi, lalu kenapa pendeta tidak ada sertifikasi? Ini jelas tujuannya ingin menghancurkan akidah Islam, melarang amar ma’ruf nahi munkar, perekonomian negara menjadi bobrok, anak-anak sekolah semakin liar, bermain di jalanan, di warnet-warnet akibat libur sekolah, bahkan menyebabkan maraknya zina, yang justru mempercepat turunnya azab yang murka, Naudzubillah min dzalika.

Fenomena negeri yang memilukan ini tak lain akibat ulah rezim yang zhalim, selalu berpihak kepada komunis, tega menindas rakyatnya sendiri, membiarkan TKA dari China mengobok-obok kekayaan bumi pertiwi. Pada saat di negeri China, masyarakatnya sedang berbondong-bondong untuk mendatangi masjid, kenapa di negeri mayoritas muslim justru sebaliknya? Ketika mereka kompak menggaungkan phobia terhadap Masjid, justru semakin kentara niat jahat mereka, yakni memberi stigma buruk terhadap rumah peribadatan umat Islam, “Masjid sumber penularan Covid-19”. Jika demikian adanya, apakah kemudian mall, sarana transportasi umum, gereja, vihara, klenteng “lebih aman” daripada Masjid?! 

Ada apa ini dan pikiran siapa yang mengajak demikian ? jelas ini merupakan proyek zionis besar-besaran Zionis, Syi’ah, Wahhaby, Komunisdan Salibis yang bertujuan merusak akidah islam. 

Kami sangat mengapresiasi himbauan Gubernur Sumut, Bapak Edy Rahmayadi dan Bapak Jenderal Gatot Nurmantyo yang berbunyi: 

‘’Ayo makmurkan masjid dan galakkan Gerakan Sholat Berjama’ah Untuk Minta Pertolongan Allah..!! (Jadikan Sholat dan Sabar Sebagai Penolongmu..!!) Virus Corona (covid-19) adalah ciptaan Allah dan yang kena pasti juga atas ketetapan Allah SWT.”

Kami sangat setuju dengan arahan medis dari al-Murobbiy Prof. Dr. dr. Syaikh Yusri al-Mishri, beliau menandaskan, “Untuk mencegah virus Covid-19, hendaknya kita harus:

Tidak berlebihan menggunakan obat-obat pembersih seperti alkohol, detol dsb. Karena obat-obat itu bisa memusnahkan bakteri-bakteri baik yang bermanfaat menjaga kita dari bakteri-bakteri jahat. Bakteri baik itulah yang menjadi pertahanan pertama dalam tubuh kita.
Apabila kamu biasa berwudlu dan mencuci tanganmu yang kamu lakukan 5 kali dalam sehari maka kamu aman.Apabila ditambah dengan sabun sebelum dan sesudah makan; maka itu lebih dari cukup.Karena air tidak membunuh bakteri baik. Sementara obat-obat pembersih membunuh bakteri yang baik dan yang buruk, sehingga tanganmu tanpa pasukan penjaga.Ketahuilah, bahwa semua organ tubuhmu ada dihuni bakteri… sampai kotoran (tahi) terdiri dari 70% bakteri, 10% sel mati dan 20% adalah sisa makanan, menunjukkan bahwa kita dijaga Allah SWT dengan begitu banyak pasukan.

Jadi tidak perlu menggunakan obat-obat pembersih, seperti juga tidak usah pakai obat kumur-kumur karena itu bisa merusak kerongkongan.Cukup bersiwak atau sikat gigi, membersihkan sisa makanan setelah makan seperti takhlil (membuang sisa makanan yang menyangkut antara gigi dengan benang dll) seperti yang diajarkan Sayyiduna Rasulullah SAW

Yang mengurung diri hanyalah mereka yang sakit, yang sehat silahkan beraktifitas seperti biasa.
Tidak perlu ketakutan, atau saling menakuti.
Virus tidak hidup kecuali pada suatu yang hidup, dia tidak mematikan kecuali pada seseorang yang punya penyakit lain. Dan virus itu hanya hidup selama 5 hari.
Jadi bagi yang merasa letih atau panas, beristirahatlah, dan menjauh dari orang lain dan meninggalkan ciuman. Jangan menggunakan alat makan/minum bersama-sama, tapi gunakanlah alat pribadi (apalagi sendok atau piring yang nyucinya kurang airnya hanya mengandalkan lemon dan kemudian dilap saja).
Ini hanya sementara, insya Allah akan hilang. Ketika udara panas, virus akan mati.
Umat Islam tidak takut mati, mereka hanya berhati-hati dan berharap husnul khatimah yaitu mati dalam Islam. Orang kafir saja yang ketakutan, tapi kamu juga jangan menjadi sebab kemudharatan bagi mereka.
Perbanyak konsumsi cairan terutama yang panas, seperti yansun, helbah, lemon, vitamin C, mawalih (asinan mungkin), bisa juga degan 1 sendok habbah barakah di pagi hari.
Menggerak-gerakan badan (jalan kaki ke Masjid untuk berjum’atan dan berjama’ah) dan meniggalkan bermalas-malasan,muslim yang kuat lebih baik dari muslim yang lemah.
Kami sangat mendukung pernyataan Hai’ah Ash-Shofwah Al-Malikiyah, bahwa keberadaan virus Covid-19 dapat diqiyaskan dengan wabah tho’un, oleh karena itu, bagi siapa saja yang berada pada Zona Merah (berdasarkan data resmi dari pemerintah) dimohon untuk tidak keluar dari wilayah tersebut, dan bagi yang berada di luar Zona Merah dimohon tidak masuk ke wilayah Zona Merah.

Kami juga sepaham dengan pendapat Dr. Zein bin Muhammad al-Aidrus, Hadramaut, dan juga fatwa Syaikh Ahmad al-Kauri al-Mauritani. Intinya beliau berdua sangat tidak setuju jika penanggulangan Covid-19 dengan cara melarang sholat jama’ah dan jum’ah, karena di generasi salaf tidak pernah terdengar kebijakan seperti itu, justru yang ada tidak boleh masuk ke daerah yang terkena tho’un, bukan tidak boleh masuk masjid, pahami ini! Oleh karenanya, tidak ada kewajiban bagi warga muslim Indonesia menaati fatwa MUI, karena fatwanya mengandung unsur ma’ashi, Rasulullah SAW bersabda: 

لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق

“Tidak ada kewajiban taat kepada makhluk dalam urusan mendurhakai Sang Kholiq” 

Alhamdulillah, menurut informasi mahasiswa Mesir, masyarakat mesir masih tetap melakukan shalat jum’at dan shalat berjama’ah, mereka  mengabaikan fatwa ulama Azhar. Mari kita tetap waspada dengan selalu menjaga kesehatan dan kebersihan, yang meliputi kebersihan jiwa dan raga serta lingkungan dengan selalu berdo’a, mendekatkan diri dan tawakkal kepada Allah SWT dengan memperbanyak membaca Shalawat, Rotib, Dzikir, Wirid dan Hizb sebagai ikhtiar untuk berlindung dari wabah virus corona tersebut serta melazimkan do’a penangkal racun sebanyak 11 kali setiap usai shalat :

بِسْمِ اللهِ الَّذِيْ لَا يَضُرُّ  مَعَ اسْمِهِ شَيْئٌ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي  السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيْعِ الْعَلِيْم ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْبَرَصِ وَالْجُنُونِ وَالْجُذَامِ وَمِنْ سَيِّئِ الْأَسْقَامِ .

Yang menjadi poin utama adalah kita harus bertaqwa kepada Allah SWT, dan menjauhi segala bentuk makanan yang haram atau tidak baik untuk kesehatan (أكل الخبائث), mejauhi zina dan pacaran, dan jangan lupa untuk sering berwudlu dan membasuh telapak tangan baik sebelum ataupun sesudah makan dan sebelum wudlu serta sering mengkonsumsi empon-empon semisal temulawak, jahe, pandan dan sebagainya. Dan yang lebih utama kita harus bersangka baik terhadap sesama muslim agar kita selamat dari penyakit dan wabah seperti sekarang ini. Wallahu ‘alam

حسبنا الله ونعم الوكيل نعم المولى ونعم النصير ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم.

Sarang, 27 Rajab 1441 H.

KH. Muhammad Najih Maimoen


BULAN RAJAB DAN CORONA

Bulan Rajab sudah hendak meninggalkan kita. Bulan rajab, bulan haram, bulan mulia di mana dalam bulan ini ada sesuatu yang istimewa. Akan tetapi bulan Rajab tahun ini terasa berbeda.

Di awal-awal bulan Rajab ini, di Indonesia terdengar kabar bahwa ada warga negara yang positif Corona. Hal itu sekilas membuat kita sedikit berpikir tentang virus itu. Di mana saat itu mungkin sebagian dari kita setiap hari membaca سبحان الله الحي القيوم . Sebuah bacaan yang menurut sebagian orang Sunnah dan sebagian orang bid'ah. Terlepas dari semua itu, yang jelas bacaan itu menjadikan kita ingat Allah.  maha suci Allah Dzat Yang Maha Menghidupkan dan maha Mengatur. Maha suci Allah yang maha menghidupkan orang Indonesia dan warga dunia dan yang maha mengatur kita agar terbebas dari Corona dan siksa neraka.

Di pertengahan bulan ini, grafik positif Corona semakin meningkat menunjukkan  bahwa virus ini mulai bergerak ke arah orang lain. Terlepas apakah virus ini murni hasil wabah yang berasal dari pasar hewan di Wuhan, atau berasal dari senjata kimia yang disebarkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab, atau virus ini ialah siksa, atau ini ujian bagi manusia yang beriman. Yang jelas dipertengahan bulan kemarin sebagian dari kita ada yang membaca سبحان الله الاحد الصمد . Maha suci Allah Dzat Yang Maha Esa dan Dzat Tempat kita meminta segala sesuatu. Maha suci Allah Dzat Tuhan yang Maha Esa, hanya kepada Engkaulah Tuhan yang yang maha Esa tempat memohon, hanya kepada Engkaulah kami  meminta permohonan agar segera menyembuhkan orang yang positif Corona, dan menyelamatkan yang negatif Corona.

Lalu di penghujung akhir bulan yang mulia ini, setelah kita bersama memperingati peringatan Isra' Mi'raj Nabi Muhammad tanggal 27 Rajab, di mana perintah sholat di wajibkan dalam peristiwa ini, ketika kami melihat data sekarang bahwa warga yang positif covid-19 sudah 579, yang meninggal 49 dan yang sembuh 30. Maka untaian tasbih سبحان الله الرؤف Maha Suci Allah Yang Maha Penyantun, Dzat Yang maha Kasih Sayang terucap deras di lidah ini. Maha suci Allah Dzat Yang Maha Mengasihi hambanya yang setiap hari selalu berdoa untuk diangkat nya balak ini dari muka bumi ini. Maha suci Allah Dzat yang mengabulkan doa-doa hambanya, terlebih di bulan yang istimewa ini.

Do'a adalah senjata orang beriman. Banyak teori yang terbantahkan dengan do'a, banyak kejadian luar biasa karena do'a. Dalam penghujung bulan mulia ini, di tambah awal bulan Sya'ban nanti, ikhtiar tetap kita usahakan, akan tetapi do'a jangan sampai terlupakan. Do'a sebisanya, do'a semampunya, bisa dengan memperbanyak sholawat, memperbanyak istighfar, memperbanyak membaca Al Qur'an, menggunakan qunut nazilah dalam sholat maktubah, membaca Rotib, membaca wirid, mengamalkan ijazah dan lainya. Semoga do'a untuk wabah Corona, segera di kabulkan oleh Allah, sehingga bangsa Indonesia dan dunia terselamatkan semua, karena hanya Allah lah satu-satunya yang dapat menghentikan wabah ini, Allah Al Hayy, Allah Al Qayyum, Allah Al Ahad, Allah Ash Shamad, Allah Ar-Ra'uf (Ch)

M. Chasan Albab
30 Rajab 1441/ 24 Maret 2020


Salam Semua Para pencinta Al-Quran

Ikhtiar semasa dalam keadaan genting

Semasa Covid19 ini, Jika terpaksa keluar rumah

1. Kita IKHTIAR ZAHIR dengan:

a. Mengurangi keluar rumah jika tdk perlu
b. Mengurangi berjumpa orang
c. Menghindari bersalam dengan orang lain (hukum bersalam tidak wajib), berganti dengan #SalamMufti.
d. Sentiasa bersih, berwudhu, setidaknya membersihkan tangan.

2. IKHTIAR BATIN dengan berdoa :

بِسْمِ اللهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ

بِسْمِ اللَّهِ الَّذِي لَا يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ

Bersedekah
Berzikir sentiasa

M Zuhal A Lathif (Al-Amanah)
26 Mac 2020
Hidup Berkah, Dengan Al-Quran


Salam Rabu pagi

بسم اللّٰه الرحمن الرحيم

وَٱلنَّجۡمِ إِذَا هَوَىٰ

Demi bintang semasa ia menjunam, -

مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمۡ وَمَا غَوَىٰ

Rakan kamu (Nabi Muhammad yang kamu tuduh dengan berbagai tuduhan itu), tidaklah ia menyeleweng (dari jalan yang benar), dan ia pula tidak sesat (dengan kepercayaan yang salah).

وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلۡهَوَىٰٓ

Dan ia tidak memperkatakan (sesuatu yang berhubung dengan ugama Islam) menurut kemahuan dan pendapatnya sendiri.

إِنۡ هُوَ إِلَّا وَحۡيٞ يُوحَىٰ

Segala yang diperkatakannya itu (sama ada Al-Quran atau hadis) tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.

Antara huraian An-Najm: 1-4

Surah ini dinamakan An-Najm, ertinya bintang, sempena ayat pertama surah ini.

Ianya termasuk surah Makkiyyah, terdiri dari 62 ayat dan terletak dalam urutan 53 dari 114 surah.

Awal surah ini berkait rapat dengan ayat terakhir surah sebelumnya dari segi kalimat Najm dan Nujum, juga bermakna masa bintang yang tenggelam atau masa pagi.

Secara keseluruhan, surah ini terkait dengan surah sebelumnya dari segi makna dan tujuan surah, untuk menyedarkan orang yang masih degil.

Ayat dimulakan dengan Qasam atau sumpah, Demi bintang ketika menjunam hilang, di waktu pagi, ada juga yang mengertikan Najm dengan Meteor yang jatuh.

Baginda sebagai kawan orang Arab, yang sentiasa bersama mereka, baginda bukan orang yang sesat dan menyesatkan. Bahkan baginda menunjukkan dan menemani mereka ke jalan yang benar.

*Baginda tidak pernah bercakap dengan hawa nafsunya, keinginan sendiri, tetapi semua yang baginda ucapkan, lakukan, adalah berdasar wahyu Allah, tuntunan dan firman dariNya*.

Catatan:

Ada ayat pertama terdapat kalimat (هوَى), ianya dalam bentuk kata kerja , begitu juga pada ayat ketiga, ada kalimat (الهوَى), ianya dalam bentu kata benda.

Ianya sama bunyi tapi lain makna, dinamakan kalimat Jinas Tam.

Hawa bermakna menjunam dan Al-Hawa bermakna keinginan atau Hawa nafsu.

Wallahu a'lam

M Zuhal A Lathif
Mrt Yishun-Serangoon
Singapore, 25 Mac 2020

Al-Amanah
Hidup Berkah, Dengan Al-Quran


Salam Khamis pagi

Allah SWT berfirman:

عَلَّمَهُۥ شَدِيدُ ٱلۡقُوَىٰ

wahyu itu (disampaikan dan) diajarkan kepadanya oleh (malaikat jibril) yang amat kuat gagah, -

ذُو مِرَّةٖ فَٱسۡتَوَىٰ

Lagi yang mempunyai kebijaksanaan; kemudian ia memperlihatkan dirinya (kepada Nabi Muhammad) dengan rupanya asal, -

وَهُوَ بِٱلۡأُفُقِ ٱلۡأَعۡلَىٰ

Sedang ia berada di arah yang tinggi (di langit);

ثُمَّ دَنَا فَتَدَلَّىٰ

Kemudian ia mendekatkan dirinya (kepada Nabi Muhammad), lalu ia berjuntai sedikit demi sedikit,

فَكَانَ قَابَ قَوۡسَيۡنِ أَوۡ أَدۡنَىٰ

Sehingga menjadilah jarak (di antaranya dengan Nabi Muhammad) sekadar dua hujung busaran panah, atau lebih dekat lagi;

Antara huraian An-Najm: 5-9

Yang mewahyukan dan mengajarkan Al-Quran kepada baginda rasul adalah yang mempunyai sifat kuat yang tersangat (semua ahli tafsir bersetuju, bahawa yang dimaksud adalah malaikat Jibril).

Beliau sangat kuat amanahnya dan ingatannya dan beliau berhenti dahulu untuk persiapan di suatu tempat di langit yang tinggi (ufuk yang tinggi).

Kemudian beliau turun dan mendekati baginda, yang jaraknya antara keduanya hanya sebatas dua ujung busur panah (bow).

Ayat ini ada yang menafsirkan sebagai salah satu bentuk atau cara wahyu turun, bahkan ada yang menafsirkan ayat ini sebagai peristiwa turunnya Jibril, membawa wahyu pertama, semasa baginda berada di bukit Nur, di gua Hira.

Wallahu a'lam

M Zuhal A Lathif
Floral Spring @ Yishun
Singapore, 26 Mac 2020

Al-Amanah
Hidup Berkah, Dengan Al-Quran


Salm Jumaat pagi

Allah SWT berfirman:

فَأَوۡحَىٰٓ إِلَىٰ عَبۡدِهِۦ مَآ أَوۡحَىٰ

Lalu Allah wahyukan kepada hambaNya (Muhammad, dengan perantaraan malaikat Jibril) apa yang telah diwahyukanNya.

مَا كَذَبَ ٱلۡفُؤَادُ مَا رَأَىٰٓ

Hati (Nabi Muhammad) tidak mendustakan apa yang dilihatnya.

أَفَتُمَٰرُونَهُۥ عَلَىٰ مَا يَرَىٰ

Jika demikian, patutkah kamu hendak membantahnya mengenai apa yang telah dilihatnya itu?

وَلَقَدۡ رَءَاهُ نَزۡلَةً أُخۡرَىٰ

Dan demi sesungguhnya! (Nabi Muhammad) telah melihat (malaikat Jibril, dalam bentuk rupanya yang asal) sekali lagi,

عِندَ سِدۡرَةِ ٱلۡمُنتَهَىٰ

Di sisi "Sidratul-Muntaha";

Antara huraian An-Najm: 10-14

Setelah malaikat Jibril mendekat sekedar busur panah, maka Allah SWT mewahyukan wahyu sekedarnya kepada hambaNya (melalui Jibril).

Baginda tidak menafikan dan tidak menolak, tidak berbohong terhadap apa yang dilihatnya, bahawa beliau melihat jasad Jibril juga kebenaran yang disampaikan.

Baginda juga menyampaikan wahyu sesuai dengan apa yang diterimanya dari Allah melalui Jibril, tidak mengurang juga tidak menambah.

Tapi ramai orang kafir mendustakan apa yang baginda ceritakan sesudahnya, apa yang disampaikan, apa yang dilihat dan diterima olehnya.

Sedangkan baginda juga pernah melihat jasad Jibril sepenuhnya di Sidratul Muntaha (dimaklumkan bahawa ianya tempat di langit ketujuh, tempat terakhir yang dimampui oleh Jibril semasa menghantar baginda Mikraj).

Wallahu a'lam.

M Zuhal A Lathif
Floral Spring @ Yishun
Singapore, 27 Mac 2020

Al-Amanah
Hidup Berkah, Dengan Al-Quran


KH. Syafi'i Abbas, Pejuang Kalam Illahi dari Banyuwangi

KH. Syafi'i Abbas adalah Pengasuh Pondok Pesantren Tahaffudz Al-Qur'an Al-Azhar Al-Abbas, Tugung, Sempu, Banyuwangi. Beliau adalah putra dari KH. Abbas, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Azhar, Tugung, Sempu, Banyuwangi. 

Dikutip dari laman NU.Banyuwangi.or id, Kiai Abbas terlahir pada tahun 1853 M di tengah keluarga Keraton Yogyakarta yang religius. Akan tetapi, ayahandanya, Raden Hasan Munadi, tak kerasan tinggal di lingkungan keraton. Ia menganggap banyak hal dari kebiasaan keraton yang tak sesuai dengan prinsip keagamaan yang diyakininya.

Tumbuh di keluarga yang religius, Abbas belia pun akrab dengan dunia pesantren yang menjadi kawah candradimuka pendidikan agama. Pesantren yang pertama kali menjadi tempat belajar Kiai Abbas adalah Pesantren Lirap, Kebumen, Jawa Tengah. Kemudian ia melanjutkan ke Pesantren Bendo, Pare, Kediri. Selang beberapa waktu, ia berpindah ke Pesantren Kademangan, Bangkalan dibawah asuhan Syaikhona Kholil.

Di pesantren yang terakhir ini, Kiai Abbas dinikahkan dengan Hafsatun oleh Syaikhona Kholil. Setelah menikah, Syaikhona Kholil menyuruh Kiai Abbas untuk menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu di Hijaz sana. Konon, dalam perjalanan ke Timur Tengah itu, Kiai Abbas menyempatkan diri untuk belajar di Al-Azhar, Kairo. Kelak, dari nama itulah, Pesantren Tugung ia bernama Al-Azhar.

Seusainya menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu di tanah Arab, Kiai Abbas kembali lagi ke Madura untuk menemui gurunya dan istrinya. Betapa kagetnya Kiai Abbas sesampainya di Bangkalan. Guru yang amat ia patuhi, Syaikhona Kholil, menyuruhnya untuk menceraikan istrinya yang terlanjur ia cintai itu. Tak hanya itu, Syaikhona Kholil juga mengusir Kiai Abbas.

Meski secara logika perintah tersebut memberatkan, Kiai Abbas tetap mematuhinya. Ia yakin perintah gurunya yang dikenal waliyullah itu memiliki rahasia tersendiri. Akhirnya Kiai Abbas menceraikan Hafsatun dan meninggalkan Madura menuju ke Banyuwangi, sebagaimana yang diisyarahkan oleh gurunya ketika mengusir.

Sesampainya di Banyuwangi, Kiai Abbas diambil menantu oleh Kiai Hafidz, pendiri Pesantren Tugung, Sempu. Ternyata di pesantren tersebut, kebesaran nama Kiai Abbas bersinar terang. Di Pesantren Tugung itulah beliau mendidik para santri dan menurunkan banyak keturunan, salah satunya KH. Syafi'i Abbas. 

KH. Syafi'i Abbas lahir pada tahun 1951. Beliau adalah murid langsung KH. Abdul Qodir Munawwir (lahir Sabtu Legi , 11 Dzulqo'dah 1338 H/24 Juli 1919). Kawan seangkatannya saat itu adalah KH. Mustain Syamsuri Singosari Malang dan KH. Abdul Mannan Singosari Malang. 

Beliau menghafalkan Al-Qur'an di Krapyak dimulai tahun 1956, sampai wafatnya KH. Abdul Qodir pada tahun 1961. Selanjutnya beliau sempat menyetorkan hafalannya kepada KH. Ahmad Munawwir. Syafi'i muda selesai menghafal Al-Qur'an di usia yang cukup muda yakni 17 tahun.

Selesai menghafal Al-Qur'an, beliau berkelana ke beberapa pesantren  sebelum kemudian pulang untuk  membantu perjuangan ayahandanya KH. Abbas yang merupakan junior KH. Munawwir saat mengaji di Syaikhona Kholil Bangkalan. Bersama ayahanda dan saudara-saudaranya, Syafi'i muda membantu mengajar di pesantren Al-Azhar yang merupakan salah satu pesantren tertua di Banyuwangi. KH. Nawawi Abdul Aziz, Pendiri Pondok Pesantren An-Nur, Ngrukem, Bantul, Jogjakarta tercatat salah satu santri binaan Mbah Abbas. 

Dalam Biografi KH. Nawawi Abdul Aziz, Sejarah Hidup Sang Penjaga Al-Qur'an dikisahkan bahwa Nawawi Muda belajar di Pesantren Tugung pada tahun 1944 setelah belajar di Kyai Anshori, Kutoarjo Purworejo, dan Kyai Luqman, Lirap Kebumen. Pilihannya untuk belajar kepada KH. Abbas didasari oleh pertemuan KH. Abdul Aziz dengan Abbas Hasan ketika melaksanakan ibadah haji. 

Saat itu ayahanda KH. Nawawi tersebut begitu terkagum dengan keluasan ilmu yang dimiliki KH. Abbas yang di masa muda banyak mengembara ke beberapa pesantren seperti Jampes, Bendo (keduanya berada di Kediri), dan mengaji kepada Syaikhona Kholil. KH. Abbas sendiri ternyata juga berasal dari Jogjakarta dan masih keturunan Raden Mas Wongso Diprojo atau Sultan Hamengkubowono IV yang nasabnya bersambung kepada Sinuhun Kanjeng Prabu Amangkurat Agung, Sultan Mataram.

Atas dasar itulah KH. Abdul Aziz mengirimkan Nawawi muda dan adiknya Hasyim untuk nyantri kepada KH. Abbas di Banyuwangi. Disana KH. Nawawi belajar berbagai fan keilmuan seperti fikih, tafsir, dan tasawuf. Tak lama belajar di Pesantren Tugung, Nawawi muda pulang ke Kutoarjo, Purworejo untuk suatu keperluan.

Namun saat akan kembali ke Banyuwangi tersiar kabar Sekutu telah melancarkan agresi Militer di Kota Surabaya. Serangan tersebut disambut oleh pejuang dan santri dengan Spirit Resolusi Jihad yang dikemukakan oleh Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy'ari dengan mengangkat senjata melawan Inggris dan Sekutunya. Perang yang awalnya terjadi di Surabaya juga merembet ke kota-kota lain di Jawa Timur.

Melihat kondisi politik yang tak memungkinkan untuk kembali Banyuwangi, KH. Nawawi pun mengurungkan niat untuk kembali ke pesantren Tugung. Padahal disana masih banyak kitab-kitab yang telah dipelajarinya. Maka Nawawi muda memikirkan cara agar tetap bisa mengaji dengan biaya yang tidak terlalu mahal, maka beliau pun memutuskan untuk menghafal Al-Qur'an. 

Awalnya Nawawi muda ingin menghafal Al-Qur'an kepada Kyai Syatibi di Kutoarjo yang merupakan santri dari KH. Munawwir, pendiri Pondok Pesantren Krapyak, Jogjakarta. Namun, atas saran ayahandanya, beliau belajar kepada sumbernya langsung di Krapyak yang saat itu diasuh oleh KH. Abdul Qodir Munawwir yang merupakan putra KH. Munawwir dan Nyai Raden Ayu Mursyidah. 

Dari sinilah mata rantai keilmuannya kembali dengan Kyai Abbas yang putranya Syafi'i juga belajar kepada ayahanda KH. Najib Abdul Qodir (pengasuh Pondok Pesantren Al-Munawwir sekarang) dan KH. Hamid Abdul Qodir (Pengasuh Pondok Pesantren Al-Qur'an Maunah Sari Kota Kediri) ini. KH. Abdul Qodir ini sendiri mengasuh pesantren Krapyak  pada usia 18 tahun bersama kakaknya KHR. Abdullah Affandi dan adiknya iparnya KH. Ali Maksum (suami Nyai Hj. Hasyimah binti Munawwir).

Kisah KH. Nawawi Abdul Aziz lainnya bisa disimak di laman berikut 

https://m.facebook.com/story/graphql_permalink/?graphql_id=UzpfSTEwMDAwMDcwOTMxMTQzMjoyOTY0MzE4ODU2OTM1MDYy

Kembali kepada sosok KH. Syafi'i Abbas. Ulama yang sudah berusia 69 tahun mengasuh pesantren Tahaffudz Al-Qur'an Al-Azhar Al-Abbas yang dirikan tahun 1980-an ini telah banyak melahirkan para penghafal Al-Qur'an. Pesantren ini memang tidak terlalu besar dan konon hanya menerima santri tak lebih dari 30 orang ini. Diantaranya santri beliau adalah KH. Abdul Hadi, Pengasuh Tahfidz al-Qur'an di  Pesantren Mahasiswa Al-Hikam, Malang dan KH. Syamsul Arifin, Pencipta Metode Baca Al-Qur'an Tartili sekaligus Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hidayah Kesilir, Wuluhan, Jember.

Metode Tartili karya KH. Syamsul Arifin yang juga pernah menghafalkan Al-Qur'an kepada KH. Abdullah Umar saat ini telah menjadi metode Baca Al-Qur'an yang tersebar di berbagai daerah. Bahkan Mimika, sebuah kabupaten yang berada di Tanah Papua pun telah dijangkau oleh metode yang diperkenalkan sejak tahun 2000. Metode yang terdiri dari 4 jilid ini telah banyak membantu para masyarakat Indonesia untuk belajar membaca Al-Qur'an.

Liputan Metode Tartili selengkapnya bisa disimak di laman berikut
Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/109206/metode-tartili-memesona-sejumlah-guru-tpq-di-mimika-papua

Terakhir, semoga KH. Syafii Abbas beserta Keluarga juga Ulama' Al-Qur'an lainnya diberikan kesehatan dan kekuatan sehingga dapat terus berkhidmat untuk ummat. Mendidik generasi Ahlul Qur'an yang kelak akan menjadi Pejuang Kalimatullah di masa yang akan datang.

Malang, 14 Maret 2020
Muhammad Abid Muaffan
Khadim Sanad Qiro'at Nusantara


Kisah Kyai Ahli Qur'an Jawa
Oleh : KH. Muslim Nawawi

Salah satu kitab Tafsir berbahasa Jawa yang cukup familiar di masyarakat adalah al-Ibriz karya KH. Bishri Mustofa (Pendiri Pondok Pesantren Roudlotut Tholibin, Lateh Rembang dan Ayahanda KH. Mustofa Bisri atau yang akrab disapa Gus Mus).

Untuk ukuran sebuah kitab tafsir al Ibriz tergolong ringkas dan kecil, namun demikian kitab ini Insya Allah kaya akan berkah. Menurut KH. Sya'roni Kudus (Murid sekaligus besan KH. Arwani Amin), kitab ini dikarang oleh seorang ulama yang memang ahli di bidangnya. 

Kemudian naskahnya ditulis oleh seorang Kiai yang selain ahli khot (menulis arab) juga alim kitab kuning dan hafal al-Qur'an,  bahkan telah khatam Qiro'ah Sab'ah dibawah asuhan Mbah Kiai Arwani Kudus, (Pendiri Pondok Pesantren Yanbu'ul Qur'an, Kudus).

Beliau adalah KH. Nawawi Abdul Aziz, (Menantu KH. Munawwir Krapyak, Pendiri Pondok Pesantren Ngrukem Pendowoharjo, Sewon Bantul Yogyakarta). Kemudian kitab ini sebelum dicetak, terlebih dulu ditashih oleh al-Hafidz al-Alim wal Allamah Mbah KH. Arwani dibantu oleh al hafidz al alim wal alamah KH. Abu Umar dan KH. Sya'roni Ahmadi.

Ada cerita aneh tapi nyata terkait dengan kitab al Ibriz ini, yang barangkali sebagai bukti akan keberkahannya.

Untuk lebih jelasnya silahkan simak tayangan video di bawah ini mulai menit keempat dan kepada segenap santri maupun alumni (Pondok Pesantren An-Nur, Ngrukem) tolong sempatkan untuk menyimak (Cuplikan Ceramah KH. Sya'roni Ahmadi pada sebuah acara di Pondok Pesantren An-Nur Ngurkem sebelum KH. Nawawi Abdul Aziz berpulang ke Rahmatullah tahun 2014).

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1660516757506567&id=100006447768518&sfnsn=wiwspwa&d=w&vh=i&d=w&vh=i&extid=Eb5Y9OGmSz3Nl5zz

*Beliau adalah putra bungsu KH. Nawawi Abdul Aziz yang saat ini melanjutkan kepengasuhan Pondok Pesantren An-Nur, Ngrukem, Pendowoharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta sekarang.

**Kenangan KH. Nawawi Abdul Aziz saat ngaji ke Kyai Arwani dan Menulis Tafsir Ibriz bisa disimak di coretan kami di link berikut 

Catatan Ngaji Kyai Nawawi Ngrukem
m.facebook.com/story/graphql_permalink/?graphql_id=UzpfSTEwMDAwMDcwOTMxMTQzMjoyOTY0MzE4ODU2OTM1MDYy


Habaib-Kyai Bersatu Melawan Penjajah di Bagelen
(Menelusuri Jejak Jejaring Ulama-Santri Diponegoro dari Purworejo)

"Telusurilah sejarah keluarga dan bangsamu agar engkau tidak tergolong generasi yang padam obor atau kehilangan sejarah"
(Habib Lutfi bin Ali bin Yahya)

Bagelen adalah sebuah kawasan di Barat Jogjakarta yang terkenal sebaga basis pejuang kemerdekaan khususnya dalam Perang Diponegoro. Bagelen dahulu disebut Pagelen. Pagelen sendiri merupakan perubahan dari Medanggele, yang berasal dari kata Medangkamulan, kerajaan yang konon pernah ada di wilayah ini. Bagelen merupakan kota kuno legendaris yang banyak melahirkan para ulama penyebar risalah kenabian. 

Kamis, 14/11 silam kami berkesempatan bersilaturrahmi kepada Habib Hasan bin Agil bin Muhammad bin Ali bin Hasan Munadi bin Ibrahim Ba'abud. Beliau adalah Pengasuh Pondok Pesantren Al-Iman, Bulus, Gebang, Purworejo sekaligus Rois Syuriah PCNU Kabupaten Purworejo. Kami dijamu di ruang belakang rumah yang cukup di sederhana di tengah suasana pesantren yang begitu asri yang berada tak jauh dari pusat kota Purworejo.

Habib Hasan Agil Ba'abud memiliki garis keturunan yang ikut serta berjuang dalam merebut kemerdekaan dari cengkraman Kolonial Belanda. Beliau adalah keturunan Habib Hasan Munadi Ba'abud, seorang dzurriyah Rasul dari Hadramaut, Yaman yang menikah dengan BRA (Bendoro Raden Ayu) Samperwadi (1750-1828) putri (GRM Sundoro) Sultan Hamengkubuwono II (1750-1828) dari garwa ampeyan (selir), bernama BMA (Bendoro Mas Ajeng Citrosari, yang bersal dari desa Beki, Purworejo. 

Berikut nasab lengkap Habib Habib Hasan Agil Ba’abud. Beliau adalah putra Habib Agil bin Muhammad bin Ali bin Hasan al-Munadi bin Alwi Ba’abud bin Abdullah bin Muhsin bin Umar bin Muhsin bin Abdullah bin Abu Bakar bin Husein bin Ahmad bin Abu Bakar Ba’abud Kharbasyan bin Abdurrahman Ba’abud bin Abdullah Ba’abud bin Ali bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali bin Alwi Al-Ghayyur bin Muhammad Faqih al-Muqoddam bin Ali Ba’alawi bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khala’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidi bin Ja’far Ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah az-Zahra bin Rasulullah Muhammad SAW. 

Selain Habib Hasan Munadi yang menganut tarekat Syatariyyah ini, seorang sayyid keturunan Hadrami yang juga menjadi menantu Hamengkubowono II adalah Habib Hasan bin  Thoha bin Yahya atau dikenal Raden Tumenggung Sumodoningrat yang makamnya terdapat di Kota Semarang. Habib Thoha inilah yang kelak mempunyai putra Habib Umar bin Hasan yang berdakwah di Indramayu yang menjadi guru dari Kyai-kyai Cirebon seperti Kyai Qoyim, KH. Sholeh Bendakerep, Kyai Said Gedongan, Kyai Abdul Jamil Buntet, dan lain-lain. Kelak dari Habib Umar inilah akan lahir keturunannya yang luar viasa yakni Habib Muhammad Lutfi bin Ali bin Hasyim bin Umar bin Thoha bin Hasan bin Yahya, Ra’is ‘Am Jam’iyah Ahlu Thariqah al Mu’tabarah an Nahdiyah, Ketua Umum MUI Jawa Tengah dan Ketua Forum Sufi Internasional.

Zainul Milal Bizawie dalam Jejak Ulama Diponegoro mengatakan bahwa pernikahan ini terjadi ketika ayahanda Habib Hasan Munadi Ba’abud yakni Habib Alwi Ba'abud (1724-1815) mampu memenangkan sayembara mengobati Raden Putri Samparwadi yang saat itu sedang sakit. Hadiah dari sayembara tersebut adalah barangsiapa yang menyembuhkan penyakit sang putri, jika laki-laki maka akan menjadi suaminya, dan jika perempuan maka akan diangkat menjadi saudara Samparwadi. 

Singkat cerita, Sayyid Alwi Ba'abud mengikuti sayembara dan dengan izin Allah beliaupun mampu menyembuhkan penyakit sang putri. Namun karena usia beliau sudah 65 tahun, sedangkan Raden Ayu Samperwadi masih 14 tahun, maka Putri GRM Sundoro tersebut dinikahkan putranya Hasan Munadi (1764-1830) yang saat itu berusia 25 tahun untuk menikahi sang putri dan berlangsunglah pernikahan antara keturunan Arab dan keluarga Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada tahun 1789.

Hubungan Sayyid Alwi Ba'abud sebelumnya sudah terjalin ketika Sultan Sepuh (Sultan Hamengkubuwono I) diasingkan ke Ceylon, Srilanka oleh Inggris. Kedekatan itu kemungkinan karena Habib Alwi Ba'abud datang ke Yogyakarta sebagai utusan Sultan Usman (1754-1757) dari Kesultanan Turki Usman. Sebelumnya memang telah terjalin hubungan diplomatik (secara rahasia) antara Sultan Agung dengan Kesultanan Turki Usmani. Bahkan GRM Sundoro yang kelak akan berbesan dengan Habib Alwi Ba'abud pernah ke Turki tahun 1768-1771 untuk mempelajar janissary (pasukan infantri elit dan digdaya yang menjadi pengawal sultan dan merupakan pasukan perang utama dari Angkatan Darat Turki sejak abad ke-14 sampai awal abad ke -19). 

Peter Carey dalam Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro, 1785-1855 menyebutkan kelak ketika terjadi Perang Diponegoro, pengasuh Janissary Turki sangat tampak. Diponegoro memasukkan pendukungnya akan mahir dalam berperang ke dalam resimen-resimen pilihan seperti bulko, turkio, dan arkionya Janissary Turki.

Habib Alwi Ba’abud datang ke Jawa melalui jalur perdagangan Jepara dan Demak. Datang di tahun 1755 pada masa Pangeran Mangkubumi (1717-1792), putera Sultan Amangkurat IV dari garwo ampeyan bernama Mas Ayu Tejowati yang dinobatkan menjadi Sultan Hamengkubowono I setelah perjanjian Giyanti yang memisahkan Kesultanan Mataram menjadi dua yakni Surakarta dan Jogjakarta. Kedatangan Habib Alwi Ba’abud selain sebagai saudagar kuda, juga disebut vsebagai seorang ulama dan tabib. Kedatanganya barangkali bersamaan dengan saudara sepupunya di Wonosobo, yakni Habib Hasyim bin Idrus bin Muhsin Ba’abud yang juga berasal dari Hadramaut. 

Dari pernikahan antara Habib Hasan Munadi dan Raden Ayu Samperwadi akan lahir empat keturunan. Diantaranya Ibrahim Ba'abud (1790-1850) yang bergelar RMH (Raden Mas Haryo) Madiokusumo, Raden Ayu Reksodiwiryo (istri Bupati Cokronegoro I, Bupati Purworejo Pertama), Ali Ba'abud yang bergelar Raden Mas Puspodipuro (Kakek Buyut Habib Hasan Agil Ba'abud) dan Raden Ayu Kertopati (Mengambil nama suaminya, Kertopati seorang Patih di Kutoarjo yang kelak akan hijrah ke Magetan dan merintis pesantren Takeran dengan nama Kyai Khalifah yang berputra Kyai Hasan Ulama' yang menjadi cikal bakal Pesantren Sabilil Muttaqin dan merupakan leluhur dari Dahlan Iskan, Mantan Menteri BUMN).

Putra Pertama Habib Hasan Munadi yakni Habib Ibrahim Ba'abud adalah kawan dekat Pangeran Diponegoro putra dari Sultan Hamengkubuwono III. Keakraban Habib Ibrahim dengan Raden Mustahar (nama kecil Pangeran Diponegoro) terjalin saat keduanya diasuh oleh Ratu Ageng istri Sultan Hamengkubuwono I (Pangeran Mangkubumi). Selisih usia beliau dengan pahlawan yang memiliki nama lain yakni Raden Mas Ontorwiryo adalah 5 tahun lebih tua. Pangeran Diponegoro sendiri adalah putra dari Sultan Hamengkubuwono III dari garwa ampeyan atau selir. 

Rijal Mumazziq , Rektor INAIFAS Jember mengatakan bahwa kitab yang dikaji oleh Pangeran Diponegoro (dan mungkin juga oleh Habib Ibrahim Ba'abud) adalah Topah. Perkiraan awal bahwa kitab itu adalah Tuhfatul Muhtaj-nya Imam Ibnu Hajar al-Haitami , atau Tuhfatut Thullab-nya Imam Zakaria al-Anshari atau mungkin Tuhfatul Muhtaj-nya Imam Al-Bujairami. Namun menurut Carey kitab Topah tersebut adalah kitab Tuhfah al-Mursalah ila Ruh an-Nabi karya Syekh Muhammad bin Fadhlullah al-Burhanpuri, yang menjelaskan tentang ajaran "martabat tujuh" yang sesuai dengan pemikiran manusia Jawa manakala merenungkan Allah, dunia dan kedudukan manusia. Sebagai penganut tarekat Syatariyyah kemungkinan beliau belajar kepada Habib Hasan Munadi, ayahanda dari kawannya, Habib Ibrahim Ba'abud.

Dari kedekatan inilah di kemudian hari keduanya akan bahu membahu dalam perang Diponegoro. Habib Ibrahim Ba'abud yang bergelar Pekih (Penghulu Kyai Haji) ini bersama Kyai Badruddin (pendukung Diponegoro lainnya) ditugaskan Pangeran Diponegoro untuk menjadi juru runding dengan Kolonel Clereens untuk membicarakan suatu pertemuan sebelum pertemuan Diponegoro dengan pihak Belanda pada tanggal 28 Maret 1830 di Magelang. Dalam pertemuan awal dengan Kolonel Cleerens itu Diponegoro menegaskan bahwa pada pertemuan 28 Maret tersebut Diponegoro adalah manusia bebas yang bergelar Sultan Ngabdulkamid Herucokro Kabirul Mukminin Sayyidin Panataga Jawa yang bersedia datang untuk memenuhi undangan Belanda dan duduk bersama untuk bersilaturahmi di Hari Raya Idul Fitri. Cleerens disaksikan oleh Habib Ibrahim dan Kyai Badruddin, menyepakatinya. 

Namun ketika pertemuan utama berlangsung, De Kock tidak menyebut Diponegoro dengan gelar yang dimintanya namun tetap dengan Pangeran Diponegoro. Padahal nama kepangeranan itu telah diberikan ke putra tertuanya ,bertema KPH (Kanjeng Pangeran Haryo) Diponegoro. Berarti, Belanda tidak pernah mengakui Diponegoro sebagai sultan pemimpin spiritual keagamaan (Islam) di tanah Jawa. Dan dengan tipu muslihatnya, Diponegoro kemudian ditangkap dan diasingkan ke Manado untuk selanjutnya dipindahkan ke Makassar dan wafat disana. 

Menurut Syamsu As dalam bukunya Ulama Pembawa Islam di Nusanatara, Habib Ibrahim Ba'abud atau Pekih Ibrahim juga ditangkap Belanda kemudian diasingkan di Penang, lalu dipindahlan ke Ambon, meninggal di Benteng Victoria dan dimakamkam di Batu Gajah, Ambon. Meski begitu banyak keturunanya. Namun banyak keturunannya lebih leluasa menggunakan nama jawanya, berbahasa Jawa, berpakaian jawa, bertata krama jawa, beradat istiadat jawa, dan menggunakan sistem kekerabatan Jawa.

Sementara itu, Putra ketiga dari Habib Hasan Munadi, yakni Sayyid Ali Ba'abud kelak akan mengasuh Pondok Pesantren Al-Iman, Bulus, Gebang, Purworejo. Sebelumnya Pesantren Al-Iman telah dirintis oleh Syekh Ahmad Alim Bulus Basyaiban kelahiran Wonosobo yang pernah menjadi laskar Ki Ageng Gribing Jatinom Klaten dalam Perang Mataram-VOC di Batavia pada masa Sultan Agung Hanyokrokusumo Satriyo ing Alaga Sayyidin Panatagama Khalifatullah.

Pada masa Perang Diponegoro, tepatnya 19 Nopember 1826, ketika terjadi perang besar di Bagelen antara Belanda dan Pangeran Diponegoro, Syekh Alim secara diam-diam tanpa diketahui kolonial Belanda menyertakan para santri untuk dijadikan prajurit. Ia menyiapkan para pejuang untuk ditempatkan di benteng pertahanan Magelang, Bagelen (dipimpin oleh Raden Tumenggung Djojomustopo yang dimakamkan di Sindurejan dan Raden Syamsiah-Penghulu Landrat Pangenjurutengah). Dalam peperangan tersebut pula oleh prajuruit dari Wonosobo dan Banyumas.

Dikutip dari laman nu-jateng.com Mbah Ahmad Alim, konon dibuang Belanda ke daerah Bulus. Adapun penamaan kampung Bulus, lantaran konon Mbah Alim banyak menjumpai hewan bernama Bulus. Mbah Ahmad Alim dikenal sebagai seorang sufi. Konon beliau itu masih keturunan Sunan Maulana Malik Ibrahim Gresik, Jawa Timur.
Saat ini pesantren Al-Iman yang Pesantren Al-Iman dulunya bernama al-Islamiyah ini tergolong pesantren tertua di Kabupaten Purworejo menjadi kawah candradimuka pejuang-pejuang islam masa depan. Tak kurang seribu santri belajar di pesantren yang diasuh Habib Hasan Agil, Rois Syuriah PCNU Kabupaten Purworejo. Selain pesantren juga dibuka pendidikan formal seperti Raudlatul Athfal, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, Ma'had Aly dan lain-lain.

”Lambat laun pesantren yang didirikan itu banyak didatangi santri. Dengan berkembangnya zaman, kiai Ahmad Alim bahkan sempat memiliki santri yang cukup alim, dan di antaranya bahkan ada yang mashur, seperti Kiai Shaleh Darat, Semarang,” tuturnya.

Setelah kiai Ahmad Alim wafat, tampuk kepemimpinan pesantren diteruskan oleh salah satu menantunya, bernama Raden Sayyid Ali. Dipilihnya menantu sebagai pemegang tampuk pimpinan pesantren dikarenakan sang menantu itu dikenal cukup alim dan masih keturunan sayyid. Alasan di balik itu, karena dilandasi keikhlasan. Ketika itu kira-kira terjadi pada masa Pangeran Diponegoro atau sekitar tahun 1800-an. Anak-anaknya Mbah Alim yang keluar dari Bulus, juga mendirikan pesantren yakni, Pondok Pesantren Loning, Pacalan, Tirip, Maron, Solotiang, dan Al-Anwar Purworejo.

Dari Sayyid Ali, kepemimpinan pesantren kemudian dilanjutkan anaknya, yakni Sayyid Muhammad, kemudian diteruskan Sayyid Dahlan. Kepemimpinan Kiyai Sayyid Dahlan berakhir sekitar tahun 1935-an. Setelah itu pondok menjadi vakum. Kevakuman itu akibat dari keboyongan (kepindahan) kiai ini ke daerah Kauman, dekat masjid Jami` Purworejo. Karena saat itu sang kiai diminta oleh Bupati Cakranegara pindah ke Kauman untuk menjadi imam dan kiai di Kauman. Setelah lama vakum dan tidak ada aktivitas, pesantren di Bulus itu dibangun atau dihidupkan kembali oleh Habib Agil Ba’abud sekitar tahun 1955 dan selanjutnya dilanjutkan oleh putranya Habib Hasan Aqil Ba'abud.

Selain Habib Ibrahim Ba'abud dan Syekh Alim Bulus, terdapat pula sosok KH. Muhyiddin Rofi' atau yang lebih dikenal sebagai Guru Loning. Beliau adalah putra dari Kyai Nur Iman Mlangi bin Raden Mas Suryo Putro yang bergelar Sultan Amangkurat IV (memerintah tahun 1719-1726).

Dari jaringan Kyai Nur Iman dari Guru Loning ini terhimpun 3000 prajurit Bagelen dibawah kendali Pangeran Ontowiryo yang menyokong perjuanga Pangeran Diponegoro. Saking kuatnya perlawanan Bagelen, Kompeni Belanda sampai harus menggunakan taktik Benteng Stelsel, dengan membangun 25 buah benteng di kawasan Bagelen. 

Pada saat perang gerilya melawan Penjajah kolonial Belanda, Diponegoro juga pernah menginap di Masjid Santren Bagelen yang sekarang berlokasi di dusun Santren, Desa Bagelen, Kecamatan Bagelen Kabupaten Purworejo. Masjid ini merupakan masjid kuno yang dibangun dengan gaya arsitektur tradisional Jawa dan bangunan bagian atapnya berbentuk tajuk tumpang satu tersebut. Masjid yang konstruksi kayu serta serta gonjo masjidnya persis Masjid Al-Aqsa Menara Kudus ini dibangun pada tahun 1618 Masehi.

Ulama dari Bagelen lain yang bergabung bersama pangeran Diponegoro juga ada yang menyingkir ke desa Ringinagung, kediri dan membangun pesantren Mahir ar-Riyadh yaitu Kyai Nawawi. Dari pesantren Ringinagung ini akan belajar KH. Abdul Karim yang kelak akan mendirikan pondok pesantren Lirboyo Kediri.
 
Setelah berdiskusi panjang tentang sejarah panjang perjuangan ulama dan santri di Bagelen, Habib Hasan Agil Ba'abud berpesan bahwa mempelajari sejarah bangsa Indonesia sangat penting khususnya sejarah perjuangan ulama' dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Semenjak Islam hadir di Bumi Nusantara Habaib dan Kyai bahu membahu dalam memperjuangkan syiar islam Ahlussunnah wal-Jamaah. Jangan sampai kedua elemen ini dipisahkan karena hal ini telah menjadi skenario penjajah yang semenjak dulu selalu membenturkan Habaib dan Kyai.

Menurut alumni Perguruan Islam Termas, Pacitan ini termasuk kelemahan orang jawa adalah tidak menisbatkan nasabnya kepada leluhurnya. Tidak seperti komunitas Hadrami, Batak, yang masih menyandang marga leluhur. Hal ini dikarenakan saat itu banyak masyarakat Jawa yang menyembunyikan nasabnya dikarenakan takut dikejar-kejar kolonial Belanda. Terlebih setelah terjadinya Perang Diponegoro yang menguras kas Kerajaan Hindia Belanda. Banyak laskar, keturunannya yang melarikan diri namun sesampai di tempat persinggahan mereka mendirikan pesantren seperti Mbah Hamimuddin (Pendiri Pondok Bungkuk Singosari), Mbah Abdussalam, Mbah Sehah (Pendiri Pondok Tambakberas), Mbah Lanah yang berputra KH. Ghozali (Pendiri Pondok Sarang), Mbah Hasan Besari yang kelak cucunya KH. Munawwir mendirikan Pondok Pesantren Al-Munawwir dan lain-lain. 

Menjalani penelusuran sejarah memang terkesan melelahkan dan menghabiskan biaya yang tak sedikit. Namun kita akan menemukan kepuasan tersendiri ketika mulai berhasil melacaknya khususnya sejarah perjuangan bangsa. Hal ini dirasa penting agar tidak "kepaten obor" (meminjam bahasa Habib Lutfi bin Ali Hasyim bin Yahya) yakni buta atau dibutakan oleh sejarah. 

Purworejo, 14 Nopember 2019
Muhammad Abid Muaffan
Santri Backpacker Nusantara


Zahra Fuaida, Hafiz Cilik Asli Gondanglegi
(Penelusuran Kisah Inspiratif Jawara Hafiz Indonesia RCTI 2018)

Aida, mendengar namanya kita akan terngiang pada seorang anak yang belum lama ini menjadi buah bibir bagi masyarakat tanah air. Sosok yang telah mengangkat derajat kedua orang tuanya akan prestasi gemilangnya. Seorang anak yang telah mengharumkan Bumi Kanjuruhan Malang Raya setelah menorehkan prestasi yang luar biasa. Gadis belia yang mampu menjadi magnet dan inspirasi banyak anak untuk bercita-cita menjadi keluarga Allah SWT lewat penghafal Al-Qur’an. Sosok puteri idaman yang dapat menggelorakan kebanggaan yang patut disyukuri bagi almamaternya setelah berhasil menjuarai ajang Hafiz Indonesia RCTI 2018.

Terlahir dari keluarga dari latar belakang ekonomi yang kurang mampu, rumah yang berada di pelosok pedesaan, kediaman yang masih mengontrak, gadis yang lahir dengan nama Zahra Fuaida Hakim ini mampu mengungguli peserta-peserta lain yang terjaring dari berbagai daerah di penjuru tanah air. Sebutlah Muslim, seorang hafidz cilik kelahiran Mesir yang dibesarkan di Kota Suci Makkah Al-Mukarromah yang menduduki peringkat kedua dari even yang rutin diselenggarakan oleh Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) pada bulan suci Ramadhan ini. Atau Aisyah, gadis penghafal Al-Qur’an asli Baturaja, Sumatera Selatan dalam kompetesi yang telah memasuki tahun keenam ini. Belum lagi ratusan peserta yang telah melalui seleksi ketat hafalan Al-Qur’annya dari penjuru tanah air. 

Dari penilaian juri-juri handal dalam bidangnya seperti Syekh Ali Jaber (Dai Kelahiran Madinah) Syekh Abdul Karim Al-Makki (Qori Internasional dari Mekkah), Dr. Amil Faishol Mahmud (Mufassir Al-Qur’an alumni International Islamic University Islamabad, Pakistan) Nabilah Abdurrahim Maryam (Pengajar di sebuah Lembaga Al-Qur’an Saudi Arabia), TGB KH. Muhammad Zainul Majdi, (Gubernur Nusa Tenggara Barat).  Terpilihlah Zahra Fuaida binti Lukman Hakim asal Kabupaten Malang sebagai juara pertama dalam ajang yang memperebutkan hadiah puluhan juta rupiah dan umrah gratis ini. Tak cukup itu Dewan Masjid Indonesia (DMI) yang saat itu diwakili oleh Wakapolri Komisaris Jendral Syafruddin memberikan kesempatan Aida beserta kedua orang tuanya untuk menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci.

Siapakah Aida itu? Siapakah kedua orangtuanya yang begitu bersyukurnya kepada buah hatinya yang di masa belianya mampu menghantarkan mereka ke tanah suci? Dimanakah Aida belajar menghafalkan Al-Qur’an sampai mampu menjuarai Hafiz Indonesia? Apa rahasia dibalik kegemilangannya menjadi kampium ajang bergengsi dalam ikhtiar mensyiarkan Kalam Illahi di tanah air ini? Simak penelusuran kami langsung dari catatan singkat dari wawancara kedua orangtua Aida di kampung halamannya dan gurunya di tempat dimana dia belajar. 
 
Aida, begitulah nama panggilan dari putri sulung dari pasangan keluarga guru honorer Bapak  Lukman Hakim (Mengajar di MI Miftahul Huda Sukorejo Gondanglegi) dan Ibu Sofia (Mengabdi di SMP Roudlotul Ulum Ganjaran dan MTs Zainul Ulum Ganjaran) ini. Terlahir pada Selasa 29 Mei 2009, Aida merupakan sosok anak yang cukup cerdas dibanding anak seusianya. Bagaimana tidak di usia yang masih 9 tahun ini, siswa kelas 3 di Madrasah Ibtidaiyyah Miftahul Huda, Sukorejo, Gondanglegi ini sudah mampu menghafal Al-Qur’an 12 Juz secara mutqin.
 
Aida memulai proses menghafal Al-Qur’an pada usia 6 tahun atau saat duduk di bangku TK Sunan Giri, Sumberjaya, Gondanglegi. Awalnya ayahandanya sendiri yang mengajarkan Al-Qur’an sebelum kemudian memasukkan ke TPQ yang hanya dalam jangka satu tahun saja sudah lulus atau khatam membaca Al-Qur’an dengan bin-nadhor (melihat mushaf). Dalam kesehariannya kakak dari Adziya Qotrun Nada Hakim ini siang selepas sekolah, pulang ke rumah untuk tidur siang. Setelah sholat ashar ayahnya mengantarkannya mengaji ke TPQ Al-Islamy di desa Ganjaran Kecamatan Gondanglegi. 

TPQ Al-Islamy adalah sebuah Taman Pendidikan Al-Qur’an binaan Gus Muhammad Nawawi al-Hafidz. TPQ Al-Islamy berada dalam naungan Pondok Pesantren Miftahul Ulum Roudhotul Ulum IV, Ganjaran asuhan KH. Muhammad Kholili. TPQ Al-Islamy menggunakan metode Qiroati yang disusun oleh Almaghfurlahu KH. Dahlan Salim Zarkasy, Semarang. Dalam perkembangannya metode baca Al-Qur’an yang begitu melegenda ini memiliki progam Pasca-TPQ yakni Tahfidzul Qur’an. Menurut Gus Nawawi, dalam Progam Pasca TPQ ini diperuntukkan bagi murid sudah khatam membaca Al-Qur’an di bawah bimbingan metode Qiroati yang berkeinginan menghafal Al-Qur’an. Dalam pelaksanaan metode ini murid tidak harus menetap di pesantren. Meski begitu, beliau juga membuka kesempatan kepada murid untuk bermukim di pesantren, meski jumlahnya tak banyak.

Pembinaan Progam Pasca TPQ ini dibina langsung oleh Istri Gus Nawawi sendiri yakni, Ning Sufa Inayatul Kamaliyah putri Al-Maghfurlahu al-Hafidz KH. Abdullah Kamal Mufidz, Pendiri Pondok Pesantren al-Kamaliyah, Penarukan, Kepanjen, Malang. Hafalan Al-Qur’an dibuat secara mandiri oleh peserta didik di kediamannya masing-masing untuk kemudian di sore harinya disetorkan ke beliau dan guru-guru lainnya. Terkait mengulang (murojaah) hafalan sebelumnya dilakukan oleh para santri dengan membentuk halaqah atau lingkaran sesuai dengan juz yang dihafalkan sebelumnya. Jadi secara bergantian mereka membacakan Al-Qur’an dengan hafalan dan murid lainnya menyimak. 

Setiap akan berganti juz, murid diwajibkan untuk membacakan juz yang sebelumnya telah dihafalkan secara bil-ghoib (tanpa melihat mushaf) dengan kesalahan maksimal 10 kali, diatas itu maka harus mengulang ujian kenaikan juz ini. Setelah lulus barulah murid boleh melanjutkan juz setelahnya. Dan dari sinilah Aida menjalani proses menghafalkan Al-Qur’an. Namun beberapa dalam menghafal Al-Qur’an terlebih dahulu membaca satu halaman sampai 5 kali, baru kemudian dihafalkan sedikit demi sedikit. Ketika kami bertanya kepada ayahandanya mengapa tidak sekalian dipondokkan, maka sang ayahnya dengan lugas menjawab bahwa beliau ingin mengasuh sendiri buah hatinya tersebut sampai beranjak remaja.
 
Sebelum maghrib Aida dan kawan-kawannya beranjak pulang. Sambil menunggu ayahnya yang sehari-hari bekerja sebagai guru honorer di tempat Aida bersekolah (MI Miftahul Huda Sukorejo, Gondanglegi) datang menjemputnya ini, Aida merapalkan hafalannya. Hal ini dilanjutkan sampai setelah sholat maghrib. Setelah sholat Isya’ Aida belajar untuk sekolah esok pagi dan segera tidur. Esok setelah subuh, sang ayah menyimak hafalan lama Aida dan membantu menyiapkan untuk setoran hafalan nanti sore. Meski hanya hafal surat-surat pilihan, namun dengan tekun serta istiqomah pria asal Jenggolo, Kepanjen, Malang ini mendengarkan ayat demi ayat yang dilantunkan buah hatinya ini dibantu oleh istri tercintanya yang asli Desa Sumberjaya ini.

Proses Aida sampai menjadi Jawara Hafiz Indonesia memang tak mudah. Sebagaimana dituturkan oleh ayahnya ini diawali dengan pengumuman di website resmi RCTI. Aida mengikuti proses seleksi via video call dari rumahnya. Setelah dinyatakan lulus Aida harus berangkat ke Jakarta untuk mengikuti seleksi lanjutan bersama 60 peserta lain dari seluruh Indonesia. Dalam tahapan seleksi Hafiz Indonesia memang terdiri dari 5 tahap yakni tahap Salamah (audisi), Tahap Muqadimah (perkenalan), Tahap Izaalah (eliminasi), Tahap Musabaqah (perlombaan) dan, Wisuda Akbar (babak terakhir)

Setelah itu disaringlah keenam puluh peserta tersebut untuk dikerucutkan sampai 24 peserta yang kemudian akan dipertandingkan secara live di layar kaca. Kemudian proses audisi yang berjalan pada bulan Rajab atau dua bulan sebelum tayang ini, dimulai sampai sebulan lamanya. Sampai akhirnya menghasilkan 3 besar yakni Aida dari Malang, Muslim dari Mekkah, dan Aisyah dari Baturaja. Dan keluarlah Aida menjadi juara satu Hafidz Indonesia RCTI 2018.

Selain memilih yang siapa yang terbaik, penilaian dalam Hafidz Indonesia menggunakan 5 kriteria yakni Afsoh (Terfasih Bacaanya), Ajwad (Terbaik Tajwidnya), Aqwa (Terkuat Hafalannya), Ahfadz (Terbanyak Hafalannya), Ajmal (Terindah Bacaanya). Dalam edisi tahun ini secara berurutan yakni Aida dari Malang (Afsoh) Aisyah dari Baturaja (Ajwad), Wahib dari Pangkep (Aqwa), Hamzah dari Karanganyar (Ahfadz) dan Kayla dari Makassar (Ajmal). Masing-masing peraih predikat itu mendapat hadiah sebesar lima juta rupiah.
 
Awalnya kedua orang tua Aida sempat tidak percaya ketika Aida putrinya keluar menjadi juara, seperti ibunya yang baru berangkat di tiga sesi akhir menjelang final. Namun begitulah Allah SWT menuliskan suratan takdir kepada keluarga yang Insya Allah SAMAWA (Sakinah Mawaddah wa Rahmah) ini. Meski baru 12 juz yang dihafalkan dibanding peserta lain yang sebagian sudah khatam 30 juz, namun berkat lantunan Al-Qur’an yang lancar, ketepatan tajwid didukung akhlak yang ditonjolkan selama pelaksanaan audisi, maka terpilihlah Aida sebagai jawara Hafiz Indonesia sesi 6 ini. Selain itu ciri khas dari Aida menurut pengakuan Syekh Ali Jaber adalah menemukan dirinya sendiri tidak meniru siapa-siapa dan mengikuti suaranya sendiri. Menurut Syekh Abdul Karim al-Makki al-Fathoni, Qori Internasional dari Patttani, Thailand mengatakan bahwa suara Aida mirip Adzan Upin dan Ipin yang alunannya seperti nada Jiharka. 

Tentang Syekh Ali Saleh Mohammed Ali Jaber  yang lahir di lahir di Madinah, 3 Februari 1976. Aida memiliki kesan yang begitu mendalam. Dimana sebelum mengikuti proses audisi, suatu ketika Aida pernah berkata kepada ayahandanya 
“Yah, saya bermimpi? Kata Aida
“Mimpi apa anakku? Tanya Sang Ayah 
“ Saya berminpi melihat saya sendiri 
“Lho kok bisa anakku” heran ayahnya 
“Saya dipangku oleh Syekh Ali Jaber”, Jawab Aida 
“Alhamdulillah anakku, kita akan pergi ke Jakarta. Kita tidak mencari kemenangan, kita tidak mencari apa-apa, jika Allah menakdirkan bahwa kamu akan dipangku oleh Syekh Ali Jaber” Jelas Sang Ayah
Dalam pengakuannya kepada Irfan Hakim yang disampaikan dengan berkaca-kaca ini dipangku saja itu sudah cukup bagi beliau. Hal ini juga diakui oleh Aida dengan anggukan. Dari isyarat inilah pada suatu sesi Syekh Ali Jaber maju ke depan panggung dan benar-benar memangku Aida. Guru Al-Qur’an dari Tanah Suci ini memangku dan mencium tangan Aida. Tak cukup itu, Dr. Amir Faisol Fath yang pernah menyantri di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Sumenep ini juga ikut maju untuk menceritakan tentang seseorang penjual roti yang begitu kerasnya usaha untuk  bisa bertemu Imam Ahmad bin Hanbal. Dari sinilah ternyata yang menjadi isyarat dari mimpi yang menghantarkan Aida menjadi juara.  

Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, begitu pepatah mengatakan. Keberhasilan sosok Aida yang mampu memperoleh hasil gemilang ini takkan terjadi tanpa usaha serta doa dari kedua orang tuanya. Meski tidak secara gamblang ayahanda maupun ibundanya mengungkapkan namun hal itu sudah terpancar dari keistiqomahan keduanya dalam mendidik buah hatinya. Saat bersilaturrahmi kepada KH. Muhammad Kholili, ada yang mengatakan hal itu berkat puasa di siang harinya dan sholat malam yang terus dilakukan untuk menunjang keberhasilan buah hatinya. 

Hal itu juga diamini Kyai asli Bangkalan alumni Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan ini, beliau juga menambahkan bahwa sosok kebaikan dari Pak Lukman yang tak lain adalah ayah Aida sudah terlihat dari sejak mengaji kepada beliau di lingkungan pesantren yang dirintis oleh Almaghfurlahu KH. As'ad Ismail dari Sampang yang pernah menyantri Syaikhona Kholil Bangkalan ini.

Pak Lukman dikenal masyhur akan keistiqomahan dan ketekunannya dalam menyantri sampai sempat mengajar di Madrasah Diniyyah dalam lingkup pesantren yang berada di samping Masjid Asy-Syafiyyah, Ganjaran. Selain itu menurut Gus Nawawi, Guru Ngaji Aida. Kesuksesan ini berkat dari cita-cita luhur dibarengi ikhtiar serta istiqomah dari kedua orangtualah yang menjadi kunci sukses Aida dapat meraih prestasi gemilang yang sudah patut disyukuri. 

Saat ini berjibun kenikmatan datang bertubi-tubi datang menghampiri Pak Lukman sekeluarga mulai dari mendapat hadiah senilai Rp.135.000.000,00, 3 paket haji dan 3 paket umrah sampai tamu yang setiap harinya di momen lebaran ini untuk sekedar bersilaturrahmi ke kontrakannya sederhananya yang berada di pintu perbatasan Desa Sumberjaya dan Desa Bulupitu ini. Meski mendapatkan kenikmatan yang begitu besar namun keluarganya yang tak jumawa, dan mengganggap ini semua datangnya dari Allah semata. Bimbingan serta doa dari guru-guru Aida yang begitu besar juga menjadi faktor utama Aida meraih juara. Semoga Aida mampu menuntaskan hafalannya sampai khatam 30 Juz dengan baik dan lancar.

Begitulah Aida yang awalnya bercita-cita ingin membangunkan rumah untuk kedua orang tuanya ternyata mampu menghantarkan kedua orang tua di Baitullah di Makkah al-Mukarromah dan Insya Allah kelak akan menuntun keduanya di rumah keabadian di Surga Jannatul Firdaus. 

Semoga inspirasi ini menjadi pelecut untuk menjadi keluarga Illahi dengan menghafalkan kalam-kalam-Nya. Semoga berangkat dari coretan sederhana diatas mampu meningkat motivasi untuk lebih bersemangat mengaji meski belum lama ini kita ditinggalkan bulan Suci Ramadhan. Semoga inspirasi dari Aida ini mampu menumbuhkan semangat kepada generasi muslim untuk lebih mencintai Al-Qur’an.

ا للّهُمَّ انْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ الْعَظِيْمَ رَضيْعَ قُلُوْ بِنَا وَ جَلَآءَأَحْزَا نِنَا وَنُوْرَ صُدُوْرِنَا وَ ذَهَابَ غُمُوْمِنَا وَهُمُوْمِنَا

اللّهُمَّ اجْعَلْنَا مِنْ أَهْلِ الْقُرْآنَ الَّذِيْنَ هُمْ أَهْلُكَ وَخَآصَّتُكَ يَآأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

“Ya Allah.. Jadikanlah Al-Qur’an-Mu Yang Agung, taman hati kami, penghilang rasa sedih kami, menjadi cahaya hati kami, dan pengusir gundah gulana kami."

"Ya Allah. jadikanlah kami keluarga Al-Qur’an,
yaitu orang-orang yang menjadi keluarga-Mu dan yang Engkau khususkan. Wahai Dzat yang Penyayang diantara Para Penyayang…”

Ganjaran, 6 Syawal 1439 H
Abid Muaffan
Santri Backpacker Nusantara

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget