KH. Syafi'i Abbas, Pejuang Kalam Illahi dari Banyuwangi
KH. Syafi'i Abbas adalah Pengasuh Pondok Pesantren Tahaffudz Al-Qur'an Al-Azhar Al-Abbas, Tugung, Sempu, Banyuwangi. Beliau adalah putra dari KH. Abbas, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Azhar, Tugung, Sempu, Banyuwangi.
Dikutip dari laman NU.Banyuwangi.or id, Kiai Abbas terlahir pada tahun 1853 M di tengah keluarga Keraton Yogyakarta yang religius. Akan tetapi, ayahandanya, Raden Hasan Munadi, tak kerasan tinggal di lingkungan keraton. Ia menganggap banyak hal dari kebiasaan keraton yang tak sesuai dengan prinsip keagamaan yang diyakininya.
Tumbuh di keluarga yang religius, Abbas belia pun akrab dengan dunia pesantren yang menjadi kawah candradimuka pendidikan agama. Pesantren yang pertama kali menjadi tempat belajar Kiai Abbas adalah Pesantren Lirap, Kebumen, Jawa Tengah. Kemudian ia melanjutkan ke Pesantren Bendo, Pare, Kediri. Selang beberapa waktu, ia berpindah ke Pesantren Kademangan, Bangkalan dibawah asuhan Syaikhona Kholil.
Di pesantren yang terakhir ini, Kiai Abbas dinikahkan dengan Hafsatun oleh Syaikhona Kholil. Setelah menikah, Syaikhona Kholil menyuruh Kiai Abbas untuk menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu di Hijaz sana. Konon, dalam perjalanan ke Timur Tengah itu, Kiai Abbas menyempatkan diri untuk belajar di Al-Azhar, Kairo. Kelak, dari nama itulah, Pesantren Tugung ia bernama Al-Azhar.
Seusainya menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu di tanah Arab, Kiai Abbas kembali lagi ke Madura untuk menemui gurunya dan istrinya. Betapa kagetnya Kiai Abbas sesampainya di Bangkalan. Guru yang amat ia patuhi, Syaikhona Kholil, menyuruhnya untuk menceraikan istrinya yang terlanjur ia cintai itu. Tak hanya itu, Syaikhona Kholil juga mengusir Kiai Abbas.
Meski secara logika perintah tersebut memberatkan, Kiai Abbas tetap mematuhinya. Ia yakin perintah gurunya yang dikenal waliyullah itu memiliki rahasia tersendiri. Akhirnya Kiai Abbas menceraikan Hafsatun dan meninggalkan Madura menuju ke Banyuwangi, sebagaimana yang diisyarahkan oleh gurunya ketika mengusir.
Sesampainya di Banyuwangi, Kiai Abbas diambil menantu oleh Kiai Hafidz, pendiri Pesantren Tugung, Sempu. Ternyata di pesantren tersebut, kebesaran nama Kiai Abbas bersinar terang. Di Pesantren Tugung itulah beliau mendidik para santri dan menurunkan banyak keturunan, salah satunya KH. Syafi'i Abbas.
KH. Syafi'i Abbas lahir pada tahun 1951. Beliau adalah murid langsung KH. Abdul Qodir Munawwir (lahir Sabtu Legi , 11 Dzulqo'dah 1338 H/24 Juli 1919). Kawan seangkatannya saat itu adalah KH. Mustain Syamsuri Singosari Malang dan KH. Abdul Mannan Singosari Malang.
Beliau menghafalkan Al-Qur'an di Krapyak dimulai tahun 1956, sampai wafatnya KH. Abdul Qodir pada tahun 1961. Selanjutnya beliau sempat menyetorkan hafalannya kepada KH. Ahmad Munawwir. Syafi'i muda selesai menghafal Al-Qur'an di usia yang cukup muda yakni 17 tahun.
Selesai menghafal Al-Qur'an, beliau berkelana ke beberapa pesantren sebelum kemudian pulang untuk membantu perjuangan ayahandanya KH. Abbas yang merupakan junior KH. Munawwir saat mengaji di Syaikhona Kholil Bangkalan. Bersama ayahanda dan saudara-saudaranya, Syafi'i muda membantu mengajar di pesantren Al-Azhar yang merupakan salah satu pesantren tertua di Banyuwangi. KH. Nawawi Abdul Aziz, Pendiri Pondok Pesantren An-Nur, Ngrukem, Bantul, Jogjakarta tercatat salah satu santri binaan Mbah Abbas.
Dalam Biografi KH. Nawawi Abdul Aziz, Sejarah Hidup Sang Penjaga Al-Qur'an dikisahkan bahwa Nawawi Muda belajar di Pesantren Tugung pada tahun 1944 setelah belajar di Kyai Anshori, Kutoarjo Purworejo, dan Kyai Luqman, Lirap Kebumen. Pilihannya untuk belajar kepada KH. Abbas didasari oleh pertemuan KH. Abdul Aziz dengan Abbas Hasan ketika melaksanakan ibadah haji.
Saat itu ayahanda KH. Nawawi tersebut begitu terkagum dengan keluasan ilmu yang dimiliki KH. Abbas yang di masa muda banyak mengembara ke beberapa pesantren seperti Jampes, Bendo (keduanya berada di Kediri), dan mengaji kepada Syaikhona Kholil. KH. Abbas sendiri ternyata juga berasal dari Jogjakarta dan masih keturunan Raden Mas Wongso Diprojo atau Sultan Hamengkubowono IV yang nasabnya bersambung kepada Sinuhun Kanjeng Prabu Amangkurat Agung, Sultan Mataram.
Atas dasar itulah KH. Abdul Aziz mengirimkan Nawawi muda dan adiknya Hasyim untuk nyantri kepada KH. Abbas di Banyuwangi. Disana KH. Nawawi belajar berbagai fan keilmuan seperti fikih, tafsir, dan tasawuf. Tak lama belajar di Pesantren Tugung, Nawawi muda pulang ke Kutoarjo, Purworejo untuk suatu keperluan.
Namun saat akan kembali ke Banyuwangi tersiar kabar Sekutu telah melancarkan agresi Militer di Kota Surabaya. Serangan tersebut disambut oleh pejuang dan santri dengan Spirit Resolusi Jihad yang dikemukakan oleh Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy'ari dengan mengangkat senjata melawan Inggris dan Sekutunya. Perang yang awalnya terjadi di Surabaya juga merembet ke kota-kota lain di Jawa Timur.
Melihat kondisi politik yang tak memungkinkan untuk kembali Banyuwangi, KH. Nawawi pun mengurungkan niat untuk kembali ke pesantren Tugung. Padahal disana masih banyak kitab-kitab yang telah dipelajarinya. Maka Nawawi muda memikirkan cara agar tetap bisa mengaji dengan biaya yang tidak terlalu mahal, maka beliau pun memutuskan untuk menghafal Al-Qur'an.
Awalnya Nawawi muda ingin menghafal Al-Qur'an kepada Kyai Syatibi di Kutoarjo yang merupakan santri dari KH. Munawwir, pendiri Pondok Pesantren Krapyak, Jogjakarta. Namun, atas saran ayahandanya, beliau belajar kepada sumbernya langsung di Krapyak yang saat itu diasuh oleh KH. Abdul Qodir Munawwir yang merupakan putra KH. Munawwir dan Nyai Raden Ayu Mursyidah.
Dari sinilah mata rantai keilmuannya kembali dengan Kyai Abbas yang putranya Syafi'i juga belajar kepada ayahanda KH. Najib Abdul Qodir (pengasuh Pondok Pesantren Al-Munawwir sekarang) dan KH. Hamid Abdul Qodir (Pengasuh Pondok Pesantren Al-Qur'an Maunah Sari Kota Kediri) ini. KH. Abdul Qodir ini sendiri mengasuh pesantren Krapyak pada usia 18 tahun bersama kakaknya KHR. Abdullah Affandi dan adiknya iparnya KH. Ali Maksum (suami Nyai Hj. Hasyimah binti Munawwir).
Kisah KH. Nawawi Abdul Aziz lainnya bisa disimak di laman berikut
https://m.facebook.com/story/graphql_permalink/?graphql_id=UzpfSTEwMDAwMDcwOTMxMTQzMjoyOTY0MzE4ODU2OTM1MDYy
Kembali kepada sosok KH. Syafi'i Abbas. Ulama yang sudah berusia 69 tahun mengasuh pesantren Tahaffudz Al-Qur'an Al-Azhar Al-Abbas yang dirikan tahun 1980-an ini telah banyak melahirkan para penghafal Al-Qur'an. Pesantren ini memang tidak terlalu besar dan konon hanya menerima santri tak lebih dari 30 orang ini. Diantaranya santri beliau adalah KH. Abdul Hadi, Pengasuh Tahfidz al-Qur'an di Pesantren Mahasiswa Al-Hikam, Malang dan KH. Syamsul Arifin, Pencipta Metode Baca Al-Qur'an Tartili sekaligus Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hidayah Kesilir, Wuluhan, Jember.
Metode Tartili karya KH. Syamsul Arifin yang juga pernah menghafalkan Al-Qur'an kepada KH. Abdullah Umar saat ini telah menjadi metode Baca Al-Qur'an yang tersebar di berbagai daerah. Bahkan Mimika, sebuah kabupaten yang berada di Tanah Papua pun telah dijangkau oleh metode yang diperkenalkan sejak tahun 2000. Metode yang terdiri dari 4 jilid ini telah banyak membantu para masyarakat Indonesia untuk belajar membaca Al-Qur'an.
Liputan Metode Tartili selengkapnya bisa disimak di laman berikut
Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/109206/metode-tartili-memesona-sejumlah-guru-tpq-di-mimika-papua
Terakhir, semoga KH. Syafii Abbas beserta Keluarga juga Ulama' Al-Qur'an lainnya diberikan kesehatan dan kekuatan sehingga dapat terus berkhidmat untuk ummat. Mendidik generasi Ahlul Qur'an yang kelak akan menjadi Pejuang Kalimatullah di masa yang akan datang.
Malang, 14 Maret 2020
Muhammad Abid Muaffan
Khadim Sanad Qiro'at Nusantara
Posting Komentar