Habaib-Kyai Bersatu Melawan Penjajah di Bagelen (Menelusuri Jejak Jejaring Ulama-Santri Diponegoro dari Purworejo)


Habaib-Kyai Bersatu Melawan Penjajah di Bagelen
(Menelusuri Jejak Jejaring Ulama-Santri Diponegoro dari Purworejo)

"Telusurilah sejarah keluarga dan bangsamu agar engkau tidak tergolong generasi yang padam obor atau kehilangan sejarah"
(Habib Lutfi bin Ali bin Yahya)

Bagelen adalah sebuah kawasan di Barat Jogjakarta yang terkenal sebaga basis pejuang kemerdekaan khususnya dalam Perang Diponegoro. Bagelen dahulu disebut Pagelen. Pagelen sendiri merupakan perubahan dari Medanggele, yang berasal dari kata Medangkamulan, kerajaan yang konon pernah ada di wilayah ini. Bagelen merupakan kota kuno legendaris yang banyak melahirkan para ulama penyebar risalah kenabian. 

Kamis, 14/11 silam kami berkesempatan bersilaturrahmi kepada Habib Hasan bin Agil bin Muhammad bin Ali bin Hasan Munadi bin Ibrahim Ba'abud. Beliau adalah Pengasuh Pondok Pesantren Al-Iman, Bulus, Gebang, Purworejo sekaligus Rois Syuriah PCNU Kabupaten Purworejo. Kami dijamu di ruang belakang rumah yang cukup di sederhana di tengah suasana pesantren yang begitu asri yang berada tak jauh dari pusat kota Purworejo.

Habib Hasan Agil Ba'abud memiliki garis keturunan yang ikut serta berjuang dalam merebut kemerdekaan dari cengkraman Kolonial Belanda. Beliau adalah keturunan Habib Hasan Munadi Ba'abud, seorang dzurriyah Rasul dari Hadramaut, Yaman yang menikah dengan BRA (Bendoro Raden Ayu) Samperwadi (1750-1828) putri (GRM Sundoro) Sultan Hamengkubuwono II (1750-1828) dari garwa ampeyan (selir), bernama BMA (Bendoro Mas Ajeng Citrosari, yang bersal dari desa Beki, Purworejo. 

Berikut nasab lengkap Habib Habib Hasan Agil Ba’abud. Beliau adalah putra Habib Agil bin Muhammad bin Ali bin Hasan al-Munadi bin Alwi Ba’abud bin Abdullah bin Muhsin bin Umar bin Muhsin bin Abdullah bin Abu Bakar bin Husein bin Ahmad bin Abu Bakar Ba’abud Kharbasyan bin Abdurrahman Ba’abud bin Abdullah Ba’abud bin Ali bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali bin Alwi Al-Ghayyur bin Muhammad Faqih al-Muqoddam bin Ali Ba’alawi bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khala’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidi bin Ja’far Ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah az-Zahra bin Rasulullah Muhammad SAW. 

Selain Habib Hasan Munadi yang menganut tarekat Syatariyyah ini, seorang sayyid keturunan Hadrami yang juga menjadi menantu Hamengkubowono II adalah Habib Hasan bin  Thoha bin Yahya atau dikenal Raden Tumenggung Sumodoningrat yang makamnya terdapat di Kota Semarang. Habib Thoha inilah yang kelak mempunyai putra Habib Umar bin Hasan yang berdakwah di Indramayu yang menjadi guru dari Kyai-kyai Cirebon seperti Kyai Qoyim, KH. Sholeh Bendakerep, Kyai Said Gedongan, Kyai Abdul Jamil Buntet, dan lain-lain. Kelak dari Habib Umar inilah akan lahir keturunannya yang luar viasa yakni Habib Muhammad Lutfi bin Ali bin Hasyim bin Umar bin Thoha bin Hasan bin Yahya, Ra’is ‘Am Jam’iyah Ahlu Thariqah al Mu’tabarah an Nahdiyah, Ketua Umum MUI Jawa Tengah dan Ketua Forum Sufi Internasional.

Zainul Milal Bizawie dalam Jejak Ulama Diponegoro mengatakan bahwa pernikahan ini terjadi ketika ayahanda Habib Hasan Munadi Ba’abud yakni Habib Alwi Ba'abud (1724-1815) mampu memenangkan sayembara mengobati Raden Putri Samparwadi yang saat itu sedang sakit. Hadiah dari sayembara tersebut adalah barangsiapa yang menyembuhkan penyakit sang putri, jika laki-laki maka akan menjadi suaminya, dan jika perempuan maka akan diangkat menjadi saudara Samparwadi. 

Singkat cerita, Sayyid Alwi Ba'abud mengikuti sayembara dan dengan izin Allah beliaupun mampu menyembuhkan penyakit sang putri. Namun karena usia beliau sudah 65 tahun, sedangkan Raden Ayu Samperwadi masih 14 tahun, maka Putri GRM Sundoro tersebut dinikahkan putranya Hasan Munadi (1764-1830) yang saat itu berusia 25 tahun untuk menikahi sang putri dan berlangsunglah pernikahan antara keturunan Arab dan keluarga Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada tahun 1789.

Hubungan Sayyid Alwi Ba'abud sebelumnya sudah terjalin ketika Sultan Sepuh (Sultan Hamengkubuwono I) diasingkan ke Ceylon, Srilanka oleh Inggris. Kedekatan itu kemungkinan karena Habib Alwi Ba'abud datang ke Yogyakarta sebagai utusan Sultan Usman (1754-1757) dari Kesultanan Turki Usman. Sebelumnya memang telah terjalin hubungan diplomatik (secara rahasia) antara Sultan Agung dengan Kesultanan Turki Usmani. Bahkan GRM Sundoro yang kelak akan berbesan dengan Habib Alwi Ba'abud pernah ke Turki tahun 1768-1771 untuk mempelajar janissary (pasukan infantri elit dan digdaya yang menjadi pengawal sultan dan merupakan pasukan perang utama dari Angkatan Darat Turki sejak abad ke-14 sampai awal abad ke -19). 

Peter Carey dalam Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro, 1785-1855 menyebutkan kelak ketika terjadi Perang Diponegoro, pengasuh Janissary Turki sangat tampak. Diponegoro memasukkan pendukungnya akan mahir dalam berperang ke dalam resimen-resimen pilihan seperti bulko, turkio, dan arkionya Janissary Turki.

Habib Alwi Ba’abud datang ke Jawa melalui jalur perdagangan Jepara dan Demak. Datang di tahun 1755 pada masa Pangeran Mangkubumi (1717-1792), putera Sultan Amangkurat IV dari garwo ampeyan bernama Mas Ayu Tejowati yang dinobatkan menjadi Sultan Hamengkubowono I setelah perjanjian Giyanti yang memisahkan Kesultanan Mataram menjadi dua yakni Surakarta dan Jogjakarta. Kedatangan Habib Alwi Ba’abud selain sebagai saudagar kuda, juga disebut vsebagai seorang ulama dan tabib. Kedatanganya barangkali bersamaan dengan saudara sepupunya di Wonosobo, yakni Habib Hasyim bin Idrus bin Muhsin Ba’abud yang juga berasal dari Hadramaut. 

Dari pernikahan antara Habib Hasan Munadi dan Raden Ayu Samperwadi akan lahir empat keturunan. Diantaranya Ibrahim Ba'abud (1790-1850) yang bergelar RMH (Raden Mas Haryo) Madiokusumo, Raden Ayu Reksodiwiryo (istri Bupati Cokronegoro I, Bupati Purworejo Pertama), Ali Ba'abud yang bergelar Raden Mas Puspodipuro (Kakek Buyut Habib Hasan Agil Ba'abud) dan Raden Ayu Kertopati (Mengambil nama suaminya, Kertopati seorang Patih di Kutoarjo yang kelak akan hijrah ke Magetan dan merintis pesantren Takeran dengan nama Kyai Khalifah yang berputra Kyai Hasan Ulama' yang menjadi cikal bakal Pesantren Sabilil Muttaqin dan merupakan leluhur dari Dahlan Iskan, Mantan Menteri BUMN).

Putra Pertama Habib Hasan Munadi yakni Habib Ibrahim Ba'abud adalah kawan dekat Pangeran Diponegoro putra dari Sultan Hamengkubuwono III. Keakraban Habib Ibrahim dengan Raden Mustahar (nama kecil Pangeran Diponegoro) terjalin saat keduanya diasuh oleh Ratu Ageng istri Sultan Hamengkubuwono I (Pangeran Mangkubumi). Selisih usia beliau dengan pahlawan yang memiliki nama lain yakni Raden Mas Ontorwiryo adalah 5 tahun lebih tua. Pangeran Diponegoro sendiri adalah putra dari Sultan Hamengkubuwono III dari garwa ampeyan atau selir. 

Rijal Mumazziq , Rektor INAIFAS Jember mengatakan bahwa kitab yang dikaji oleh Pangeran Diponegoro (dan mungkin juga oleh Habib Ibrahim Ba'abud) adalah Topah. Perkiraan awal bahwa kitab itu adalah Tuhfatul Muhtaj-nya Imam Ibnu Hajar al-Haitami , atau Tuhfatut Thullab-nya Imam Zakaria al-Anshari atau mungkin Tuhfatul Muhtaj-nya Imam Al-Bujairami. Namun menurut Carey kitab Topah tersebut adalah kitab Tuhfah al-Mursalah ila Ruh an-Nabi karya Syekh Muhammad bin Fadhlullah al-Burhanpuri, yang menjelaskan tentang ajaran "martabat tujuh" yang sesuai dengan pemikiran manusia Jawa manakala merenungkan Allah, dunia dan kedudukan manusia. Sebagai penganut tarekat Syatariyyah kemungkinan beliau belajar kepada Habib Hasan Munadi, ayahanda dari kawannya, Habib Ibrahim Ba'abud.

Dari kedekatan inilah di kemudian hari keduanya akan bahu membahu dalam perang Diponegoro. Habib Ibrahim Ba'abud yang bergelar Pekih (Penghulu Kyai Haji) ini bersama Kyai Badruddin (pendukung Diponegoro lainnya) ditugaskan Pangeran Diponegoro untuk menjadi juru runding dengan Kolonel Clereens untuk membicarakan suatu pertemuan sebelum pertemuan Diponegoro dengan pihak Belanda pada tanggal 28 Maret 1830 di Magelang. Dalam pertemuan awal dengan Kolonel Cleerens itu Diponegoro menegaskan bahwa pada pertemuan 28 Maret tersebut Diponegoro adalah manusia bebas yang bergelar Sultan Ngabdulkamid Herucokro Kabirul Mukminin Sayyidin Panataga Jawa yang bersedia datang untuk memenuhi undangan Belanda dan duduk bersama untuk bersilaturahmi di Hari Raya Idul Fitri. Cleerens disaksikan oleh Habib Ibrahim dan Kyai Badruddin, menyepakatinya. 

Namun ketika pertemuan utama berlangsung, De Kock tidak menyebut Diponegoro dengan gelar yang dimintanya namun tetap dengan Pangeran Diponegoro. Padahal nama kepangeranan itu telah diberikan ke putra tertuanya ,bertema KPH (Kanjeng Pangeran Haryo) Diponegoro. Berarti, Belanda tidak pernah mengakui Diponegoro sebagai sultan pemimpin spiritual keagamaan (Islam) di tanah Jawa. Dan dengan tipu muslihatnya, Diponegoro kemudian ditangkap dan diasingkan ke Manado untuk selanjutnya dipindahkan ke Makassar dan wafat disana. 

Menurut Syamsu As dalam bukunya Ulama Pembawa Islam di Nusanatara, Habib Ibrahim Ba'abud atau Pekih Ibrahim juga ditangkap Belanda kemudian diasingkan di Penang, lalu dipindahlan ke Ambon, meninggal di Benteng Victoria dan dimakamkam di Batu Gajah, Ambon. Meski begitu banyak keturunanya. Namun banyak keturunannya lebih leluasa menggunakan nama jawanya, berbahasa Jawa, berpakaian jawa, bertata krama jawa, beradat istiadat jawa, dan menggunakan sistem kekerabatan Jawa.

Sementara itu, Putra ketiga dari Habib Hasan Munadi, yakni Sayyid Ali Ba'abud kelak akan mengasuh Pondok Pesantren Al-Iman, Bulus, Gebang, Purworejo. Sebelumnya Pesantren Al-Iman telah dirintis oleh Syekh Ahmad Alim Bulus Basyaiban kelahiran Wonosobo yang pernah menjadi laskar Ki Ageng Gribing Jatinom Klaten dalam Perang Mataram-VOC di Batavia pada masa Sultan Agung Hanyokrokusumo Satriyo ing Alaga Sayyidin Panatagama Khalifatullah.

Pada masa Perang Diponegoro, tepatnya 19 Nopember 1826, ketika terjadi perang besar di Bagelen antara Belanda dan Pangeran Diponegoro, Syekh Alim secara diam-diam tanpa diketahui kolonial Belanda menyertakan para santri untuk dijadikan prajurit. Ia menyiapkan para pejuang untuk ditempatkan di benteng pertahanan Magelang, Bagelen (dipimpin oleh Raden Tumenggung Djojomustopo yang dimakamkan di Sindurejan dan Raden Syamsiah-Penghulu Landrat Pangenjurutengah). Dalam peperangan tersebut pula oleh prajuruit dari Wonosobo dan Banyumas.

Dikutip dari laman nu-jateng.com Mbah Ahmad Alim, konon dibuang Belanda ke daerah Bulus. Adapun penamaan kampung Bulus, lantaran konon Mbah Alim banyak menjumpai hewan bernama Bulus. Mbah Ahmad Alim dikenal sebagai seorang sufi. Konon beliau itu masih keturunan Sunan Maulana Malik Ibrahim Gresik, Jawa Timur.
Saat ini pesantren Al-Iman yang Pesantren Al-Iman dulunya bernama al-Islamiyah ini tergolong pesantren tertua di Kabupaten Purworejo menjadi kawah candradimuka pejuang-pejuang islam masa depan. Tak kurang seribu santri belajar di pesantren yang diasuh Habib Hasan Agil, Rois Syuriah PCNU Kabupaten Purworejo. Selain pesantren juga dibuka pendidikan formal seperti Raudlatul Athfal, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, Ma'had Aly dan lain-lain.

”Lambat laun pesantren yang didirikan itu banyak didatangi santri. Dengan berkembangnya zaman, kiai Ahmad Alim bahkan sempat memiliki santri yang cukup alim, dan di antaranya bahkan ada yang mashur, seperti Kiai Shaleh Darat, Semarang,” tuturnya.

Setelah kiai Ahmad Alim wafat, tampuk kepemimpinan pesantren diteruskan oleh salah satu menantunya, bernama Raden Sayyid Ali. Dipilihnya menantu sebagai pemegang tampuk pimpinan pesantren dikarenakan sang menantu itu dikenal cukup alim dan masih keturunan sayyid. Alasan di balik itu, karena dilandasi keikhlasan. Ketika itu kira-kira terjadi pada masa Pangeran Diponegoro atau sekitar tahun 1800-an. Anak-anaknya Mbah Alim yang keluar dari Bulus, juga mendirikan pesantren yakni, Pondok Pesantren Loning, Pacalan, Tirip, Maron, Solotiang, dan Al-Anwar Purworejo.

Dari Sayyid Ali, kepemimpinan pesantren kemudian dilanjutkan anaknya, yakni Sayyid Muhammad, kemudian diteruskan Sayyid Dahlan. Kepemimpinan Kiyai Sayyid Dahlan berakhir sekitar tahun 1935-an. Setelah itu pondok menjadi vakum. Kevakuman itu akibat dari keboyongan (kepindahan) kiai ini ke daerah Kauman, dekat masjid Jami` Purworejo. Karena saat itu sang kiai diminta oleh Bupati Cakranegara pindah ke Kauman untuk menjadi imam dan kiai di Kauman. Setelah lama vakum dan tidak ada aktivitas, pesantren di Bulus itu dibangun atau dihidupkan kembali oleh Habib Agil Ba’abud sekitar tahun 1955 dan selanjutnya dilanjutkan oleh putranya Habib Hasan Aqil Ba'abud.

Selain Habib Ibrahim Ba'abud dan Syekh Alim Bulus, terdapat pula sosok KH. Muhyiddin Rofi' atau yang lebih dikenal sebagai Guru Loning. Beliau adalah putra dari Kyai Nur Iman Mlangi bin Raden Mas Suryo Putro yang bergelar Sultan Amangkurat IV (memerintah tahun 1719-1726).

Dari jaringan Kyai Nur Iman dari Guru Loning ini terhimpun 3000 prajurit Bagelen dibawah kendali Pangeran Ontowiryo yang menyokong perjuanga Pangeran Diponegoro. Saking kuatnya perlawanan Bagelen, Kompeni Belanda sampai harus menggunakan taktik Benteng Stelsel, dengan membangun 25 buah benteng di kawasan Bagelen. 

Pada saat perang gerilya melawan Penjajah kolonial Belanda, Diponegoro juga pernah menginap di Masjid Santren Bagelen yang sekarang berlokasi di dusun Santren, Desa Bagelen, Kecamatan Bagelen Kabupaten Purworejo. Masjid ini merupakan masjid kuno yang dibangun dengan gaya arsitektur tradisional Jawa dan bangunan bagian atapnya berbentuk tajuk tumpang satu tersebut. Masjid yang konstruksi kayu serta serta gonjo masjidnya persis Masjid Al-Aqsa Menara Kudus ini dibangun pada tahun 1618 Masehi.

Ulama dari Bagelen lain yang bergabung bersama pangeran Diponegoro juga ada yang menyingkir ke desa Ringinagung, kediri dan membangun pesantren Mahir ar-Riyadh yaitu Kyai Nawawi. Dari pesantren Ringinagung ini akan belajar KH. Abdul Karim yang kelak akan mendirikan pondok pesantren Lirboyo Kediri.
 
Setelah berdiskusi panjang tentang sejarah panjang perjuangan ulama dan santri di Bagelen, Habib Hasan Agil Ba'abud berpesan bahwa mempelajari sejarah bangsa Indonesia sangat penting khususnya sejarah perjuangan ulama' dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Semenjak Islam hadir di Bumi Nusantara Habaib dan Kyai bahu membahu dalam memperjuangkan syiar islam Ahlussunnah wal-Jamaah. Jangan sampai kedua elemen ini dipisahkan karena hal ini telah menjadi skenario penjajah yang semenjak dulu selalu membenturkan Habaib dan Kyai.

Menurut alumni Perguruan Islam Termas, Pacitan ini termasuk kelemahan orang jawa adalah tidak menisbatkan nasabnya kepada leluhurnya. Tidak seperti komunitas Hadrami, Batak, yang masih menyandang marga leluhur. Hal ini dikarenakan saat itu banyak masyarakat Jawa yang menyembunyikan nasabnya dikarenakan takut dikejar-kejar kolonial Belanda. Terlebih setelah terjadinya Perang Diponegoro yang menguras kas Kerajaan Hindia Belanda. Banyak laskar, keturunannya yang melarikan diri namun sesampai di tempat persinggahan mereka mendirikan pesantren seperti Mbah Hamimuddin (Pendiri Pondok Bungkuk Singosari), Mbah Abdussalam, Mbah Sehah (Pendiri Pondok Tambakberas), Mbah Lanah yang berputra KH. Ghozali (Pendiri Pondok Sarang), Mbah Hasan Besari yang kelak cucunya KH. Munawwir mendirikan Pondok Pesantren Al-Munawwir dan lain-lain. 

Menjalani penelusuran sejarah memang terkesan melelahkan dan menghabiskan biaya yang tak sedikit. Namun kita akan menemukan kepuasan tersendiri ketika mulai berhasil melacaknya khususnya sejarah perjuangan bangsa. Hal ini dirasa penting agar tidak "kepaten obor" (meminjam bahasa Habib Lutfi bin Ali Hasyim bin Yahya) yakni buta atau dibutakan oleh sejarah. 

Purworejo, 14 Nopember 2019
Muhammad Abid Muaffan
Santri Backpacker Nusantara
Label:

Posting Komentar

[blogger]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget