Keteladanan KH. Mubassyir Mundzir dan Ibu Nyai Hj. Zuhriyyah Munawwir(Kisah Inspiratif Suami Ahli Dzikir dan Istri Hafal Qur'an dalam membina rumah tangga)


Keteladanan KH. Mubassyir Mundzir dan Ibu Nyai Hj. Zuhriyyah Munawwir
(Kisah Inspiratif Suami Ahli Dzikir dan Istri Hafal Qur'an dalam membina rumah tangga)

Hari itu, tepatnya pada hari Jum'at  sekitar akhir bulan Juni 1973, suasana kompleks Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Sleman, Panggungharjo, Bantul, Jogjakarta sedikit berbeda dari hari biasanya yang hening dan khidmat. Pada hari itu sedang dilangsungkan pernikahan antara KH. M. Mubasyir Mundzir, Kediri dengan Ibu Nyai Zuhriyyah binti KH. Munawwir. Pernikahan tersebut berjalan dengan suasana yang sangat sederhana, dengan mahar uang  sebesar Rp. 10.000,00. Perlu diketahui KH. Munawwir, Krapyak dikarunai keistimewaan berupa putra, menantu atau santrinya berhasil mengasuh pesantren atau menjadi kyai.

Saat itu yang bertindak selaku Wali adalah KH. Ahmad Munawwir (kakak dari mempelai putri), adapun yang mengakad nikahkan adalah KH. Ali Maksum, Menantu KH. Munawwir. Saksi adalah Bapak Syai'an dan Gus H. Thoha Yasin  yang kemudian bertindak sebagai pembaca doa.

Saat pernikahan itu, Kyai Mubassyir telah berusia 55 tahun, dan Ibu Nyai Zuhriyyah masih berusia 35 tahun, menurut hitungan kalender Hijriyyah. Sebuah usia yang teramat matang dan dewasa untuk membina rumah tangga, meski harus terpaut umur cukup jauh.

Terdapat suatu fakta menarik, dimana Mbah Mundzir yang lahir 1919 M menikah dengan Nyai Zuhriyyah yang lahir 1939. Jadi keduanya selisih 20 tahun. Namun saat wafat, Mbah Mundzir meninggalkan tahun 1989 sedangkan Nyai Zuhriyyah wafat pada 2009. Jadi meski menikahnya selisih cukup jauh namun beliau berdua wafat di usia yang sama yakni 70 tahun.

Pada masa-masa awal beliau berdua berumah tangga, saat itu Kyai Mundzir belum mempunyai rumah. Namun dengan penuh kesetiaan, pengertian serta pengabdian, Ibu Nyai Zuhriyyah  menerimanya dengan ikhlas.  Bahkan beliau begitu ridho ketika harus dititipkan ke tetangga, apabila Kyai Mundzir sedang ada urusan diluar.

Dalam kehidupan sehari-hari, Kyai Mundzir maupun Ibu Nyai Zuhriyyah senantiasa saling menjaga dan menghormati ke-istiqomahan masing-masing pihak. Saat menjalani kehidupan rumah tangga, Kyai Mundzir yang dikenal sebagai 'Abid (ahli ibadah) maupun Ibu Nyai sebagai seorang Hafidzhoh (penghafal Al Quran) masih tetap menjalankan kebiasaan dan amalan-amalan sebagaimana ketika keduanya belum menikah. Tentunya kewajiban pribadi tersebut, tanpa melalaikan hak dan kewajiban rumah tangga kedua belah pihak.

Seringkali, tatkala beliau selesai sholat dan dzikir, beliau ingin bercengkrama dengan Ibu Nyai Zuhriyyah. Namun begitu melihat istrinya sedang muroja'ah hafalan Al-Qur'annya niat itu beliau urungkan dan beliau kembali sholat dan berdzikir kembali. 

Begitu juga sebaliknya, tatkala diwaktu senggang Ibu Nyai Zuhriyyah berkeinginan ingin berbincang dengan beliau, ternyata beliau masih khusyu' menjalankan sholat dan dzikir sehingga akhirnya Ibu Nyai pun mengurungkan niat tersebut.

Dikisahkan bahwa Mbah Mundzir memang dikenal sebagai ulama yang begitu menjaga sholat awal waktu dengan berjamaah, bahkan beliau sambil mengajak santri udah siap beberapa santri sebelum adzan berkumandang.

Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali terjadi hal-hal yang terkadang membuat  terharu bagi siapapun yang mendengar dan meresapinya.

Seringkali Kyai Mundzir yang bersama KH. Hamim Jazuli, Ploso berdakwah lewat Majelis Dzikrul Ghofilin dan Semaan Al-Qur'an Jantiko Mantab ini bertanya kepada istri tercintanya:
" Nyai, apa uang belanjanya masih ada ?!". 

Maka, jika uang belanja memang habis,  Ibu Nyai Zuhriyyah menjawabnya dengan santun dan penuh rasa pengertian, 
" Uang belanjanya kebetulan habis Yai ?! ". 

Setelah mendengar jawaban itu, beliaupun kemudian mengajak Ibu Nyai berdoa dengan ucapan lemah lembut.
 "Ya sudah, mari kita berdoa bersama, saya yang berdoa, Nyai yang mengamininya ".

Tidak berapa lama kemudian dengan izin Allah SWT, rezeki pun mengalir mencukupi segala kebutuhan rumah tangga yang penuh berkah ini.

Pernah pula disaat menjelang lebaran ketika saat itu keduanya sudah menetap di Pondok Pesantren Maunah Sari Bandar Kidul, Kota Kediri. Ibu Nyai sama sekali tidak memiliki uang sepeserpun untuk belanja menyambut Hari Raya Idul fitri. Namun Ibu Nyai pun tidaklah mau mengungkapkan hal ini, kepada suaminya. 

Namun hal itu dapat terbaca oleh Mbah Mundzir yang mana, setelah itu beliau mengajak istrinya kembali untuk berdoa bersama. Tidak berapa lama kemudian dengan pertolongan Allah, datang tiba-tiba datang seseorang membawa rezeki yang mampu untuk mencukupi segala kebutuhan belanja lebaran saat itu.

Pernah suatu ketika, sarung yang dimiliki oleh beliau telah habis dibagikan kepada para santri, tinggal kini yang melekat di badan dan itupun sudah saatnya untuk dicuci. Beliau pun bertanya kepada Ibu Nyai, sekiranya Ibu Nyai memiliki pakaian yang bisa dijadikan sebagai ganti sarung untuk sholat. 

Namun ternyata, Ibu Nyai Zuhriyyah pun tidak memiliki sarung tersebut. Maka atas perintah beliau, akhirnya seprei tempat tidur yang digunakan oleh Ibu Nyai istirahat di gunting dan dibagi menjadi tig bagian. Salah satunya untuk dijadikan sarung Mbah Kyai Mundzir.

Kyai Mubassyir dan Ibu Nyai Zuhriyyah sampai keduanya meninggal, tidak dikaruniai keturunan. Maka kakak dari Nyai Zuhriyyah, KH. Abdul Qodir Munawwir merelakan putra beliau KH. Hamid Abdul Qodir untuk diasuh oleh berdua. 

Setelah berpulangnya ke Rahmatullah, KH. Mubasyyir pada 11 Jumadil Akhir 1409 H  estafet kepemimpinan Pesantren Maunah Sari diemban oleh KH. Hamid (Saudara Kandung KH. Najib Abdul Qodir, Pengasuh Pondok Pesantren al-Munawwir sekarang) yang beristirkan Nyai Hj. Luluk Maftuhah bin KH. Abdullah Faqih. KH. Abdullah Faqih disini bukan Pengasuh Pondok Pesantren Langitan, Tuban namun beliau dalah Ulama' asal kota Malang yang juga merupakan mertua dari KH. Anas Bashori putra sulung KH. Bashori Alwi Murtadlo.

Sungguh suatu pemandangan akan keluarga yang harmonis. Dengan dilandasi niat mulia untuk beribadah   atas dasar ketakwaan kepada-Nya, biduk rumah tangga itu dibangun dengan spirit saling pengertian antara satu sama lainnya. Meski ditengah keterbatasan, keduanya mampu berjuang bersama dalam mengarungi bahtera rumah tangga dengan sakinah mawaddah wa rohmah.

Dari kisah diatas kita begitu yakin, bahwa inilah sebuah rumah tangga yang benar-benar dilandasi Ridha Allah, dan semata-mata meneladani Rasululloh SAW dalam berkeluarga. Hal ini telah sejalan dalam sebuah maqolah yang mengatakan ;

"Cinta itu, adalah dua jiwa dalam satu pikiran, dan dua hati dalam satu tujuan ".

Semoga bagi yang telah berkeluarga kita senantiasa dilimpahi ketenangan, kasih sayang dan rahmat dari Allah SWT. Semoga yang belum berkeluarga segera mendapatkan jodoh terbaik yang mampu berjalan bersama dalam ketaatan kepada Allah SWT. Semoga keluarga kita senatiasa dilindungi  oleh Allah SWT dari segala marahabaya dan fitnah akhir zaman.

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan Allah, ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya. Dan dijadikanNya diantara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”. 
(QS. Ar Ruum: 21).

Kediri, 18 Ramadhan 1438 H

Muhammad Abid Muaffan
Santri Backpacker Nusantara

Disarikan dari pengamatan langsung dan berbagai sumber dari internet.
Label:

Posting Komentar

Assalamualaikum pak,, boleh minta fotonya mbah yai Mubasyir mundzir dan Ibu Nyai Zuhriyah Mundzir yang versi HD nggk ya,, matursuwun

[blogger]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget