Ketika al-Buthi Berdebat dengan al-Albani: Tanpa Cacian, Tanpa Makian


Ketika al-Buthi Berdebat dengan al-Albani: Tanpa Cacian, Tanpa Makian

Nur Hasan, 5 Agustus 2019  
=============================

Syekh Said Ramadhan al-Buthi adalah salah satu ulama yang mempunyai persinggungan pemikiran yang sangat tajam dengan kelompok Salafi, perdebatan antara keduanya seringkali terjadi. Namun, al-Buthi tidak melayani perdebatan yang sifatnya hanya mencari siapa yang menang dan siapa yang kalah.

Al-Buthi hanya akan melayani perdebatan yang bertujuan untuk mencari kebenaran, oleh karena itu al-Buthi sering menolak untuk berdebat, jika bertujuan hanya untuk mencari siapa yang kalah dan siapa yang menang.

Dalam kitab al-Lamadzhabiyyah Akhtar Bid’ah Tuhaddid Asy-Syariat Al-Islamiyah, terdapat sebuah perdebatan antara Al-Buthi dengan salah satu tokoh utama yang sering dijadikan rujukan kaum Salafi yaitu Nasiruddin al-Albani. Salah satu perdebatan antara al-Buthi dengan al-Albani adalah tentang cara memahami hukum-hukum Allah SWT.

Untuk membahas hal tersebut, al-Buthi memberikan pertanyaan kepada al-Albani tentang cara al-Albani memahami hukum Allah SWT, mengambilnya langsung dari Al-Qur’an dan hadis atau melalui hasil ijtihad para imam-imam mujtahid?
Al-Albani kemudian menjawab, “Saya membandingkan antara pendapat semua imam mujtahid serta dalil-dalil mereka, lalu saya ambil yang paling dekat terhadap Al-Quran dan sunnah.”

Kemudian al-Buthi memberikan sebuah analogi dan pertanyaan terhadap jawaban al-Albani tersebut, “Seandainya Anda punya uang 5000 lira. Uang itu anda simpan selama enam bulan, kemudian uang itu anda belikan barang untuk diperdagangkan, maka sejak kapan barang itu anda keluarkan zakatnya? Apakah setelah enam bulan berikutnya, atau menunggu setahun?”

Al-Albani lalu menimpali Al-Buthi dengan pertanyaan, “Maksud pertanyaannya, Anda menetapkan bahwa harta dagang itu ada zakatnya?” 

Al-Buthi kemudian menjawab, “Saya hanya bertanya. Yang saya inginkan, Anda menjawab dengan cara Anda sendiri. Di sini kami sediakan kitab-kitab tafsir, hadis, dan fikih, silahkan anda telaah.”

Mendengar hal tersebut, al-Albani kemudian mengatakan kepada al-Buthi, “Hai saudaraku, ini masalah agama. Bukan persoalan yang mudah untuk bisa dijawab dengan seenaknya. Kami masih perlu mengkaji dan meneliti. Kami datang ke sini untuk membahas masalah lain.”

Mendengar jawaban dari al-Albani, al-Buthi kemudian mengalihkan ke pertanyaan lain, “Baik kalau begitu. Sekarang saya bertanya, apakah setiap muslim harus atau wajib membandingkan dan meneliti dalil-dalil para imam mujtahid, kemudian mengambil pendapat yang paling sesuai dengan Alquran dan Sunnah?”
Dengan yakin Al-Albani menjawab, “Ya”.

Al-Buthi kemudian ingin mempertegas jawaban al-Albani, “Maksud jawaban Anda, semua orang memiliki kemampuan berijtihad seperti yang dimiliki oleh para imam madzhab? Bahkan kemampuan semua orang lebih sempurna dan melebihi kemampuan ijtihad para imam madzhab. 

Karena secara logika, seseorang yang mampu menghakimi pendapat-pendapat para imam madzhab dengan barometer Al-Qur’an dan sunnah, jelas dia lebih alim dari mereka”.

Atas pertanyaan tersebut, al-Albani memberikan jawaban, “Sebenarnya manusia itu terbagi menjadi tiga, yaitu muqallid(orang yang taklid), muttabi’ (orang yang mengikuti) dan mujtahid (orang yang berijtihad). 

Orang yang mampu membandingkan madzhab-madzhab yang ada dan memilih yang lebih dekat pada Al-Qur’an adalah muttabi’. Jadi muttabi’ adalah derajat tengah antara taklid dan ijtihad.

Mendengar jawaban tersebut, al-Buthi kemudian bertanya, “Apa kewajiban muqallid?”
Al-Albani lalu menjawab, “Dia wajib mengikuti para mujtahid yang bisa diikuti.” Al-Buthi kembali memberikan pertanyaan kepada Al-Albani, “Apakah dia berdosa kalau seandainya mengikuti seorang mujtahid saja dan tidak pernah berpindah ke mujtahid lain?”
“Ya, berdosa dan haram hukumnya,” jawab Al-Albani.

Al-Buthi kembali lagi melemparkan pertanyaan kepada Al-Albani, “Apa dalil yang mengharamkannya?” Dengan enteng al-Albani menjawab, “Dalilnya, dia mewajibkan kepada dirinya, sesuatu yang tidak diwajibkan Allah SWT kepadanya”.
Mendengar jawaban tersebut, al-Buthi melontarkan pertanyaan lagi, “Dalam membaca Al-Qur’an, Anda mengikuti qira’ahnya siapa di antara qira’ah tujuh?”
“Qira’ah Hafsh” jawab al-Albani.
“Apakah anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja? Atau setiap hari, anda mengikuti qira’ah yang berbeda-beda?” Tanya al-Buthi.
“Tidak. Saya hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja,” jawab al-Albani.

Al-Buthi kembali mempertanyakan jawaban tersebut, “Mengapa Anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja, padahal Allah SWT tidak mewajibkan Anda mengikuti qira’ah Hafsh. Kewajiban Anda justru membaca Al-Qur’an sesuai riwayat yang datang dari Nabi Saw, secara mutawattir.”

Mendengar hal tersebut, al-Albani menjawab;  “Saya tidak sempat mempelejari  qira’ah-qira’ah lainnya. Saya kesulitan membaca Alquran dengan selain qira’ah Hafsh.”

Al-Buthi kemudian memberikan analogi perihal mempelajari fikih, “Orang yang mempelajari fikih madzhab Syafi’i, juga tidak semua sempat mempelajari madzhab-madzhab yang lain. Dia juga tidak mudah memahami hukum-hukum agamanya kecuali mempelajari fikihnya Imam Syafi’i.

“Apabila Anda mengharuskannya mengetahui ijtihad semua para imam madzhab, maka Anda sendiri harus mampu mempelajari semua qira’ah. Kalau Anda beralasan tidak mampu melakukannya, maka Anda harus menerima alasan ketidakmampuan seorang muqallid dalam hal ini.”

“Bagaimanapun, kami saat ini bertanya kepada Anda, dari mana Anda berpendapat bahwa muqallid harus berpindah-pindah dari satu madzhab ke madzhab lain, padahal Allah SWT tidak mewajibkannya? Sebagaimana tidak wajibnya menetap satu madzhab saja, dia juga tidak wajib berpindah-pindah terus dari madzhab ke madzhab lain?” Lanjut Al-Buthi menyanggah jawaban al-Albani.

Mendengar sanggahan al-Buthi, al-Albani masih ngeyel dan kembali mengeluarkan argumennya, “Sebenarnya yang diharamkan bagi muqallid itu menetapi satu mazhab dengan keyakinan bahwa Allah SWT memerintahkan demikian.”

Al-Buthi kemudian menimpali jawaban al-Albani, “Jawaban Anda ini persoalan lain. 
Memang benar demikian. Akan tetapi, pertanyaan saya, apakah seorang muqalliditu berdosa jika tetap pada satu mujtahidsaja, padahal dia tahu bahwa Allah SWT tidak mewajibkan demikian?”
“Tidak berdosa,” jawab Al-Albani.

Dalam pemikiran dan karyanya, al-Albani memang sering mengampanyekan perihal haramnya muqallid menetapi satu madzhab saja, maka dari itu al-Buthi kemudian membantah al-Albani, “Tetapi isi buku yang Anda ajarkan, dengan yang Anda katakan berbeda. Dalam buku Anda, disebutkan menetapi satu madzhab saja haram hukumnya. 

Bahkan dalam bagian lain, orang yang tetap pada pendirian satu madzhab saja itu dihukumi kafir.”

Mendengar ucapan tersebut, al-Albani kebingungan untuk menjawabnya.

Wallahu a’lam.

Kiriman Mas Rus - Guyup Rukun NKRI
Label:

Posting Komentar

[blogger]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget