Foto dan Teks oleh: Mirza Iqbal
Bulan Juli lalu,
saya melakukan perjalanan ke Pulau Belitung, Provinsi Bangka Belitung, Sumatera
Selatan. Sebuah tempat kelahiran novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata
dilahirkan. Perjalanan ini saya mulai dari tanggal 30 Juli hingga 06 Agustus.
Saya berangkat dari Stasiun Lempuyangan Yogyakarta sekitar Pukul 14.00. Dari
Jakarta, kemudian saya terbang ke Tanjung Pandan, yang merupakan ibukota
Belitung.
Sesaat setelah
keluar dari pesawat, saya mengamati sekeliling, saya gunakan kelima indera saya
untuk merasakan hal yang berbeda. Benar, suhu, kontur tanah, tanaman berbeda
dari yang biasanya. Tidak seperti di tempat saya tinggal, jawa. “Di sini memang
panas mas,” kata salah seorang penumpang pesawat yang berjalan beriringan
dengan saya. Tapi saya tidak pikir panjang, nikmati saja
***
Saya sampai di
Belitung sekitar pukul 15.00 WIB,
kemudian istirahat sejenak, meluruskan punggung dan kaki. Saya belum menentukan
kemana saja destinasi yang akan saya tuju, make
it flew, mengalir saja. Kemudian, di tengah-tengah istirahat saya
berbincang dengan orang asli Belitung mengenai wisata-wisata yang mungkin dapat
dikunjungi. Dari obrolan itulah kemudian saya memutuskan untuk menuju Pantai
Tanjung Pendam, yang lokasinya tak jauh dari Kota.
Pemandangan laut dan langit Tanjung Pendam seolah menyatu dan
memanjakan mata saya. Panorama semacam ini mungkin sulit saya dapatkan di Jawa.
Dimana matahari membulat dan senantiasa mengiringi para nelayan mencari ikan setiap
sore hari. Jika Anda mencoba duduk di tepi pantai ini dan memandang lurus ke
depan, maka Anda akan terhipnotis dan lupa waktu. Seperti yang saya alami, tak
sadar, matahari sirna dan langit mulai gelap. Kemudian, saya pergi untuk
berinstirahat sembari menyimpan energi untuk esok hari.
Masih seputar
matahari, tapi kali ini berbeda. Pagi buta, saya beranjak dari tempat tidur
demi mengejar matahari terbit Danau Kaolin. Kata seseorang sebelum saya pergi
dari Pantai Tanjung Pendam, pemandangan di sana sangat indah. Warna jingga
matahari terbit berpadu dengan air danau yang biru melengkapi keindahannya.
Namun, saya tidak akan percaya sebelum melihatnya dengan mata kepala saya
sendiri. Setelah saya buktikan, ternyata benar. Bahkan lebih indah dari apa
yang saya bayangkan. Uniknya, keadaan di Danau Kaolin ini terbilang sepi, dan
tidak dipungut biaya sepeserpun. Saya tidak bisa membayangkan jika wisata
seperti ini ada di Jogja, pasti sudah ramai berdesakan pengunjung.
Tak lama setalah
matahari mulai naik, perhatian saya kemudian tertuju pada salah seorang
wisatawan yang sedang duduk bersila di bibir danau. Tertarik dengan apa yang ia
lakukan, saya kemudian mengabadikannya. Saya angkat kamera, jepret!
***
Empat hari saya
telah berlalu di Belitung. Berbagai tempat sudah saya kunjungi, seperti Tanjung
Klayang, Tanjung Tinggi, dan pulau-pulau kecil lainnya. Mulai dari pemandangan menara yang megah di tengah lautan hingga pemandangan bawah laut telah saya saksikan. Namun, saya sengaja tidak mengabadikannya. Sebab, bagi saya, terkadang ada
keindahan yang tidak perlu diabadikan. Karena, keindahan itu sendiri pun sudah
abadi. Bagi saya beautiful things doesn’t
ask for attention.
Setelah empat hari saya jelajahi bumi Belitung, saya mencoba mencari suasana lain. Saya
kembali bertanya-tanya kepada orang-orang di kota. Lalu, saya direkomendasikan
sebuah tempat yang belum terlalu dikenal, namun memiliki human interest, yaitu Pulau Seliu. Singkat cerita, saya menyebrang
dari Dermaga Membalong menuju Pulau Seliu. Perjalanan yang saya tempuh untuk
menuju pulai itu sekitar 30 menit. Pulau ini merupakan pulau kecil yang
berpenduduk sekitar 200-an jiwa. Rata-rata mata pencaharian orang-orang di sana
adalah nelayan dan carter kapal. Tidak seperti di Pulau Tanjung Tinggi, di
Pulau Seliu saya sulit menemukan signal untuk gawai (gadget) saya. Sehingga tidak memungkinkan saya sekadar mengupdate story di Instagram. Yasudah, saya putuskan mengantongi gawai saya saja.
Sekali-kali jalan-jalan tanpa gangguan elektronik, batin saya.
Di sepanjang jalan,
saya melihat anak-anak berlarian, bermain kejar-kejaran. Ekspresi gembira
diiringi tawa melengkapi pemandangan seisi jalan Seliu ini. Saya kira suasana
ini selalu ada setiap sore di sini. Tidak seperti anak kecil jaman now yang mainannya
gadget. Di sini, saya justru melihat kesederhanaan. Masa kanak-kanak yang mirip
dengan masa kanak-kanak era saya. Kami cukup bahagia hanya dengan
main kejar-kejaran, kelereng, dan petak umpet.
Lelah menyusuri seisi Pulau Seliu, saya kemudian
memutuskan untuk pulang, sebelum matahari terbit dan laut pasang. Katanya,
kalau kemalaman bisa berbahaya karena ombaknya sangat deras. Saya bergegas
menuju pelabuhan. Bapak pemilik kapal yang saya sewa sudah melambai, menunggu
saya masuk ke kapal. Namun, sebelum sampai ke kapal, perhatian saya tertuju
pada dua orang anak yang sedang bermain di bibir pantai. Mereka sedang bermain
balap papan dengan penuh keceriaan. Mata saya tak mampu berpaling dari mereka,
kemudian mengabadikannya dengan kamera.
***
Berada di Belitung tanpa mengunjungi Tanjung Tinggi
rasanya tidak afdol. Salah satu tempat di mana para aktor cilik film Laskar
Pelangi beraksi. Jika Anda pernah menonton film tersebut, maka Anda akan
melihat scene saat para laskar pelangi berlarian di pantai yang penuh bebatuan
besar. Nah itulah tanjung tinggi. Di sini, matahari terbenam sungguh indah,
terlihat lurus di depan mata. Bulat keemasan, dilengkapi dengan bebatuan dan
orang-orang yang pada saat itu Bersama-sama menyanyikan lagu Laskar Pelangi
karya The King of Soundtrack, Nidji.
Setelah mengunjungi salah satu icon
Belitung ini, keesokan harinya saya langsung menuju daerah Belitung Timur.
Beltim, begitu sebutan akrabnya, memiliki banyak kenangan bagi Laskar Pelangi.
SD Muhammadiyyah Gantong, Museum Kata Andrea Hirata, Museum dimana Buaya Laskar
Pelangi dirawat, dan sebagainya. Saya singgah ke semua tempat yang saya
sebutkan itu. Ingatkah Anda dengan SD Muhammadiyyah Gantong yang menjadi tempat
para Laskar Pelangi mengenyam pendidikan? Dalam Novel yang diterjemahkan ke
dalam bahasa inggris menjadi Raibow Troops itu mengisahkan anak-anak kurang
mampu yang berjuang untuk mempertahankan sekolahnya yang hampir roboh. Bahkan,
sekolah itu hampir kukut karena meninggalnya kepala sekolah dan satu guru yang
mulai luntur idealismenya, serta memutuskan mundur untuk mengajar. Namun, berkat
Ibu Mus, akhirnya anak-anak ini tetap bertahan, dan bahkan memenagkan kejuaraan
daerah di tingkat akademik maupun seni.
Terakhir, saya penasaran dengan Museum Kata Andrea
Hirata. Berkat karyanya itulah, Belitung menjadi sorotan banyak wisatawan
hingga mancanegara. Bahkan, Laskar Pelangi sudah seperti sudah menjadi jiwa
Belitung itu sendiri. Masuk ke Museum Kata ini tidak begitu mahal, hanya Rp.
50.000 untuk membeli buku saku Laskar Pelangi. Di dalamnya, kita akan disuguhi
berbagai macam kalimat-kalimat motivasi dan kopi, dan juga berbagai terjemahan
karya-karya Andrea Hirata dalam berbagai bahasa. di sini selama seminggu, benar-benar membuat saya merasa berjalan di negeri Laskar Pelangi