WAJAR, SAYA KAN HANYA KIAI KAMPUNG


“WAJAR, SAYA KAN HANYA KIAI KAMPUNG”

Di desa kita pasti ada seorang kiai. Ya, umumnya kiai desa bagaimana lah. Hidupnya pas-pasan. Mencari nafkah sebagaimana masyarakat pada umunya.  Malah kadang kiai kampung lebih "miskin". 

Kalau pakai sarung BHS pun biasanya pemberian dari masyarakat punya yang suka berderma.

Sebagian waktunya "yang seharusnya" untuk mengumpulkan uang memenuhi kebutuhan keluarga, malah disibukan untuk memikirkan umat. Mulai dari memimpin tahlil orang meninggal dunia sampai mengajar anak-anak kecil yang kalau sudah gede sedikit, malu ngaji dan kadang tiak mau kenal lagi sama sang kiai.

Bahkan lebih jauh lagi. Kiai kampung dengan kreatifitas dan kepedulian sosialnya, tidak jarang mengadakan pengajian rutinan untuk masyarakat setempat. Biasanya ramai dihadiri kalangan lanjut usia. Sekali lagi ini mengorbankan waktu dan tenaga.

Kiai kampung itu yang mengajarkan masyarakat baca tulis Al-Quran, cara wudlu yang benar, cara shalat yang tepat. Mengurusi jika ada saudara kita yang meninggal. Mau acara selametan, ya minta saran dan doa kiai kampung. Mau nikahan, ya belajar sighot akad (Qobiltu...) ke kiai kampung. Tempat curhat sekaligus konsultasi berbagai masalah agama.  

Dan banyak lagi. Sepertinya tidak cukup kalau saya tuliskan di status facebook yang sedehana ini.

Tapi kok miris. Kalau ada tokoh atau kiai besar datang dari luar, kiai kampung dilupakan. Seolah lupa siapa yang selama ini telah megajari banyak hal.

Sayyidina Ali ra. yang merupakan khalifah ke empat dan terkenal 'alim. Beliau sangat menghormati sosok guru. Sampai beliau berkata kalau dirinya berhak dijadikan "budak" bagi orang yang mengajarinya hanya satu huruf.

“انا عبد من علمني حرفا واحدا ان شاء باع واشاء اعتق وان شاء استرق” 

“Saya adalah budak orang yang mengajari saya, satu huruf sekalipun. Jadi saya terserah dia, apakah mau menjualku, atau mau memerdekakanku”.

Bayangkan kiai kampung yang tidak hanya mengajarkan satu huruf hijaiyah.

Cobalah kalau ada acara besar dan mengundang tokoh atau kiai besar. Kiai kampung juga dimuliakan. Paling tidak jadi tamu VVIP di acar itu. Dikenalkan dan didudukan sejajar dengan tokoh atau kiai besar itu. Kalau bisa dikasih amplop yang isinya tidak jauh beda dengan tokoh atau kiai besar itu.

Logikanya, jasa tokoh atau kiai besar itu tidak ada apa-apanya dibanding kiai kampung yang ada di desamu itu.

Tapi realita memang menyakitkan. Jika ada tokoh atau kiai besar datang. Malah kiai kampung diabaikan.

Apa kiai kampung marah? "Saya ini yang membimbing kalian dari nol, dari belajar wudlu yang benar, dari alif-ba-ta. Kok diabaikan?!" Tidak tuh.

Paling kiai kampung itu cuma bergumam dengan raut polosnya, "Itu yang datang kan tokoh atau kiai besar. Lah, saya ini kiai kecil yang kumuh dan miskin. Ya wajar saja jika kiai besar itu lebih dihormati".

Jangan sampai kefanatikan kita dengan kiai-kiai besar yang sering tampil di televisi, youtube, diundang ceramah ke mana-mana, membuat kita lupa siapa yang sudah mengajari banyak hal. Kiai kampung adalah orang tua kita bersama.

Semoga kiai kampung di desa kita selalu diberi kesehatan dan umur panjang. Alfatihah.

Tabik,
Muhamad Abror

#NahdliyinOnline
Label:

Posting Komentar

[blogger]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget