Sejarah KH. Hamim Djazuli (Gus Miek)

Sejarah KH. Hamim Djazuli (Gus Miek).

Semoga kita semua senantiasa mendapat, rahmat, berkah dan keselamatan dari Allah SWT, lantaran beliau, KH. Hamim Djazuli (Gus Miek).

Nama asli beliau adalah Hamim Tohari Djazuli (1940-1993). Karena saudara-saudaranya waktu kecil susah ketika mengucapkan Hamim, malah yang terucap Miek, lalu dipanggil Gus Miek. Beliau putra ketiga pasangan K.H. Ahmad Jazuli Utsman, pendiri Pesantren Al-Falah Ploso Kediri, dengan Nyai Hj. Rodhiyah. 

Ini 5 fakta sosok Gus Miek yang saya nukil dari beberapa sumber:

1. Pendiri Dzikrul Ghofilin dan Jantiko Mantab
Gus Miek seorang hafizh (penghafal) Al-Quran. Karena, bagi Gus Miek, Al-Quran adalah tempat mengadukan segala permasalahan hidupnya yang tidak bisa dimengerti orang lain. Dengan mendengarkan (sema’an) dan membaca Al-Quran, Gus Miek merasakan ketenangan dan serasa berdialog dengan Allah. Beliau akhirnya berinisiatif membentuk Majlis Semaan Al-Quran, Jama’ah Dzikrul Ghofilin, dan Jantiko Mantab.
Semasa hidupnya, Gus Miek dikenal sebagai kyai nyeleneh yang berkaramah. Banyak orang memadati acara keagamaan yang dimpimpin Gus Miek. Semaan Al-Quran dan Dzikrul Ghofilin yang diselenggarakannya selalu penuh sesak oleh jamaah yg datang dari berbagai penjuru tanah Jawa.
Dari pagi, para jamaah bersabar mendengarkan bacaan Al-Quran, guna bisa mengamini doa yang dibacakan oleh Gus Miek seusai qari’ (pembaca) menamatkan Al-Quran 30 juz. Selain mengharap doa, tentu saja juga menanti siraman rohani berupa Mauizhah Hasanah dari kyai kharismatik tersebut.

2. Sejak Kecil Dikenal Nyeleneh Tapi Lembut Hatinya
Semasa hidupnya, Gus Miek memang dikenal nyeleneh, bahkan juga oleh keluarganya sendiri. Hal seperti ini sudah tampak sejak kecil. Konon, ketika masih mondok di Lirboyo, Gus Miek dititipkan kepada K,H. Mahrus Ali. Dasar anak nyeleneh, Gus Miek malah jualan jamu di Pasar Warujayeng Nganjuk. Bahkan kakaknya, Gus Din (K.H. Zainuddin Jazuli), selama hampir dua tahun tidak pernah bertemu dengan adiknya yang nyeleneh itu.
Gus Miek sejak kecil adalah pribadi yang sangat halus dan lembut, cerminan kehalusan dan kelembutan hatinya. Tutur kata dan tingkah lakunya penuh kesopanan dan mengagumkan, membuat siapa saja yang berada di dekatnya merasa teduh, tenang, dan damai.
Ketika berjalan, Gus Miek kecil selalu menundukkan muka, seakan mencerminkan kerendahan hatinya. Langkahnya pelan, penuh kehati-hatian dan ketenangan, membuat orang yang melihatnya terpukau dalam keanggunan dan keheningan perilakunya.
Gus Miek lebih suka menyendiri dibanding harus berdekatan dan bercengkrama dengan saudara-saudaranya, ibu, atau para santri. Ini seolah menyimpan misteri yang tidak terjawab. Karena ia sangat pendiam, Gus Miek lebih asyik bermain sendiri daripada harus bermain dengan saudara-saudara atau teman sebayanya.
Gus Miek kecil memiliki hobi yang bisa dibilang aneh. Dia sangat senang mengamati penjual wenter (cat warna) di pasar dan baru akan pulang saat penjual wenter itu tutup, yang kemudian di rumah dia menirukan gaya penjual wenter sambil berteriak-teriak. Gus Miek juga sangat senang melihat orang memancing di belakang pondok. Para pemancing itu senang, karena setiap ada Gus Miek ikan-ikan pada bergerombol.
Selain itu, Gus Miek kecil juga memiliki suara yang merdu, lebih menonjol dibanding saudaranya yang lain pada saat bersama-sama mengaji Al-Quran. Bacaannya fasih, mendayu-dayu, dan mampu menyejukkan hati pendengarnya.
Dalam pendidikan, terutama Al-Quran, Gus Miek untuk pertama kali dibimbing langsung oleh ibunya, Nyai Rodhiyah, selanjutnya diserahkan kepada Ustadz Hamzah. Proses belajar itu tak berlangsung lama, baru mendapat satu juz, Gus Miek sudah minta khataman.
Menurut cerita, dari sekian banyak putra K.H. Djazuli yang dikhatami Alfiyyah dengan syukuran hanya Gus Miek saja. Ini karena Gus Miek jarang masuk sekolah dan lebih banyak keluyuran tapi bisa khatam Alfiyyah. Tentunya ini sesuatu yang luar biasa. Selain juga untuk memotivasi Gus Miek agar lebih giat lagi. Tapi Gus Miek masih sama seperti sebelumnya, di saat saudara dan teman-temannya mengaji, Gus Miek hanya keluyuran dan bermain-main atau tidur-tiduran di samping K.H. Djazuli yang sedang mengaji.
Perhatian sang ayah kepada Gus Miek memang berbeda dibanding kepada putranya yang lain. K.H. Djazuli hanya akan memulai mengaji jika putra-putranya sudah berkumpul, dan jika tidak mau mengaji, maka beliau akan marah sekali, tapi jika Gus Miek yang tidak mau mengaji, maka KH. Djazuli membiarkannya saja.
Pernah suatu ketika Gus Miek disuruh mengaji oleh sang ayah. Tapi Gus Miek hanya memanggul kitabnya dan mengelilingi K.H. Djazuli sebanyak tiga kali. Kemudian dia mengatakan bahwa dirinya telah mempelajarinya, lalu pergi. Melihat tingkah Gus Miek itu, K.H. Djazuli hanya diam dan tersenyum.
Pada umur 13 tahun, Gus Miek “terpaksa” mondok ke Lirboyo, Kediri, setelah K.H. Mahrus Ali datang menjemputnya di Ploso untuk memintanya nyantri di pesantrennya. Namun pendidikan Gus Miek di Lirboyo hanya bertahan 16 hari lalu beliau boyong.
Kepulangan Gus Miek yang mendadak ke Pondok Pesantren Ploso membuat orang tuanya resah karena ia tidak mau untuk melanjutkan belajarnya di Pesantren Lirboyo. Namun, Gus Miek mampu menunjukkan bahwa selama belajarnya di Pesantren Lirboyo beliau melakukannya dengan sungguh-sungguh.
Beliau buktikan kepada orangtuannya dengan cara menggantikan semua jadwal pengajian yang biasa diasuh oleh abahnya di Ploso, seperti kitab Fathul Qarib (kitab fikih tingkat dasar), Fathul Mu’in (kitab fikih tingkat menengah), Jam’ul Jawami’ (kitab ushul fiqh tingkat menengah), Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Tafsir Jalalain, Iqna’ (kitab fikih penjabaran dari Fathul Qarib), Ihya’ Ulumuddin (kitab tasawuf). Pada titik ini orangtuanya mengakui adanya karamah (kelebihan) kewalian pada sosok anaknya.
Setelah menunjukkan kemampuannya kepada orang tuanya, beberapa bulan kemudian Gus Miek memutuskan untuk belajar lagi di Pesantren Lirboyo. Di pesantren tersebut beliau cukup rajin dalam mengikuti pengajian. Namun, beliau mempuyai kebiasaan yang sulit dihilangkan sejak di Ploso, yaitu ketika santri lain sedang sibuk mengaji, ia hanya tidur dan meletakkan kitabnya di atas meja. Meski demikian, ketika gurunya menanyakan materi yang disampaikan, Gus Miek selalu mampu menjawabnya dengan memuaskan.

3. Dakwah ke Orang Pinggiran dan Ahli Maksiat
Tidak seperti kyai pada lazimnya yang berdakwah kepada santri-santri di pesantrennya atau masyarakat di sekitarnya. Beliau berdakwah ke tempat-tempat pelacuran, ke sarang-sarang penyamun dan bajingan. Bahkan, waliyullah sekelas Kyai Hamid mengaku tidak mampu berdakwah ala Gus Miek.
Sebagaimana sosoknya yang nyeleneh dan nyentrik, medan dakwahnya pun nyentrik alias tidak lazim. Medan dakwah beliau jauh dari kamera dan media. Hampir tiap malam beliau menyusuri jalan-jalan di kota-kota Jawa Timur, mampir di warung kopi, nimbrung dengan tukang-tukang becak, keluar masuk night club atau dugem, berbaur dengan lonte-lonte dan mucikari yang masih dalam kegelapan jalan akhirat.
Pernah suatu ketika Gus Farid (anak K.H. Ahmad Siddiq yang sering menemani Gus Miek) mengajukan pertanyaan yang sering mengganjal di hatinya.
“Bagaimana perasaan Gus Miek tentang wanita? tanya Gus Farid.
“Aku setiap kali bertemu wanita walaupun secantik apa pun dia dalam pandangan mataku yang terlihat hanya darah dan tulang saja. Jadi, jalan untuk syahwat tidak ada,” jawab Gus Miek.
Gus Farid juga menanyakan tentang kebiasaan Gus Miek memakai kaca mata hitam baik itu di jalan maupun saat bertemu dengan tamu. “Apabila aku bertemu orang di jalan atau tamu, aku diberi pengetahuaan tentang perjalanan hidupnya sampai mati. Apabila aku bertemu dengan seseorang yang nasibnya buruk, maka aku menangis, maka aku pakai kaca mata hitam agar orang tidak tahu bahwa aku sedang menagis,” jawab Gus Miek.
Gus Dur pernah berkata Gus Miek sering terlihat berziarah ke makam Syekh Ihsan Jampes, Kediri, 40 hari sekali. Syekh Ihsan dikenal sebagai ulama yang sangat rajin menulis kitab-kitab agama. Atau berziarah ke makam Mbah Mesir di Trenggalek, pembawa tarekat Syadziliyah, dua abad lampau. Menurut Gus Dur, Gus Miek mengidolakan ulama yang perduli kepada kaum dhuafa atau kaum lemah.

4. Wali Jadzab yang Rajin Ziarah dan Hobi Mancing
Hobinya di samping ziarah ke makam-makam wali yang beliau kenal dan ketahui juga suka mancing di sungai. Mungkin karena di sungai itu beliau sering bersua dengan gurunya, Nabi Khidir.
Dikisahkan juga ketika beliau mondok ke pesantren Kyai Dalhar tahun 1954-an. Setelah sampai di pesantrennya, Gus Miek tidak langsung mendaftarkan diri menjadi santri, tetapi hanya memancing di kolam pondok yang dijadikan tempat pemandian. Hal itu sering dilakukannya pada setiap datang di Watucongol.
Kebiasaannya memancing tanpa memakai umpan, terutama di kolam tempat para santri mandi dan mencuci pakaian membuat Gus Miek terlihat seperti orang gila di mata orang yang belum mengenalnya. Setelah beberapa bulan dengan hanya datang dan memancing di kolam pemandian, beliau baru menemui Mbah Dalhar dan meminta izin untuk belajar.
Singkat cerita, Mbah Dalhar akhirnya mau menerima Gus Miek sebagai muridnya, khusus untuk belajar Al-Quran. Akan tetapi, Gus Miek tidak hanya sampai di situ saja, ia berulang kali juga meminta berbagai ijazah (izin) amalan untuk menggapai cita-cita, tanggung jawab, dan ketenangan hidupnya. Seolah ingin menguras habis semua ilmu yang ada pada Mbah Dalhar, terutama dalam hal kapasitasnya sebagai seorang wali, mursyid tarekat, dan pengajar Al-Quran. Gus Miek juga seolah ingin mempelajari bagaimana seharusnya menjadi seorang wali, apa saja yang harus dipenuhi sebagai seorang mursyid, dan seorang pengajar Al-Quran.
Setiap kali Gus Miek meminta tambahan ilmu, Mbah Dalhar selalu menyuruhnya membaca Al-Fatihah. Apa pun bentuk permintaan Gus Miek, gurunya itu menyuruhnya untuk mengamalkan Al-Fatihah. Oleh karena itu, Gus Miek pernah berkata kepada khadam (asisten)-nya kalau ingin ketemu saya, baca Al-Fatihah 100 kali.

5. Menempuh Dua Kehidupan
Gus Dur menyebut Gus Miek sebagai seorang manusia yang menempuh dua pola kehidupan sekaligus. Kehidupan tradisional orang pesantren yang tertuang dalam rutinitas sema’an (mendengarkan Alquran) dan gebyarnya kehidupan dunia hiburan modern, seperti mendatangi tempat-tempat diskotik dan night club.
Apakah hal ini kontradiktif? Ternyata tidak. Sebab di kedua tempat itu, Gus Miek memiliki peran yang sama. Beliau memberi kesejukan kepada jiwa yang gersang, memberikan harapan kepada mereka yang putus asa, menghibur mereka yang bersedih, menyantuni mereka yang lemah, dan mengajak semua kepada kebaikan dan yang terpenting mengajak semua untuk bertobat, kembali ke jalan Allah.

Kontributor: Alvian Iqbal Zahasfan | Alumni PP. Nurul Jadid, pecinta wali melalui DatDut.Com
Label:

Posting Komentar

[blogger]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget