QALBUN SALIM
_*Qalbun Salim ialah hati yang bersih atau hati yang selamat*,_ adalah *_hati yang penuh dengan takwa dan iman._* Penuh dengan kebaikan. Orangnya berhias dengan akhlak yang indah. Kebahagiaannya adalah melihat orang lain mendapat kebaikan. Karena inilah hati seseorang menjadi bersih dan selamat. Suci hatinya. Inilah hatinya para nabi dan rasul. Mereka cinta kalau kaum mereka mendapat kebaikan. Mereka berusaha sekuat tenaga menasihati dan membimbing kaumnya. Mengajari dan menunjuki mereka jalan kebenaran.
*Nabi Yusuf ‘alaihissalam tidak mendendam setelah merasakan rentetan penderitaan yang panjang akibat ulah buruk saudara-saudaranya*.
_Nabi Yusuf berkata sebagaimana termaktub dalam Qur'an Suci,_
*﴿قَالَ لَا تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ يَغْفِرُ اللَّهُ لَكُمْ وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ﴾*
*_Dia (Yusuf) berkata: “Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan Dia adalah Maha Penyayang diantara para penyayang”._* (QS. Yusuf: 92).
*Adapun nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, _Allah telah anugerahkan kepada beliau kelapangan dada, hati yang bersih, dan jiwa yang suci*._
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam disakiti dengan begitu parah saat berdakwah di jalan Allah, namun beliau tetap menjadi seorang yang *_tabah dan berlapang dada._* Beliau memaafkan banyak orang yang menyakitinya.
*Dalam sebuah hadist shahih terdapat sebuah riwayat dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, ia berkata*,
*كَأَنِّى أَنْظُرُ إِلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – يَحْكِى نَبِيًّا مِنَ الأَنْبِيَاءِ ضَرَبَهُ قَوْمُهُ فَأَدْمَوْهُ ، وَهْوَ يَمْسَحُ الدَّمَ عَنْ وَجْهِهِ ، وَيَقُولُ « اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِقَوْمِى فَإِنَّهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ »*
*_"Seolah-olah aku masih dapat melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau menceritakan seorang nabi dari para nabi, yaitu ketika nabi tersebut dipukul oleh kaumnya hingga menyebabkan keluar darahnya dan nabi itu mengusap darah tersebut dari wajahnya sambil berdoa, “Ya Allah, ampunilah kaumku karena mereka itu tidak mengetahui.”_* (HR. Bukhari dan Muslim).
*Sesungguhnya _perkara hati merupakan perkara agung dan kedudukannya pun sangat mulia,_* sehingga Allah subhanahu wata’aala menurunkan kitab-kitab suci-Nya untuk memperbaiki hati, dan Dia utus para rasul untuk menyucikan hati, membersihkan dan memperindahnya. _Allah swt berfirman:_
*لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ*
*رَسُولا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ*
*_"Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah.”_* (Ali Imran: 164).
*Ajaran _paling besar_* yang
dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam adalah *_memperbaiki hati._*
Maka tidak ada cara untuk menyucikan dan memperbaiki hati *_kecuali cara yang telah ditempuh oleh Rasulullah saw_*
Al-Qur’an memberikan gambaran tentang hati kita laksana sebuah misykat yang di dalamnya ada misbah.
Misbah inilah sesungguhnya fitrah manusia, yang padanya tidak ada sesuatu pun yang menyimpang dari petunjuk Allah SWT. Persoalannya adalah cahaya misbah ini sering kali tidak muncul dan mendominasi kehidupan kita. Cahaya itu sepertinya tertutup oleh penutup yang amat tebal sehingga pancarannya tidak bisa keluar. Cahaya fitrah tidak menyinari setiap sudut relung jiwa kita sehingga kita hidup laksana di dalam ruang yang sangat gelap hingga kita menabrak apa pun yang kita hadapi, berjalan tanpa arah dan terombang-ambing tanpa tujuan yang jelas. Keadaan seperti itu kita alami karena cahaya fitrah yang disembunyikan Allah di kedalaman hati kita tertutupi oleh dosa-dosa yang kita lakukan dan diredupkan oleh kuatnya perhatian kita terhadap dunia.
Jadi, banyaknya dosa yang kita lakukan dan besarnya pengharapan serta perhatian kita terhadap persoalan duniawi adalah hal-hal yang memperlemah serta meredupkan pancaran cahaya fitrah yang kita miliki. Sebaliknya, kalau kita menghindarkan diri dari segala macam bentuk maksiat, dan membebaskan pikiran dari ketertarikan yang berlebihan terhadap persoalan duniawi, serta membersihkan hati dengan penuh kesungguhan, maka misykat itu akan menjadi sangat bening sehingga cahaya misbah yang ada di dalamnya akan memancar dengan pancaran yang sangat cemerlang. Takkan ada lagi kegelapan yang kita temukan dan arah yang kita tuju pun akan terlihat sangat jelas.
Allah menggambarkan keadaan itu dalam firman-Nya: *“Kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis)…”*
(QS. An-Nur [24]: 35)
Sebaiknya beberapa saat kita kembali mengingat tentang diri kita pada saat-saat sebelum Tuhan mengizinkan kita untuk tinggal di dunia ini. Di dalam diri kita sesungguhnya Allah telah mempersiapkan suatu ‘alat’ yang membawa kita pada tahap kesucian dan menimbulkan getar-getar kerinduan untuk kembali kepada-Nya. *‘Alat’ itu adalah hati yang di dalamnya terdapat cahaya fitrah.* Ketika kita sedang berhadapan dengan sesuatu yang amat sulit, biasanya fitrah ini akan bersuara. Ketika kita sedang berada dalam kondisi untuk memutuskan antara yang salah dan benar, biasanya cahaya fitrah ini akan bersinar dan memperlihatkan pada kita mana yang benar. Namun, sejak kita hadir di dunia ini, tempat baru yang sebelumnya tak pernah kita ketahui, banyak hal yang membuat bisikan fitrah menjadi kurang terdengar dan membuat cahayanya menjadi redup. Kita kagum terhadap tampilan dunia dengan segala macam pesona yang diperlihatkannya.
Karena sebelumnya hal-hal seperti yang ada di dunia ini tidak pernah kita temui, maka banyak di antara kita yang mencurahkan lahir-batinnya untuk meraih dunia. Fitrah dengan segala macam kebenaran yang dibisikkannya menjadi terlupakan. Reduplah sinarnya dan melemahlah suaranya. Akhirnya kita terperangkap oleh jejaring kehidupan dunia. Kita berjalan tanpa penerang dan tanpa petunjuk. Dosa demi dosa telah menyebabkan tempelan noda pada hati hingga seluruh bagiannya tertutupi oleh noda-noda yang sangat tebal. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, agar kita tersadar dari kekhilafan yang kita lakukan, maka Allah memberikan teguran pada kita dengan berbagai macam bentuk, dan kebanyakan darinya adalah musibah.
Tujuannya adalah agar manusia sadar dan kembali kepada Allah SWT.
Musibah mengantarkan kita pada maqam yaqzhah, kesadaran. Oleh karena itu, apabila kita tidak pernah terkena musibah janganlah terlalu merasa bahagia. Sebab keadaan yang tanpa musibah itu boleh jadi menyiratkan bahwa Tuhan membiarkan kita dan tidak memperhatikan kita. Justru musibah adalah salah satu cara Allah dalam memberikan perhatian terhadap hamba-Nya.
Kiriman Gus Ilham Fitriadi (Nahdlatul Ulama 3)
Posting Komentar