Kisah Dua Ulama Pejuang Kemerdekaan
(Mengenang Sosok KH. Mahrus Ali Lirboyo dan KH. Basori Alwi Malang)
*Edisi Revisi*
KH. Mahrus Aly (1907-1985) dikenal sebagai ulama besar yang berjasa besar dalam mengkader ulama lewat Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. KH. Basori Alwi (1927-2020) adalah Ulama yang masyhur dikenal sebagai Qori Internasional, Pendiri Jamiyyatul Qurro' wal Huffadz dan Perintis Pesantren Ilmu Al-Qur'an (PIQ) Singosari, Malang. Kedua ulama di masanya dikenal sebagai ulama pejuang kemerdekaan Republik Indonesia dan keduanya terjalin erat hubungannya sebagai guru dan murid.
Dikisahkan dalam Buku Biografi KH. Basori Alwi, Sang Guru Qur'an bahwa pada era pasca kemerdekaan Republik Indonesia, Almaghfurlah KH. Basori Alwi pernah bergabung Laskar Hizbullah. Beliau bergabung dari barisan santri yang dipimpin oleh KH. Zainal Arifin Pohan (1909-1963) dari Barus, Tapanuli Tengah. Singosari memang menjadi basis perjuangan mempertahankan kemerdekaan karena disana juga terdapat KH. Masykur (1904-1994) yang menjadi pimpinan Laskar Sabilillah.
Pada Nopember 1945, Kyai Bashori Alwi yang lahir pada 15 April 1927 saat itu masih berusia 18 tahun. Beliau pernah mendapatkan perintah dari Mayor Mukhlas untuk melakukan pergerakan di daerah Sidoarjo dan Wonokromo. Saat ini beliau mendapati seorang mata-mata musuh musuh yang sedang mengintai pergerakan gerilyawan Hizbullah. Namun berkat kesergapan dari Kyai Basori Alwi dan kawan pejuang, musuh tersebut dapat dibunuh. Setelah kecamuk perang berakhir, Kyai Basori kembali ke Malang dan hidup dalam lingkungan kemiliteran. Meski begitu karena berlatar belakang santri beliau aktif mengisi pengajian di lingkungan Markas Kodam V Brawijaya di kawasan Rampal, Blimbing, Kota Malang.
Sebelumnya Kyai Basori memang pernah belajar ke berbagai ulama di Singosari seperti kepada ayahandanya Kyai Alwi Murtadlo, Kyai Abdussalam, kakaknya, Kyai Dasuqi, Kyai Yasin Thoyib, Kyai Barmawi. Selain itu beliau memang nyantri di Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan dibawah asuhan Kyai Nawawi bin Noerhasan. Di salah satu pesantren tertua di Indonesia beliau duduk sekelas dengan Kyai Hasani Nawawi, yang kelak akan menjadi ulama besar penerus perjuangan ayahandanya.
Tak lama kemudian, atas saran dari kakaknya Kyai Abdus Salam yang berkata bahwa berjuang itu tidaklah harus dengan senjata, namun berjuang bisa lewat pena. Terkadang goresan mata pena lebih tajam dari sabetan perang. Maka Kyai Basori memilih mundur dari dunia militer. Beliau mundur begitu saja dan meski tidak tercatat dalam veteran pejuang kemerdekaan, namun jasanya terus dikenang.
Solo menjadi tujuan pertama setelah Kyai Bashori berhenti jadi tentara. Disana beliau belajar di Madrasah Aliyah Diniyah di Desa Punggawan mengikuti jejak kakaknya tadi. Selama di Solo inilah beliau bertemu dengan KH. Dimyati al-Karim (1909-1982), seorang ulama pendiri Madrasah Salafiyah, Mangkunegaran, Surakarta yang banyak mempengaruhi kehidupannya. Guru inilah yang memberi wasiat yang kemudian menjadi pegangan yang disampaikan ke santri-santrinya sampai ajal menjemputnya pada hari Senin, 23 Maret 2020 silam.
لِكُلِّ شَيْءٍ زَكَاةٌ وَزَكاَةُ الْعِلْمِ التَّعْلِيْمُ
"Segala Sesuatu ada zakatnya dan zakatnya ilmu adalah mengajar"
Sekitar tiga tahun lamanya Kyai Basori belajar di Solo. Selama itu beliau sempat belajar langsung kepada Syekh Mahmud Ayyub Al-Ayyubi dari Irak dan Sayyid Abdurrahman bin Shahab Al-Habsyi. Dari Solo beliau sempat ke Jogjakarta kemudian kembali ke Malang.
Sesampai di Malang ternyata keluarga mengungsi ke Kediri karena kondisi darurat perang. Kyai Basori Alwi pun kembali ke barak, bergabung dengan Laskar Gerilyawan Hizbullah Singosari yang saat itu dikomandani oleh Hasbullah. Serbuan Sekutu yang sudah mencapai Singosari inilah yang mungkin menjadi penyebab wafatnya KH. Hasyim Asy'ari setelah terkejut mendengar kabar ini.
Dikutip dari laman NU.Online pada 25 Juli 1947 atau 7 Ramadhan 1366 H, di kediaman Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari, Tebuireng Jombang, datang dua utusan Panglima Besar Jenderal Soedirman dan Bung Tomo. Salah seorang utusan itu bernama Kiai Gufron, pemimpin Sabilillah Surabaya. Keduanya mengabarkan situasi bangsa selepas Agresi Militer Belanda I 21 Juli 1947.
“Jenderal Spoor sudah merebut Singosari, Malang,” ujar perwakilan itu.
Rais Akbar Nahdlatul Ulama itu kaget luar biasa. Jatuhnya kota perjuangan, pusat markas tertinggi Sabilillah, badan kelaskaran rakyat yang dipimpin KH Masykur itu, sangat mengejutkannya.
“Masya Allah, masya Allah!” pekiknya. Lalu ia memegang dan menekan kepalanya kuat-kuat. Keterkejutan yang hebat ini membuatnya pingsan.
Mendengar kabar itu, KH Hasyim Asy’ari mengalami pendarahan otak. Dokter Angka yang didatangkan dari Jombang, tidak bisa berbuat apa-apa karena keadaannya sangat parah sekali. Dan Kyai Hasyim pun berpulang ke Rahmatullah pada usia 76 tahun.
Karena kondisi Singosari yang serba darurat itulah yang membuat Kyai Basori menyusul keluarganya di Kediri. Dalam pengungsian inilah beliau bertemu dengan Kyai Masykur yang juga berasal dari Singosari. Kelak lewat peran KH. Masykur khususnya saat beliau menjabat sebagai Menteri Agama inilah karir Kyai Basori akan mendunia.
Setelah konflik telah mereda, Kyai Masykur akan mengajak Kyai Basori akan diajak ke Jogjakarta yang saat itu sempat menjadi Ibu Kota Republik Indonesia. Di Jogjakarta inilah KH. Basori akan mengaji dengan KH. Abdullah bin Nuh (1905-1987) yang juga dikenal sebagai ulama pejuang dari Cianjur yang tercatat sebagai Daidancho (setingkat Komandan Batalyon sekarang) pada zaman Jepang. Kisah tentang KH. Basori Alwi dan gurunya KH. Abdullah bin Nuh disimak di laman berikut
https://m.facebook.com/story/graphql_permalink/?graphql_id=UzpfSTEwMDAwMDcwOTMxMTQzMjoyNjgyOTU5MzYxNzM3Njgx
Di Kota Kediri ini jugalah, Kyai Basori Alwi menyempatkan mengaji kepada sosok ulama yang alim allamah dan juga pejuang kemerdekaan, yakni KH. Mahrus Ali, Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo. Memang tak ada catatan resmi tentang berapa lama Kyai Basori belajar dengan Ulama asal Gedongan, Cirebon. Namun penulis meyakini beliau masih sempat belajar langsung ke KH. Abdul Karim (1856-1954), mertua Kyai Mahrus sekaligus Pendiri Pondok Pesantren Lirboyo Kediri.
"Lirboyo memang banyak menjadi pilihan pengungsian para kyai, termasuk keluarga KH. Bisri Mustofa Rembang yang mengungsi ke Lirboyo. Hal ini karena Lirboyo menjadi tempat yang cukup aman dari serangan Agresi Militer Belanda" ungkap Agus H. Ibrahim Hafidz saat penulis di Kantor Bhakti Pondok Pesantren Lirboyo, (2/5)
Dalam Buku Pesantren Lirboyo, Sejarah, Peristiwa, Fenomena dan Legenda, KH. Mahrus Ali pada era pra-kemerdekaan telah aktif berjuang. Di era zaman Jepang, beliau sempat menjadi anggota Kamikaze (tentara berani mati). Hal ini dilakukannya untuk menimba ilmu dari penjajah yang di kemudian hari digunakan untuk melawan Jepang .
Saat Jepang mengadakan latihan militer di Cibarusa Bekasi atas permintaan Residen Kediri R. Abdul Rahim Pratalikrama, KH Mahrus mengurus santri-santrinya seperti Thohir Wijaya (Blitar), Agus Masrur (Lasem), Mahfudz (Jogjakarta), Ridlwan Anwar (Kediri) untuk bergabung. Sepulang dari Cibarusa, keempat santri tersebut segera menyampaikan kepada santri tentang teknik perang yang telah mereka pelajari sebelumnya. Maka pada tahun 1943-1944, latihan kemiliteran diadakan di Pondok Pesantren Lirboyo. Di saat bersamaan juga telah terbentuk barisan Hizbullah yang dipimpin oleh KH. Zainal Arifin dari Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Jum'at, 17 Agustus 1945, Mayor Abdur Rahim Pratalikama, Residen Kediri sekaligus Syudancho Kediri kembali datang ke Lirboyo untuk mengabarkan proklamasi Kemerdekaan Indonesia telah dilaksanakan di Jakarta. Mendengar kabar itu, KH. Mahrus segera mengambil tindakan dengan merencanakan pelucutan senjata tentara Dai Nippon di Kediri. Seluruh santri Lirboyo dikumpulkan di serambi Masjid Lawang Songo untuk bersiap kembali melakukan perlawanan.
Setelah melalui persiapan yang matang di bawah komando langsung KH. Mahrus Ali dan Mayor Mahfudz berangkatlah 440 santri di hari yang sama pada pukul 22.00 Dengan semangat jihad dan siap mati syahid yang menggelora, mereka bergerak menuju markas Kempetai (Satuan Polisi Jepang) yang berpusat di Jalan Brawijaya Kota Kediri.
Tepat pukul 01.00 hari, dengan berbekal senjata seadanya santri mengadakan serangan besar-besar mengepung markas tersebut. Maka pun tentara Jepang yang memiliki senjata yang lebih lengkap dan modern akhirnya menyerah tanpa syarat sebelum mereka berjibaku dengan para santri. Kemudian senjata tersebut dirampas dan dibawa ke pondok. Selanjutnya senjata rampasan perang yang mencapai satu truk tersebut diserahkan kepada Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang sampai kini tersimpan di Markas Kodam V Brawijaya Kediri.
Dalam perang 10 Nopember 1945 di Surabaya, Kyai Mahrus yang sempat menyantri di Tebuireng ini ikut serta menjalankan amanah gurunya Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy'ari yang tertuang dalam Resolusi Jihad yang dicetuskan pada 22 Oktober 1945 untuk mempertahankan Indonesia sampai darah penghabisan. Maka dengan spirit Resolusi Jihad itulah, bersama ratusan santrinya Kyai Mahrus berjuang melawan Sekutu yang membonceng Belanda yang berhasrat untuk kembali menguasai Indonesia yang belum lama merdeka ini.
Dikutip dari Buku 3 Tokoh Lirboyo, hampir semua masyayikh Lirboyo seperti KH. Abdul Karim, KH. Marzuqi Dahlan, termasuk KH. Mahrus Ali adalah santri Tebuireng yang diasuh langsung oleh KH. Hasyim Asy'ari. Bahkan Mbah Manab (Sapaan Akrab KH. Abdul Karim) adalah kawan KH. Hasyim Asy'ari saat keduanya belajar di Pesantren Demangan dibawah asuhan Syaikhona Kholil Bangkalan. Secara usia, Mbah Manab (lahir 1858) lebih tua 13 tahun dari Kyai Hasyim (lahir 1871). Berkat kedekatan inilah, di kemudian hari Mbah Manab akan dijodohkan dengan putri dari sahabat Kyai Hasyim, yakni Kyai Soleh Banjarmlati Kediri. Kelak dari pernikahan Mbah Manab dan Nyai Dlomroh binti Soleh, akan melahirkan beberapa keturunan salah satunya Nyai Zainab yang akan dinikahkan dengan Kyai Mahrus Aly.
Perjuangan KH. Mahrus Aly agaknya juga dipengaruhi oleh sosok mertua sekaligus gurunya KH. Abdul Karim yang berasal dari Magelang. Zainul Milal Bizawie dalam Jejaring Ulama Diponegoro mengungkap bahwa leluhur Mbah Manah terkoneksi dengan para pasukan Diponegoro, bahkan beliau juga terinspirasi perjuangan Kyai Rofi'i Guru Loning Bagelen dan Kyai Hasan Besar Banyumas. Meski Mbah Manab tidak terjun langsung di medan perang karena sudah sangat sepuh, namun bersama santri Lirboyo beliau melakukan riyadhoh agar pejuang diberikan kemenangan dalam perang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia ini.
Saat itu Gerakan batin dipusatkan di dua tempat yakni di Pondok Lirboyo dan Manukan Jabon Kediri. Di Lirboyo santri dipimpin oleh KH. Abdul Karim dan menantu sekaligus keponakannya KH. Marzuqi Dahlan. Sementara itu di Manukan, gerak batin dipimpin langsung oleh KH. Mahrus dan KH. Said. Jama'ahnya adalah para santri beserta Laskar Hizbullah dan Sabilillah yang akan dikirim ke Surabaya.
Tentang Profil KH. Abdul Karim Lirboyo dan napak tilas kami di kampung halaman Mbah Manab, Dukuh Banar Desa Deyangan Kawedanan Mertoyudan Kabupaten Magelang bisa disimak di laman berikut
https://m.facebook.com/story/graphql_permalink/?graphql_id=UzpfSTEwMDAwMDcwOTMxMTQzMjozMTY0NzQxMjY2ODkyODE5
Perjuangan tak lantas berhenti, ketika Belanda kembali melancarakan Agresi Militer II pada 12 Desember 1948, Kyai Mahrus juga mengerahkan para santri ke medan perjuangan. Adalah Syafii Sulaiman, Muhid Ilyas, Muhammad Masykur dan Mahfudz yang menjadi delegasi Pondok Pesantren Lirboyo yang bergabung dalam Bataliyon 508 untuk bertempur melawan Belanda . Dalam perang ini mereka banyak menggunakan taktik perang gerilya dan sporadis. Perjuangan ini terus berlangsung sampai diselenggarakannya Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda pada tanggal 27 Desember 1949.
Setelah stabilitas keamanan negara, berangsur pulih. Para santri Lirboyo kembali pesantren untuk mengaji. Kelak Batalyon 508 atau yang dikenal dengan Gelatik yang beranggotakan Santri Lirboyo ini menjadi embrio Komando Daerah Militer (Kodam) V Brawijaya. Sampai akhir hayatnya, KH. Mahrus Aly pada tahun 1985 tercatat sebagai Penasehat sekaligus sesepuh Kodam V Brawijaya. Hampir seluruh Panglima di Kodam V Brawijaya menaruh hormat pada beliau. Dan hubungan baik ini berlanjut sampai kepada keturunan Kyai Mahrus.
"Salah satu wasiat KH. Mahrus kepada putra-putrinya, adalah meminta mereka untuk terus menjalin silaturahmi dengan Kodam V Brawijaya sepeninggal beliau" ujar Agus H. Ahmad Kafabihi, cucu KH. Mahrus Ali saat penulis temui di Asrama HMQ Lirboyo, Sabtu (2/5).
Dan pada hari ini, Rabu, 29 April 2020 (6 Ramadhan 1441 H) adalah peringatan 35 tahun wafatnya KH. Mahrus Aly. Esoknya adalah peringatan haul ke-75 meninggalnya Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy'ari dan menyusul peringatan 40 hari berpulangnya muridnya, KH. Basori Alwi ke Rahmatullah pada hari Jum'at, 1 Mei 2020. Semoga segala amal jariyah para guru mulia dan segenap ulama pejuang diterima disisi-Nya. Dan semoga kita mampu melanjutkan estafet perjuangan mereka dalam mengisi kemerdekaan Republik Indonesia yang lahir dari tetesan darah para pejuang dan ulama dengan sebaik-baiknya.
Teringat wasiat Almaghfurlahu KH. Mahrus Ali yang disampaikan kepada santri-santrinya pada pengajian Romadhon pada tahun 1975 silam di Pondok Pesantren Lirboyo
"Aku mbiyen ora muluk muluk pengen dadi wong terhormat dadi wong sugih koyo sing mbok delok sak iki
Tapi aku wedi nek aku dadi wong goblok terus wedi dadi wong mlarat. Mulakno aku sregep ngaji sregep kerjo terus dadine aku koyo sing mbok delok sak iki
Lha nek santri umuh ngaji, lumuh sinau, lumuh kerjo tapi pengene mbesok dadi wong terhormat tur sugih iku jenenge طول الامل atau pikiran muluk muluk"
Artinya:
"Saya dulu tidak berambisi ingin jadi orang terhormat, jadi orang kaya sebagaimana yang kalian lihat sekarang.
Namun saya takut jadi orang yang bodoh kemudian takut jadi orang miskin, maka saya pun rajin mengaji dan bekerja dan jadinya yang seperti yang anda saksikan hari ini.
Jika santri malas mengaji malas belajar, malas kerja namun berharap kelak menjadi orang terhormat dan kaya itu namanya panjang angan-angan"
Lirboyo, 6 Ramadhan 2020
Muhammad Abid Muaffan
Santri Backpacker Nusantara
*Catatan ini kami susun dalam rangka Peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke 77 (9 Ramadhan 1364 H - 9 Ramadhan 1441 H), Haul ke-75 KH. Hasyim Asy'ari (7 Ramadhan) Haul Ke-35 (6 Ramadhan) KH. Mahrus Ali dan Peringatan 40 Hari Wafatnya KH. Basori Alwi Murtadlo (8 Ramadhan)
Kiriman Gus Muhammad Abid Muaffan
Posting Komentar