Keramat Mbah Sholeh Darat, Menyambut Pengunjung Makamnya
Makam Mbah Sholeh Darat di Semarang
Banyak sekali ulama maupun warga NU yang berziarah ke makama Mbah Sholeh Darat (Syech Muhammad Sholeh bin Umar Asssamarony, biasa dipanggil Kiai Sholeh Darat). Setiap hari, maqbarahnya di kompleks pemakaman umum Bergota Semarang ramai dikunjungi orang. Siang maupun malam, 24 jam silih berganti orang berdatangan.
Di era tahun 1980 sampai 1990-an, ada seorang ulama terkenal yang rajin berziarah. Yaitu KH Hamim Jazuli Kediri Jawa Timur atau biasa dipanggil Gus Miek. Gus Miek ini juga diyakini banyak orang sebagai seorang wali (kekasih Allah). Dan sebagaimana umumnya waliyullah, dia hobi ziarah di makam wali-wali Allah yang sudah wafat.
Menurut penuturan para penjaga kotak amal di makam Mbah Sholeh Darat, Gus Miek semasa hidupnya sering ziarah ke makam Mbah Sholeh. Kesaksian para Sarkub (Sarjana Kuburan, sebutan untuk orang-orang ahli ziarah kubur) Semarang, juga membenarkan hal itu.
“Gus Miek dulu rajin ziarah ke sini. Seringnya malam hari. Kami sering menerima infaq dari beliau,” Tutur Budi, penjaga kotak amal di pintu masuk cungkup maqbarah Mbah Sholeh.
Sumiati, penjaga kotak amal dan toilet depan makam, juga membenarkannya. “Iya, Gus Miek kadang mengajak Gus Dur kalau ziarah ke sini. Biasanya diam-diam datang di malam larut ketika sepi,” tuturnnya.
Pernyataan senada datang dari Supriyanto alias Pak Totok, tokoh Sarkub Semarang yang rutin hampir setiap malam Jum’at ziarah di makam Mbah Sholeh Darat.
“Gus Miek itu ahli ziarah. Gus Dur juga terkenal ahli ziarah. Dua orang panutan kita itu sering datang ke makam Mbah Sholeh Darat,” ucap ustad yang mengasuh ngaji kitab Mbah Sholeh Darat di Mushala di kampungnya, Mugas Semarang Selatan ini.
Agus Tiyanto, Sarkub asal Klaten yang beristri cicit Mbah Sholeh Darat, Evi Isnadiyah binti Ali bin Kholil bin Sholeh Darat, mengaku sering mengetahui kedatangan Gus Miek di makam kakek buyut istrinya tersebut.
“Gus Miek benar-benar contoh ahli ziarah kubur. Beliau sering datang ke Semarang hanya untuk sowan Mbah Sholeh Darat,” ungkapnya.
Apa yang dikatakan Agus sama persis dengan kesaksian Pak Totok maupun para penjaga makam Mbah Sholeh Darat. Yaitu model ziarahnya Gus Miek lebih mirip orang sowan. Persisnya seperti pisowanan kawula kepada raja Jawa.
Seperti apakah?
Dari semua kesaksian mereka, Gus Miek selalu memakai beskap dan blangkon setiap ziarah. Lengkap dengan bawahan jarik dari kain batik. Bukan memakai sarung, baju koko dan kopiah sebagaimana lazimnya orang lain.
Dan ini yang istimewa, begitu dia mencopot sandal di pintu masuk kompleks makam Mbah Sholeh, Gus Miek jongkok dan mengatupkan dua tangannnya di depan hidungnya. Salam tabik seperti abdi dalem 'menyembah' raja. Lalu, persis seperti adegan di lakon ketroprak, Gus Miek berjalan sambil tetap jongkok ke arah pusara Mbah Sholeh Darat. Sambil kedua telapak tangan tetap menelungkup menempel hidung dan kepala menunduk memandang ke tanah.
“Sama sekali tidak pernah kepala Gus Miek tegak dengan mata memandang ke depan bila beliau berziarah. Kepala selalu menunduk dan berjalan jongkok ngapurancang pakai salam tabik khas abdi raja,” ucap para saksi yang disebut di atas.
Demikian cara berjalan masuknya, begitu pula cara Gus Miek meninggalkan kubur Mbah Sholeh. Dengan berjongkok, dia berjalan mundur, dengan dua tangan mengatup di depan hidung. Seolah tidak berani membelakangi pusara Mbah Sholeh Darat.
“Pokoknya cara ziarah Gus Miek persis pisowanan kepada Sultan Mataram,” terang Pak Totok maupun Agus Tiyanto.
Tak betah dengan rasa penasaran, Pak Totok dan sahabat-sahabatnya, para Sarkub Semarang bertanya ke Gus Miek pada suatu kesempatan jumpa di makam Bergota. “Nuwun sewu, Gus. Jenengan kok cara ziarahnya seperti sowannya kawula kepada raja, niku pripun?”
“Saya itu setiap hendak ziarah di makam Mbah Sholeh Darat, beliau sudah berdiri di atas pusaranya menyambut saya. Sejak saya berjalan kaki dari undak pertama komplek makam, Mbah Sholeh sudah melambaikan tangan ngawe-awe saya,” jawab Gus Miek ketika itu.
Kiriman Yai Muhsinin
Posting Komentar