Biografi KH. Abdullah Syathori Arjowinangun Cirebon
KH. Abdullah Syathori – selanjutnya disebut Mbah Kyai Syathori – lahir pada tahun 1905 di dusun Lontang Jaya, desa Panjalin, Majalengka. Tiga Km sebelah barat Babakan Ciwaringin Cirebon. Meski tidak diketahui secara pasti tanggal dan bulan keahirannya, beberapa sumber menyebutkan beliau lahir pada hari Sabtu, sehingga beliau mendapat julukan pada waktu kecil, yaitu ‘tunen’ merupakan kependekan dari ‘metu sabtu puput senen’. Mbah Kyai Syathori terlahir dari keluarga ulama dan bangsawan. Darah ulama mengalir dari jalur ayahnya KH. Sanawi bin Abdullah bin Muhamad Salabi dari Lontang Jaya. KH. Sanawi adalah seorang ulama penghulu yang merintis berdirinya Pondok Pesantren Dar Al-Tauhid dengan mendirikan langgar (musholla). Meski perpindahan domisili beliau ke Arjawinangun belum di ketahui secara pasti, akan tetapi dari hipotesa yang berdasarkan pekerjaan, beliau berpindah karena tugas seorang penghulu sementara.
KH. Abdullah bin KH. Hasanuddin (KH. Muhammad Salabi) kakek mbah kyai Syathori adalah sosok ulama dan pejuang di zamannya dalam mengusir penjajah, terutama ketika terjadi ‘Perang Kedongdong’. KH. Abdullah dan beberapa para kyai lain turut terjun ke medan peperangan, meski banyak yang gugur namun KH. Abdullah terhitung tokoh ulama yang selamat.
Dari jalur ibu, mbah kyai Syathori merupakan ulama berdarah bangsawan. Ibundanya, Nyi Hj. Arbiyah putri kyai Abdul Aziz bin Arja’in adalah keturunan Sultan Banten dari Sura Manggala yang memerintah kesultanan Banten pada tahun 1808. Dan pada ujung silsilah mbah kyai Syathori bertemu dengan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).
Mbah Kyai Syathori hidup dalam suasana keagamaan dan displin pendidikan ilmu yang tinggi. Berkat kecerdasan dan didikan orang tuanya, mbah kyai Syathori telah mampu menghafal Juz ’Amma dengan fasih. Seain dikenal sebagai anak yang cerdas dan rajin belajar, mbah kyai Syathori kecil juga dikenal sebagai anak periang dan suka berolahraga, khususnya sepak bola.
Riwayat Pendidikan Mbah Syathori
Menginjak usia remaja, orang tua mbah kyai Syathori mengirimkannya ke beberapa pesantren untuk menimba ilmu pengetahuan agama. Untuk pertama kalinya, mbah kyai Syathori menimba ilmu di pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon, khususnya kepada kyai Ismail bin Adzro’i bin Nawawi dan juga kepada kyai Dawud, murid kyai Khalil Bangkalan.
Setelah dari Babakan, mbah kyai Syathori menimba ilmu di pesantren Ciwedus, Cilimus Kuningan, di bawah asuhan KH. Sobari (1916), yang juga murid kyai Khalil Bangkalan. KH. Sobari adalah ulama yang kharismatis pada zamannya, banyak ulama Jawa Barat yang belajar kepadanya. Selain mbah kyai syathori, muridnya yang lain adalah KH. Sanusi yang kemudian menjadi ulam kharismatis di babakan ciwaringin dan KH. Abdul Halim. Mbah kyai Syathori sangat mengagumi dan terpengaruh oleh KH. Sobari, terutama dalam melantunkan lagu-lagu barzanji (marhabanan) yang dilakukan secara ekspresif dan juga melalui sikap mencintai serta menghormati keluarga dan keturunan Nabi Muhammad SAW.
Merasa tidak puas hanya belajar di Pesantren Cirebon dan sekitarnya, mbah kyai Syathori melanjutkan belajar di Jamsaren Solo, asuhan kyai Idris murid kyai Sholeh N’darat Semarang. Secara bersamaan, mbah kyai Syathori juga sekolah di Mambaul ‘Ulum yang terletak di Kauman dekat Keraton Solo, Jawa Tengah. Madrasah ini didirikan atas kerjasama kolonial dengan Keraton Surakarta Hadiningrat, dengan tujuan meluluskan calon ulama sekaligus juga penghulu.
Di Jamsaren Solo inilah karakter keilmuan dan ‘kealiman’ mbah kyai Syathori mulai terbentuk. Kyai Idris di kenal sebagai kyai spesialis dalam bidang ilmu fiqh (Islamic Law) dan Bahasa Arab. Dari kyai Idris-lah, mbah kyai Syathori banyak belajar dan rajin ngaji, menghafal, serta muthala’ah berbagai kitab. Bangunan pengetahuan (Epistemologi keilmuan) KH. A. Syathori mulai terbentuk di sini.
Adapun dari madrasah Mambaul ‘Ulum Solo, mbah kyai Syathori sebenarnya mendapatkan ijazah sekolah formal. Namun di kemudian hari ijazah ini sengaja beliau bakar. Ini dilakukan dengan tujuan agar tidak mengurangi keikhlasannya dalam mencari dan mengembangkan ilmu-ilmu keislaman. Mbah kyai Syathori khawatir dengan ijazah itu karena niat tulusnya dalam mencari dan mengembangkan ilmu menjadi goyah dan bergeser.
Selanjutnya mbah kyai Syathori belajar di Pesantren Tebuireng yang waktu itu diasuh oleh Hadratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, murid istimewa kyai Khalil Bangkalan. Selain dikenal sebagai pendiri NU, mbah Hasyim juga dikenal sebagai tokoh pembaharu pendidikan Pesantren. Selain mengajarkan ilmu agama dalam Pesantren, mbah Hasyim juga mengajar para santri membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato. Meski sempat mendapat kecaman dari kolonial, Pesantren Tebuireng menjadi masyhur ketika para santri angkatan pertamanya berhasil mengembangkan pesantren di berbagai daerah.
Di Pesantren mbah Hasyim inilah Mbah Kyai Syathori memiliki kesempatan langsung untuk belajar dan memperkaya kajian dan bacaan keilmuan. Kitab tafsir besar seperti Tafsir Baidlawi dan kitab-kitab yang dikembangkan di Makkah pada waktu itu dikenalkan dan dikaji di pesantren ini. Sebagai kitab yang digunakan sebagai pegangan mengaji di pesantren ini, sehingga memiliki sanad yang langsung (muthasil) sampai kepada penulisnya (Mushanif). Dalam hal ini, mbah Hasyim mengijazahi mbah kyai Syathori dengan kata-kata “ijazah ammah wa muthlaqah tammah’’ yang tertulis dalam kitab al-Kifayah al-Mustafid dengan maksud menerangkan sanad kitab karya KH. Mahfudz Termas.
Selain belajar, mengaji, dan muthala’ah di pesantren Tebuireng, mbah Kyai Syatori juga di percaya Mbah Hasyim untuk mengajar Alfiyah ibn Malik. Di antara santri yang mengaji padanya adalah KH. Muhammad Ilyas, mantan Mentri Agama pada zaman Orde Lama, dan putra gurunya sendiri yang juga mantan mentri agama RI, yakni KH. Wahid Hasyim bin KH. Hasyim Asy’ari. Mbah Hasyim senang dan kagum dengan cara mengajar mba kyai Syathori. Hingga dalam suatu kesempatan mbah Hasyim berkata di hadapan para santri: “Arek-arek Cirebon, Indramayu lan liyan-liyane, yen ora bisa belajar maring aku, cukup kae karo Syathori”.
Tidak hanya demikian, Mbah Kyai Syathori pun berniat belajar ke guru dari guru-gurunya, yaitu Kyai Khalil Bangkalan. Mbah kyai Syathori sempat bertemu pada pengajian pasaran bulan ramadhan di pesantren Madura. Saat itu, kyai Khalil membaca do’a, para santri termasuk Mbah Kyai Syathori serentak mengamininya. Kemudian Mbah Kyai Syathori bertekad akan mengikuti pegajian Kyai Khalil pada bulan Syawal berikutnya. Namun sebelum Syawal itu tiba, Mbah Kyai Khalil Bangkalan yang dikenal sebagai wali Madura Jawa itu berpulang ke rahmatullah pada tahun 1925.
Mbah Kyai Syathori memang sangat mengagumi Kyai Khalil Bangkalan. Mbah Kyai Syathori menyatakan bahwa dalam tubuh dan perut gemuk Mbah Khalil, kalau dibedah, isinya nadzam Burdah dan Alfiyah. Kyai Khalil memang sejak muda dikenal hafal seribu deret Nadzam Alfiyah ibn Malik dengan sangat baik. Bahkan hafal meski dibaca secara terbalik, dari nadzam akhir secara runtut ke nadzam yang pertama, atau dalam istilah Jawa disebut nyungsang.
Melihat kecerdasan Mbah Kyai Syathori, gurunya Mbah Hasyim Asy’ari bermaksud menikahkannya dengan seorang putrinya. Namun, Mbah Kyai Syathori menghindar dengan bermain bola, suatu olah raga yang tidak disukai Mbah Hasyim. Pada saat yang sama, Mbah kyai Syathori juga telah dijodohkan oleh orang tuanya dengan Ny. Hj. Masturoh binti Adzro’i bin Muhammad Nawawi (Ki Glembo).
Ny. Hj. Masturoh adalah santri putri cerdas yang sejak kecil dibesarkan dan dididik oleh ibunya sendiri yaitu Ny. Hj. Miryati binti H. Said dan juga bersama dengan ayah tirinya, Kyai Rofi’i bin Kyai Nawawi Kali Tengah Karena Ny. Hj. Masturoh ditinggal ayah kandungnya, kyai Adzro’i, sejak kecil. Kyai Adzro’i dan Kyai Rofi’i sediri adalah kakak beradik.
Pernikahan Mbah Kyai Syathori dengan Ny. Hj. Masturoh diduga kuat berlangsung pada tahun 1927. Mbah Hasyim Asy’ari hadir dalam acara akad nikah atas undangan KH. Rofi’i. Setelah melaksanakan akad nikah, atas dorongan orang tua dan mertuanya, Mbah Kyai Syathori pergi ke baitullah untuk menunaikan ibadah haji. Sepulangnya dari menunaikan ibadah haji, pesta pernikahan diselenggarakan secara meriah pada tahun 1928.
Selanjutnya untuk beberapa lama Mbah Kyai Syathori menetap di Kali Tengah Plered Cirebon. Ini dikarenakan selain Mbah Kyai Syathori mengikuti keluarga istrinya di Kali Tengah, juga karena Mbah Syathori mengikuti tradisi kesantrian dan keulamaan di Cirebon. Saat itu ada asumsi kuat bahwa siapapun yang baru menyelesaikan masa belajarnya di Pesantren hendaknya jangan dulu pulang kampung dan mengamalkan ajaranya di tengah masyarakat sebelum belajar kepada Kyai Rofi’i Kali Tengah, yang secara kebetulan ayah tiri dari istrinya. Kyai Rofi’i sendiri saat itu dikenal ahli hikmah, yang membekali para santri dengan berbagai wirid, do’a, dan zikir.
Disamping mempelajari ilmu hikmah kepada Kyai Rofi’i, Mbah Kyai Syatori juga membuka pengajian kitab kuning untuk masyarkat Kali Tengah dan sekitarnya. Sebenarnya tradisi mengajar santri (muruk ngaji) merupakan hal biasa bagi Mbah Kyai Syathori sejak beliau masih belajar di Pesantren, baik di Babakan, Solo, maupun Tebuireng. Akan tetapi, mengajar kitab kuning di Kali Tengah bermakna lain, karena sebagai persiapanya untuk menjadi guru bagi santri dan masyarakat. Adapun di antara kitab yang dibaca Mbah Kyai Syathori kepada para santrinya dan masyarakat. Di antaranya adalah kitab Shahih Bukhari.
Mulai Membangun Pesantren Arjawinangun
Setelah beberapa lama tinggal di Kali Tengah Plered Cirebon, Mbah Kyai Syathori kemudian pindah ke daerah asalnya yaitu Arjawinangun Cirebon. Perpindahan ini dimungkinkan karena dua hal. Pertama, karena permintaan ayahandanya KH. Sanawi agar beliau mengembangkan ilmu di daerah asalnya. Kedua, karena Kali Tengah Plered pada dasarnya adalah daerah perdagangan dan bisnis, sementara pribadi Mbah Kyai Syathori tidak terlalu cenderung pada bisnis. Karena itu, Mbah Kyai Syathori memilih Arjawinangun karena kecenderungannya pada pengembangan keilmuan. Ini terjadi pada tahun 30-an.
Mbah Kyai Syathori, pendiri dan pengasuh Pesantren Arjawinangun, adalah sosok Kyai yang tidak terlepas dari karakter dan prilaku khas para kyai Pesantren. Beliau bukan hanya kyai Pesantren yang bergelut dengan lembaran-lembaran kitab kuning, tetapi juga aktif dalam ranah sosial dan politik dengan telibat aktif di NU antara tahun 50-an hingga 70-an. Mbah Kyai Syathori pernah menjadi Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Beliau juga dikenal dengan ide-ide dan langkah progresifnya. Sebut saja sikap yang diambilnya dalam menghadapi persoalan pada saat itu, di mana orang diharamkan menulis Al-Qur’an dengan kapur tulis karena takut debunya diinjak-injak saat dihapus. Hampir seluruh Kyai Cirebon mengharamkan menulis Al-Qur’an dengan kapur tulis. Namun mbah Syathori menghalalkan dan melakukannya.
Selain itu, Mbah Kyai Syathori juga dikenal sebagai kyai kharismatik, santri kesayangan, dan santri teladan Mbah Hasyim Asy’ari. Karena itulah, Mbah Kyai Syathori sangat dihormati, disegani, dan menjadi rujukan umat dan birokrasi negara dalam hal-hal yang terkait dengan hukum syara’. Menurut para santrinya, masyarakat sangat segan dan hormat kepada beliau.
Mbah Kyai Syathori juga melakukan langkah-langkah khusus, yang sekarang ini bisa disebut Pemberdayaan Perempuan. Ini dilakukan dengan menyelenggarakan pengajian keagamaan secara khusus bagi perempuan. Mbah Kyai Syathori dikenal sangat tekun dan teliti dalam memperhatikan, memelihara, dan mengembangkan pengajian dan madrasahnya. Jika memiliki jadwal mengajar, beliau tidak pernah meninggalkan kelas, sampai para sisiwanya memahami dengan baik apa yang disampaikannya.
Beliau mendedikasikan seluruh hidup dan waktunya untuk mengajar dan mengembangkan Pesantren. Setiap waktu shalat, beliau selalu memimpin para santrinya berjama’ah, kecuali ada udzur. Sehabis jama’ah Subuh, beliau mengajarkan Al-Qur’an kepada para santrinya sampai pukul 06.30. Selanjutnya, dari 08.00 – 10.00 beliau mengadakan pengajian kitab dengan pola madrasah untuk santrinya yang dewasa. Setelah itu, beliau mengadakan pengajian kitab dengan pola yang sama untuk para santri yang kecil hingga pukul 12.00.
Setelah istirahat sejenak, beliau memimpin shalat Dzuhur. Mulai sekitar pukul 13.00, kegiatan beljar mengajar bagi para santri dilakukan lagi sampai pukul 17.00. Setelah jama’ah Maghrib, beliau kembali mengadakan pengajian kitab kuning sampai pukul 20.00. Waktu yang tersisa dipergunakan untuk istirahat, kadang untuk menerima tamu.
Di usia 50-an, Mbah Kyai Syathori semakin istqomah hidupnya. Kegiatannya tidak lain di seputar mushalla, Pesantren. Dan setiap habis sholat Jum’at, beliau berziarah ke maqbarah ayahnya, KH. Sanawi. Setelah itu, beliau mampir ke rumah-rumah penduduk, untuk sekedar berbincang-bincang ringan, menyelami dan melayani masalah yang mereka hadapi.
Pada Hari Wafatnya
Tepat pada hari Kamis, tanggal 6 Februari 1969 M atau 19 Dzulqa’dah, Mbah Kyai Syathori berpulang ke Rahmatullah. Hari itu adalah hari berkabung bagi masyarakat Arjawinangun khususnya, dan masyarakat muslim Cirebon pada umumnya. Kepulangan beliau karena penyakit jantung yang dideritanya. Masyarakat sangat kehilangan karena wafatnya.
Banyak kisah menarik disebutkan seputar wafatnya Mbah Kyai Syathori, diantaranya adalah saat menjelang pemakaman beliau. Saat itu Arjawinangun bagai lautan manusia. Semua masyarakat mengungkapkan kesedihannya dengan menghantarkan kyai tercinta ke maqbarah. Sepanjang rumah Mbah Kyai Syathori hingga ke maqbarah Kiruncum sekitar 1 Km dipenuhi manusia yang mengantarkan jenazah.
Lembaga pemerintahan, institusi pemerintah dan swasta di Arjawinangun dan Junjang pada hari itu meliburkan diri, turut berduka atas wafatnya Mbah Kyai Syathori. Bukan hanya itu, santri dan masyarakat mendo’akan beliau dengan membaca Al-Qur’an di maqbarah selama 40 hari secara terus menerus.
Ada kesaksian yang unik yang di ceritakan H. Sayidi, salah seorang staf pengajar pesantren saat masih dipimpin Mbah Kyai Syathori. Menurutnya tanda-tanda Mbah Kyai Syathori wafat jelas diisyaratkan oleh Mbah Kyai Syathori sendiri. Dengan beberapa indikasi:
(1) Setengah bulan sebelumnya, Mbah Kyai Syathori minta orang-orang dari desa Gintung untuk datang dan melakukan bersih-bersih di pesantren dan rumah pengasuh.
(2) Ini dilakukan dengan alasan bahwa beliau akan kedatangan tamu, manusia yang sangat banyak jumlahnya.
(3) Tiga hari sebelum wafat, Mbah Kyai Syathori menyatakan bahwa beliau akan membangun Pesantren yang tidak ada di dunia ini.
(4) Pagi-pagi sekali sekitar pukul 06.00 WIB pada hari wafatnya Mbah Kyai Syathori menyatakan bahwa dirinya akan tidur untuk selama-lamanya. Sekitar pukul 11.00 WIB kemudian beliau pulang ke Rahmatullah.
H. Sayidi juga menceritakan bahwa banyak kyai-kyai Cirebon dan luar Cirebon untuk berta’ziyah, mensholatkan, dan mengantarkan ke maqbarah. KH. Sanusi dari pesantren Bababkan Ciwaringin datang dengan para santrinya dengan berjalan kaki.
Rombongan ta’ziyah dari Pesantren Buntet dipimpin KH. Hawi. Setelah selesai melaksanakan sholat jeazah untuk almaghurlah Mbah Kyai Syathori, KH. Hawi berbicara di hadapan santri dan para hadirin semua. Beliau menyatakan bahwa : “Kyai Syathori ini keliahatannya saja meninggal, tetapi sesungguhnya masih hidup “bal ahya’un ‘inda rabbikum”. Buktinya apa? Lah, wong aku salam kok Kyai Syathori malah menjawabnya. Mayit mana yang bisa menjawab salam? Al-marhum ini sungguh bukan manusia biasa seperti kita-kita ini”. Demikian Wallahhu A’lam.
Silsilah K.H. A. Syathori.
Sunan Gunung Jati Cirebon
Maulana Hasanudin
Maulana Yusup
Muhammad
Sultan Al-Makhir
Sultan Abdul Ma’ali
Sultan Ageng Tirtayasa
Sultan Abu Nasiri
Sultan A. Mahasyim
Sultan M. Syifa
Sultan Kuh-Arif
K. Agung Sanawi
Kyai Sholeh Penghulu Cirebon
Kyai Arja’in Penghulu Kesepuhan
Abdul Aziz Penghulu Kesepuhan
Hj. Arbiyah binti Kyai Abdul Aziz (menikah) KH. Sanawi bin Abdullah bin Muhamad Salabi.
A. Syathori (di lahirkan pada tahun 1905, di dusun Lontang Jaya, desa Panjalin, kabupaten Majalengka)
Sumber :
– Dzikroyat, cetakan ke-29 tahun 1435 H/2014 M.
– Buku Pemandu Kitab Kuning 2007, penulis Prof. DR. A. Chozin Nasuha, M.A
Kiriman Gus Muhammad Abid Muaffan
Posting Komentar