“Wa
laqod kholaqnal insana min sulalatin min thin,” Dan
sungguh, Kami (Allah) telah menciptakan manusia dari saripati (berasal) dari
tanah. Membaca sebuah ayat yang berada di surah al mu’minun itu mengingatkan
saya pada jati diri manusia yang sesungguhnya, tanah. Tanah adalah benda
kecoklatan –ada juga yang hitam, merah, dan kuning– yang memiliki banyak
kegunaan. Seperti menumbuhkan tanaman, sumber penyimpanan air, hingga bahan
baku pembuatan aneka ragam kerajinan tangan. Tanah juga memiliki fungsi untuk
menjaga keseimbangan alam dan sebagai rumah bagi para hewan. Betapa banyak
kegunaan tanah hingga saya tak bisa menyebutkan semuanya.
Bagi yang mempercayai asal-muasal manusia dari
tanah, tidakkah kita berfikir bahwa hingga saat ini kita sudah banyak melanggar
kodrat sebagai manusia-tanah. Banyak diantara kita, mungkin saya sendiri sudah
tidak memiliki kemanfaatan. Entah itu dengan sesama manusia ataupun dengan
alam. Kita sudah menyalahi kodrat kita sendiri, miris.
Tanah
Tanah adalah benda yang tempatnya di
bawah. Bahkan ketika ada tanah yang naik ke atas meja, kita kemudian membersihkannya.
Diturunkanlah kembali tanah itu ke bawah. Tanah selalu menerima apapun yang
dilakukan pemiliknya, mau dibentuk seperti apapun, mau dibuat kerajinan atau
semacamnya, tanah tidak protes. Tanah tidak pernah marah jika diinjak-injak,
diludahi, dikencingi, tapi tanah tetap memberikan yang terbaik kepada kita.
Tanah tetap menumbuhkan tanaman, buah-buahan, dan menyimpan air. Tanah sangat hebat
dalam memendam bau busuk. Bau mayat yang sudah membusuk pun akan hilang jika dikubur
ke dalam tanah. Tanah memiliki tugas untuk menjaga keseimbangan alam, juga
sebagai ekosistem bagi para makhluk Tuhan.
Manusia
Melihat sifat-sifat tanah, manusia, dan
khususnya saya sendiri harusnya bisa meneladaninya dengan cara yang serupa.
Tanah tempatnya di bawah, begitu juga seharusnya manusia. Manusia harusnya di bawah,
rendah, tidak sombong. Jadi, manusia (termasuk saya) tidak boleh dan tidak bisa
memiliki sifat sombong, karena hanya Tuhan yang memiliki lisensi takabbur. Tanah selalu menerima apapun
yang diinginkan majikannya. Manusia juga harus seperti itu, menerima apapun
yang diberikan dan ditakdirkan Sang Pencipta, dan kemudian berusaha
sebaik-baiknya. Tanah juga bisa menghilangkan bau busuk. Seyogyanya, manusia
juga harus begitu, meutupi aib saudaranya dalam-dalam. Kemudian membantunya
diam-diam. Tanah tak pernah marah ketika kita kencing, meludah, dan
menginjak-injaknya. Manusia harus bisa memaafkan, tidak memiliki rasa dendam
meskipun sudah disakiti berkali-kali. Bahkan manusia harus memberikan yang
terbaik kepada sesamanya, termasuk kepada orang yang menyakitinya. Seperti
tanah yang selalu menumbuhkan buah yang segar, padi yang disulap ibu-ibu kita
menjadi nasi, dan air untuk menghilangkan dahaga. Tanah tak pernah menolak
memberikan itu semua. Selain itu, manusia yang dikatakan dalam beberapa ayat
sebagai wakil Tuhan, Khalifah, sudah seharusnya menjaga keseimbangan alam. Baik
alam sosial-masyarakat, maupun lingkungan tempat tinggal kita. Namun, sebagai
seorang Khalifah, kita masih sering membuang sampah sembarangan, tidak
mempedulikan lingkungan sekitar, bahkan tidak peduli bahwa tempat tinggal
saudara kita di berbagai tempat sedang diusik.
Manusia-Tanah-Api-Setan
Tanah juga seringkali memiliki hubungan yang
erat dengan api. Seperti genting, ia adalah perpaduan antara api dan tanah.
Sebuah tanah yang dibentuk, ditempa, dan dibakar hingga menjadi keras. Tanah
jenis ini sedikit berbeda. Jika tadi saya sebutkan tanah itu tempatnya di
bawah, untuk yang ini tempatnya ada di atas. Mengatapi setiap rumah tempat
tinggal kita. Jadi, tanah yang sering berkumpul dan berteman dengan api, maka ia
bisa naik ke atas. Tapi tak selamanya, jika genting itu rusak, toh juga akan
diturunkan, lebur menjadi tanah lagi. Namun, tanah yang ini sudah tidak
memiliki banyak kemanfaatan. Tanah hasil leburan genting-genting rusak ini
tidak bisa menumbuhkan tanaman lagi.
Manusia yang sering berkumpul dengan api
(read: setan) juga akan mengalami hal yang sama. Kita bisa menjadi besar hati,
merasa paling pintar, merasa paling benar, dan perasaan-perasaan tinggi hati
lainnya. Kita dibuatnya mabuk akan ketinggian, hingga lupa bahwa sejatiinya kodrat
kita berada di bawah. Jika memang benar kita terbius olehnya, api, keleburan
kita menjadi tanah yang tidak bermanfaat hanya tinggal menunggu waktu. (Mirza Iqbal)
Posting Komentar