KITAB MINHAJUL 'ABIDIN


📚📚📚
BAB IV | TAHAPAN GODAAN | BAGIAN 7 DARI 16

Kitab: Minhajul ‘Abidin
Oleh: Imam al-Ghazali

Penerjemah: Moh. Syamsi Hasan
Penerbit: Penerbit Amalia Surabaya

Jika anda berkata: “Jelaskanlah kepada kami akan arti tafwidh dan hukumnya?”

Ketahuilah, bahwa untuk menjelaskannya diperlukan dua pasal, yaitu:

1. Kedudukan tafwīdh dan hukumnya.

2. Arti tafwīdh, batasan dan kebalikannya.

Kedudukan Tafwīdh

Ketahuilah bahwa materi yang dikehendaki itu, meliputi tiga macam, yaitu:

1. Murād (maksud) yang anda ketahui dengan yakin, bahwa ia adalah rusak dan jahat, tidak ada keraguan sama sekali dalam hal ini, seperti neraka dan siksa. Juga dalam perbuatan seperti kufur, bid‘ah dan maksiat. Maka tidak ada alasan untuk memberikan jalan terhadap kehendak semacam itu.

2. Murād yang anda ketahui secara pasti, bahwa murād itu bagus, seperti surga, iman, sunnah dan lain sebagainya.

Maka hendaklah anda menetapkan keinginan anda yang menguntungkan bagi anda itu.

Dalam hal ini, anda tidak boleh bersikap tafwīdh, karena tidak ada yang mengkhawatirkan dan tidak diragukan lagi bahwa hal itu adalah baik dan bagus bagi diri anda.

3. Murād yang tidak anda ketahui dengan yakin, bahwa padanya ada kebaikan atau mengakibatkan kerusakan, seperti perbuatan-perbuatan sunnah (nawāfil) dan perkara yang mubah. Murād inilah yang menjadi sasaran tafwīdh. Terhadap murād ini, anda tidak boleh menginginkannya secara pasti, melainkan harus anda sertai, jika Allah menghendaki (in syā’ Allāh) dan dengan syarat baik. Jika anda mengikat keinginan anda dengan istitsnā’ (kecuali bila Allah menghendaki), maka itulah yang dinamakan tafwīdh. Tetapi jika anda menginginkan tanpa istitsnā’, itulah dia ketamakan yang dicela dan dilarang.

Dengan demikian, sasaran tafwīdh adalah setiap murād yang mengkhawatirkan, yaitu setiap sesuatu yang tidak meyakinkan anda akan kebaikannya.

Makna Tafwīdh.

Adapun mengenai makna tafwīdh, salah seorang guruku menyatakan bahwa tafwīdh ialah meninggalkan pilihan perkara yang mengandung kekhawatiran dan pasrah kepada Tuhan yang menentukan pilihan terbaik yang mengetahui akan kemaslahatan makhluk-Nya. Tiada Tuhan selain Allah.

Syaikh Abū Muḥammad as-Sijzī mendefinisikan bahwa: “Tafwīdh adalah meninggalkan ikhtiyār anda pada perkara yang mengkhawatirkan, lalu anda menyerahkannya kepada Allah yang mempunyai pilihan, supaya Ia memilihkan apa yang terbaik buat anda.”

Syaikh Abū ‘Amr – raḥimahullāh – berkata: “Tafwīdh adalah meninggalkan keinginan (thama‘). Dan thama‘ ialah keinginan akan sesuatu yang mengkhawatirkan, dengan menetapkannya sebagai pilihan.”

Itu semua adalah pendapat para syaikh. Sedangkan menurut pendapatku: “Tafwīdh adalah menginginkan pemeliharaan Allah terhadap apa yang menjadi kemaslahatan bagi anda, dalam perkara, di mana anda tidak bisa merasa aman dari perkara yang dikhawatirkan.

Lawan Tafwīdh.

Lawan dari tafwīdh adalah thama‘. Sementara thama‘ itu secara garis besar berlaku atas dua segi:

Pertama: Thama‘ yang semakna dengan raja’ (harapan). Yaitu, ketika anda mengharapkan sesuatu yang tidak mengandung kekhawatiran, atau ada kekhawatiran tetapi dengan menyertakan istitsnā’ (illā an yasyā’ Allāh/kecuali bila Allah menghendaki). Maka yang demikian itu, dipuji dan tidak tercela. Sebagaimana firman Allah s.w.t.:

وَ الَّذِيْ أَطْمَعُ أَنْ يَغْفِرَ لِيْ خَطِيْئَتِيْ يَوْمَ الدِّيْنِ

Artinya:

“Dan yang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat.” (asy-Syu‘arā’: 82).

Dan firman Allah s.w.t.:

إِنَّا نَطْمَعُ أَنْ يَغْفِرَ لَنَا رَبُّنَا خَطَايَانَا

Artinya:

“Sesungguhnya kami amat menginginkan bahwa Tuhan kami akan mengampuni kesalahan kami.” (asy-Syu‘arā’: 51).

Bagian ini, tidak termasuk dalam kategori permasalahan yang kita bahas.

Kedua: Thama‘ madzmūm (tamak yang tercela). Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

إِيَّاكُمْ وَ الطَّمَعَ فَإِنَّهُ فَقْرٌ حَاضِرٌ

Artinya:

“Janganlah anda thama‘, sebab thama‘ adalah kefakiran yang nyata.”

Ada yang mengatakan: “Kerusakan dan kehancuran agama disebabkan oleh sifat thama‘, sedangkan yang menjadi penyangga kekuatan agama adalah sifat wara‘.

Guruku – Abū Bakr al-Warrāq – berkata: “Thama‘ yang tercela itu ada dua macam, yaitu ketenangan hati pada manfaat yang diragukan dan menetapkan keinginan akan sesuatu yang mengkhawatirkan.”

Keinginan semacam ini merupakan bandingan tafwīdh, bukan yang lain. Pahamilah dengan baik, apa yang kuterangkan itu.

Benteng Tafwīdh.

Sedangkan benteng tafwīdh adalah mengingat-ingat kekhawatiran perkara yang diinginkan dan kemungkinan adanya kebinasaan dan kerusakan dalam perkara itu.

Sementara benteng yang dapat membentengi tafwīdh adalah ingat akan keterbatasan kemampuan dan kelemahan anda dalam melakukan pemeliharaan dan penjagaan dari berbagai perkara yang mengkhawatirkan, dan kelemahan untuk mencegah terjatuh dalam kekhawatiran itu, sebab kebodohan, kelalaian, dan kelemahan anda.

Dengan mengingat-ingat akan kedua hal tersebut dapat mendorong diri anda untuk menyerahkan segala urusan anda kepada Allah dan menjaga diri dari memastikan berbuat sekehendak anda, serta enggan menginginkannya, kecuali dengan syarat akan adanya kebaikan dan kemaslahatan. Demikianlah keterangan kami, pahamilah, semoga anda mendapatkan petunjuk.

Jika ada yang bertanya kepada anda: “Apakah kekhawatiran yang mewajibkan untuk bersikap tafwīdh kepada Allah dalam berbagai perkara?”

Ketahuilah, bahwa secara garis besar, khathar itu ada dua, yaitu:

1. Khathar keragu-raguan, yaitu bahwa apa yang anda inginkan itu akan terwujud ataukah tidak, apakah anda bisa mencapainya atau tidak. Yang demikian ini membutuhkan istitsnā’, dan masuk dalam kategori bab niat atau angan-angan (al-amalu).

2. Khathar yang rusak, yaitu suatu perbuatan yang tidak anda yakini akan adanya kemaslahatan bagi diri anda. Inilah khathar yang perlu tafwīdh.

Mengenai pengertian khathar, terjadi perbedaan ibarat di kalangan para imam. Ada yang berpendapat bahwa khathar dalam melakukan perkara yang diinginkan itu ialah seandainya tidak melakukannya bisa selamat, tetapi mungkin pula dengan mengumpuli (melakukannya) akan terjatuh ke dalam dosa. Iman, istiqāmah dan sunnah tidak mengandung kekhawatiran (khathar). Karena, tanpa iman sama sekali, tidak mungkin akan selamat. Istiqāmah tidak akan berkumpul berbarengan dengan dosa. Maka, penetapan kehendak akan keimanan dan istiqāmah itu sah dan merupakan tindakan yang benar.

Sang guru –raḥimahullāh – berkata: “Khathar dalam perbuatan akan sesuatu yang mungkin disusul oleh sesuatu yang datang kemudian yang akan menyita konsentrasi dan kesibukannya. Sementara sesuatu yang terakhir itu, lebih utama daripada melanjutkan yang pertama.”

Melakukan apa yang diinginkan, yaitu perbuatan yang mungkin didatangi suatu perkara yang seandainya orang sibuk dengan perkara yang datang kemudian itu, adalah lebih utama daripada melaksanakan perbuatan tersebut.” Yang demikian itu, terjadi pada hal-hal yang mubah, sunnah dan fardhu.

Coba perhatikan, bagaimana pendapat anda, seandainya ada orang yang hendak mengerjakan shalat, sedangkan waktu shalat tinggal sedikit, lalu tiba-tiba ada rumah yang terbakar atau ada orang tenggelam yang mungkin bisa ia selamatkan. Dalam keadaan seperti itu, mengalihkan kesibukan dengan berusaha menyelamatkan orang yang tenggelam lebih utama daripada meneruskan kesibukan mengerjakan shalat.

Dengan demikian, tidak sah menetapkan kehendak dengan pasti terhadap perkara yang mubah, sunnah dan sebagian besar dari yang fardhu.

Jika ditanyakan: “Bagaimana bisa dianggap sah, Allah memfardhukan suatu perkara atas hamba-Nya, dan mengancam bagi hamba yang meninggalkannya. Sementara tidak ada kebaikan baginya dalam melakukan perkara itu?

Ketahuilah, guruku – raḥimahullāh – berkata: “Apabila Allah s.w.t. memerintahkan suatu perkara, maka di dalamnya pasti mengandung kebaikan bagi orang yang diperintahkan, kalau tidak ada sesuatu yang datang menghalangi.”

Allah tidak mempersempit seorang hamba karena menjalankan kefardhuan. Tidak ada alasan baginya untuk meninggalkan kefardhuan karena kefardhuan itu mengandung kebaikan bagi dirinya. Tetapi, terkadang Allah menjadikan sebab yang membuatnya ‘udzur, sehingga ia dihadapkan pada dua pilihan perintah, yang salah satu di antaranya lebih utama, daripada mengerjakan yang lain, sebagaimana yang telah kami sebutkan.

Dalam kondisi demikian, ketika seorang hamba dihadapkan pada dua alternatif pilihan, yang membuatnya beralih dari satu kefardhuan karena adanya ‘udzur, pada perintah lain yang lebih utama, dia mendapatkan pahala. Tetapi bukan lantaran meninggalkan fardhu, melainkan karena melakukan fardhu kedua yang lebih utama daripada yang pertama.

Aku pernah mendengar al-Imām berkata mengenai masalah ini: “Segala yang difardhukan Allah kepada hamba-Nya, seperti shalat, puasa, haji dan sebagainya, pasti mengandung kemaslahatan bagi hamba, dan menghendakinya secara pasti, adalah sah.”

Selanjutnya beliau mengatakan: “Terhadap hal itu kita bersepakat pendapat. Jadi, tinggal perkara yang mubah dan perbuatan sunnah, dalam hukum ini. Pahamilah benar-benar hal ini, karena merupakan permasalahan yang rumit dan amat dalam. Kepada Allah, kita memohon petunjuk.

Kiriman Gus Wakit Ibnu Yusuf - Kader2 NU se-Nusantara
Label:

Posting Komentar

[blogger]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget