KH. Agoes Ali Masyhuri Sidoarjo (Gus Ali)
Kiai Agoes Ali Masyhuri lahir di Sidoarjo pada 3 September 1958 dari pasangan kiai Mubin dan nyai Amnah. Kiai yang lebih masyhur dipanggil dengan nama Gus Ali ini kalau dirunut silsilah beliau ke atas akan ketemu dengan kiai Dasuki, kemudian kiai Misbah (mbah Singapur) bin kiai Muhdor. Kiai Muhdor atau mbah Muhdor ini juga merupakan sosok buyutnya mbah Maimun Zubair (mbah Moen) Sarang. Bahkan meski umur Gus Ali terbilang lebih muda dari pada mbah Moen namun mbah Moen memanggil “paman” pada Gus Ali.
Gus Ali mempunyai duabelas anak dari pernikahannya dengan bu nyai Qomariyah. Keduabelas anaknya tersebut dipercayakan pendidikannya ke berbagai pesantren, mulai dari Pesantren Dalwa milik Habib Baharun Pasuruan, Mambaus Sholihin-nya kiai Masbuhin Gresik, Lirboyonya Mbah Yai Karim, Salafiyah Putri-nya Ustaz Abdul Rochim Bangil, Queen al-Falah-nya kiai Munif Djazuli Ploso, Darut Taqwa-nya kiai Sholeh Ngalah hingga Amanatul Ummah-nya kiai Asep Surabaya.
Pendidikan Gus Ali sendiri dimulai dari lembaga pendidikan di sekitar rumahnya daerah Tulangan, utamanya lingkungan keluarganya sendiri. Beliau juga sempat kuliah di UIN Sunan Ampel Surabaya yang pada saat itu masih bernama IAIN namun tidak sampai tamat. Beliau lebih identik sebagai santri kalong sebab tidak pernah mondok mukim lama di suatu pesantren tertentu. Sanad ilmu dan doa beliau dapatkan hampir dari semua pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah dengan kiai-kiai karismatiknya. Ziarah kubur pada para auliya’, sowan dan ngalap keberkahan pada para kiai adalah aktifitas yang gemar dilakukan oleh beliau, utamanya kepada mbah yai Abdul Hamid Pasuruan. Khusus terkait ziarah kubur, bagi beliau jika ingin ziarah wali limo beliau cukup ke Sunan Ampel, Sunan Giri, Habib Abu Bakar Assegaf Gresik, Mbah Sunan Mbejagung dan Sunan Bonang. Dalam hal ini beliau pernah berkata: “cukup nak para Jenderal e ae”.
Ada cerita saat di mana penulis masuk ke toko kitab Al-Hidayah jl. Sasak di area Ampel Surabaya untuk membeli kitab bagi para guru SMA Progresif Bumi Shalawat khataman di bulan Ramadan. Saat itu penulis dan dua rekan lainnya masih memakai seragam guru SMA Progresif Bumi Shalawat yaitu hijau dengan bawahan hitam. Salah satu pegawai toko kitab mengira bahwa kami adalah anggota Anshor NU, namun kami membetulkan bahwa kami dari pesantrennya Gus Ali. Pegawai tersebut lalu bercerita bahwa ia dulu adalah salah satu santri khadimnya mbah yai Hamid Pasuruan dan sering sekali mendapati Gus Ali datang ke ndalem mbah yai untuk sekedar ikut mencuci gelas-gelas dan piring bekas tamu mulai dari pagi sampai menjelang sore. Lalu saat dirasa sudah mulai petang Gus Ali pamit dan minta berkah doa. Perilaku demikian ini hampir tiap bulan sekali atau dua kali dilakukan oleh Gus Ali.
Abuya sayyid Muhammad Alawi al-Maliki Mekkah juga terbilang guru beliau yang sangat dicintai. Hampir setiap tahun saat umrah atau haji beliau akan sowan ke Rusaifah ndalem Abuya untuk mendapat ilmu dan barokah doa. Seakan menjadi kewajiban bagi beliau ketika menginjakkan kaki ke Arab Saudi adalah 3 tempat, Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Rusaifah Abuya. Diceritakan oleh putra pertama beliau Gus Aria bahwa tanah pertama pesantren Progresif Bumi Shalawat yang ada di Lebo Sidoarjo seluas 4 hektar dibeli dari uang pemberian Abuya. Setiap kali Gus Ali sowan ke Abuya, Abuya selalu memberikan uang pada Gus Ali dan uang itu dikumpulkan oleh beliau hingga dapat membeli tanah pertama pesantren, total luas pesantren sekarang mencapai kurang lebih 16 hektar.
Gus Ali terkenal dengan kecintaannya pada zikir shawalat hingga nama pesantrennya diberi nama “Bumi Shalawat”. Setiap kali menyampaikan ceramah dan pengajian akan diselingi dengan ajakan bershalawat pada baginda Nabi saw. Beliau juga senantiasa mengarahkan pada para santri dan para guru di pesantrennya untuk berzikir shalawat yang beliau susun dalam buku saku kecil, berisi mulai shalawat Fatih, Nariyah, Nuridzzati, Badawiyah Kubro, shalawat Masyisyiyah milik Maulana Abdus Salam bin Masyisy dan seterusnya.
Gus Ali adalah seorang tokoh NU yang mempunyai pengaruh masif di Jawa Timur terutama di Sidoarjo. Beliau termasuk sosok kiai perekat yang dapat mendamaikan konflik-konflik antar kiai utamanya skala Jawa Timur. Beliau tercatat sebagai Wakil Rais PWNU Jatim dan Dai kondang dengan skala Nasional yang video ceramahnya dapat mudah diakses di kanal youtube, instragram dan lainnya. Rutinitas pengajian yang beliau adakan setiap Senin Malam dan Kamis Malam di Masjid Pesantren rerata dihadiri oleh 1000-2000 jamaah dari berbagai daerah, namun khusus Kamis malam biasanya yang hadir lebih sedikit sebab para jamaah yang biasa hadir ada rutinan di desanya masing-masing.
Dalam kesibukannya memenuhi undangan sebagai Dai diberbagai pelosok Jawa Timur dan bahkan di luar Negeri, beliau tak segan menerima para tamu dari berbagai daerah dengan berbagai latar belakang, mulai kelas buruh dan petani sampai dengan menteri dan bahkan Presiden. Tidak sedikit dari isyarat dan arahan beliau dilaksanakan para tamu dan atas izin Allah swt. keluh kesah mereka terselesaikan pasca sowan. Dan yang tak kalah penting dari sisi beliau adalah bahwa beliau masih mampu menyisihkan waktu untuk menulis, sampai saat ini telah ada 5 buku yang telah beliau terbitkan, di antaranya adalah; Suara Dari Langit, Belajarlah Kepada Lebah & Lalat, Titian Allah dan Rasul, Maling Jadi Wali dan lain sebagainya.
Kiriman Gus Fatah Syah - Sarkub Indonesia Barokah
Posting Komentar