Juli 2020


KATA-KATA HIKMAH SANG SUFI, AL–‘ARIF BILLAH MAULANA AL-HABIB LUTFI BIN YAHYA PEKALONGAN

“Rahasia Allah terletak pada makhlukNya.”

“Sesama wali quthub meski memiliki pangkat kewalian yang sama tetapi memiliki sirr atau rahasia yang berbeda. Salah satu hikmahnya adalah agar tidak ada kecemburuan di antara makhluk Allah.”

“Jangan sekali-kali melupakan guru yang telah mengenalkanmu dzahir-dzahir syariat, terlebih guru mursyidmu yang telah membimbingmu menuju Allah. Salah satu sebab kenapa aku memperoleh derajat terhormat saat ini adalah karena aku sangat menghormati guru-guruku.”

“Rizki itu ada dua, Tajrid dan Kasbi. Rizki Tajrid diperoleh tanpa melalui ikhtiar, inilah karunia yang Allah berikan kepada para auliya' (kekasih Allah). Sedang rizki Kasbi didapat melalui proses ikhtiar.”

“Rizki itu ibarat tangki mobil, sudah ada takarannya gak bisa dilebihkan atau dikurangi. Kalau dilebihkan bisa-bisa luber dan kalau dikurangi bisa-bisa pengemudi tidak sampai ke tujuan.”

“Jangan kau akui keilmuan seorang alim yang suka mencerca para auliya’ dan ulama.”

“Qana’ah dan zuhud adalah pakaian tani yang kita gunakan untuk menggarap lahan di sawah, pelindung dari kotoran-kotoran dan lumpur yang bisa menodai tubuh kita dikala menggarap lahan. Begitulah kaum sufi memandang dunia, mereka tetap bekerja, ikhtiar mencari rizki dengan bersikap qana’ah dan zuhud agar kotoran dunia tidak mengotori hati mereka yang bersih.”

“Anda keliru jika menyangka para ulama sufi tidak kaya. Al-Imam Abul Hasan asy-Syadzili memiliki empat ekor kuda paling mahal di masanya, kereta kudanya memiliki dua roda yang dihiasi mutiara dan batu mulia, tapi tidak sedikitpun kemegahan kereta kuda itu mengisi relung hatinya. Bahkan ketika ada orang yang takjub akan kemegahan kereta kudanya dan sangat menginginkan apa yang dimiliki sang sufi, asy-Syadzili lantas memberikan kereta kudanya untuk orang tersebut.”

“Tidak usah memikirkan kekeramatan, yang penting kalian mendalami sekaligus mengamali secara benar dzahir-dzahir syariat.”

“Aku tidak pernah belajar komunikasi dengan arwah di alam barzakh. Aku bisa ( berkomunikasi dengan mereka ) karena memiliki mahabbah(kecintaan) kepada meraka. Ilmu seperti itu tidak usah dipelajari, berbahaya, karena kalian belum bisa membedakan mana arwah para wali dan mana arwah yang merupakan jelmaan iblis.”

“Hikmah di balik tanaman yang diletakkan di atas kuburan adalah untuk meringankan adzab si ahli kubur. Karena selama tanaman itu masih hijau, dia (tanaman) bertasbih memujiNya. Hal inilah yang menjadi sebab turunnya rahmat diringankan siksaan si ahli kubur.”

“Kasih sayang seorang wali itu sama seperti kasih sayang seorang ibu kepada anaknya, bahkan mereka rela menanggung adzab yang turun di umat mereka. Begitulah sifat para auliya’.”

“Rahmat turun karena sebab ikhtiar. Contoh: sakinah, mawaddah dan rahmahakan muncul jika seseorang sudah ikhtiar untuk menikah.”

“Qudrat dan iradat Allah Swt. ditunjukan pada tiap makhluk yang telah Dia ciptakan.”

“Make up orang mukmin ialah bekas sujud yang memancar dari wajahnya.”

“Maksiatnya Nabi Adam As. merupakan tarbiyah Allah Swt. kepada Nabi Adam As. agar kelak jangan mengulangi perbuatan tersebut.”

“Hikmah diperoleh setelah penalaran yang mendalam. Hikmah juga mengajarkan seseorang untuk bersikap sabar.”

“Demi menghormati Abdullah bin Umi Maktum, Rasulullah Saw. selalu berdiri tiap kali ada orang buta yang lewat di hadapan beliau.”

“Berpalingnya Rasulullah Saw. dari Abdullah bin Umi Maktum membuat beliau ditegur oleh Allah Swt. dengan cara yang halus yaitu dengan dhamir ghaib: “Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling”, bukan dengan dhamir mukhathab: “Kamu (Muhammad) bermuka masam dan berpaling”, (QS. ‘Abasa ayat 1). Hal ini adalah bentuk pendidikan sekaligus perintah Allah kepada Rasulullah Saw. untuk menyampaikan dakwah, terlepas dari diterima atau tidaknya dakwah Rasulullah Saw., sebagai kewajiban beliau selaku utusan Allah sekaligus menekankan bahwa hak Allah Swt. adalah memberikan hidayah pada siapa saja yang Dia kehendaki.”

“Salah satu penyakit hati yang berbahaya adalah hasud. Hasud jika dikombinasikan dengan sifat ghaflah atau lalai akan memunculkan sikap sombong.”

“Hasad dan marah adalah dua hal yang saling berhubungan satu sama lain.”

“Segala sesuatu memiliki batasan, termasuk kesabaran. Jika sabar tidak memiliki batas, mungkin Kanjeng Nabi Saw. akan diam saja dan tidak akan memerangi kaum kafir di Perang Badar.”

“Bersabar tidak boleh menuruti hawa nafsu tapi harus dengan ilmu.”

“Aku (Oki Yosi) pernah bertanya kepada Abah: “Bagaimanakah cara kita mengetahui keinginan yang semata-mata karena Allah dan keinginan yang bersumber dari nafsu?” Beliau Habib Luthfi bin Yahya menjawab: “Bagi saja keinginan itu menjadi dua, satu untuk akal dan kedua untuk ilmu. Akal sebagai hakim dan ilmu alat untuk menganalisa dengan hati sebagai rajanya yang akan mendorong keinginan kita bertindak semata-mata karena Allah.”

(Disarikan dari pengajian rutin al-‘Arif Billah Maulana al-Habib M. Luthfi bin Yahya Pekalongan selama Ramadhan 1434 H)

ALHAMDULILLAH......
BAROKALLAHU LANA FI HAYATINA WA FI  AMWATINA WA FI U'MRINA WA FI I'LMINA WA FI AMWALINA WA FID DUN-YANA WA FIL AKHIROTINA
AAMIIN...... YA ALLAH.......

 اللهم صل على سيدنا محمد وعلى ال سيدنا محمد في اﻷولين واﻷخرين وفي المﻵء اﻷعلى الي يوم الدين

Kiriman Grup GUYUB RUKUN NKRI

#ElHaChannel
#AlcBimbel
#LsmAqilaQuds


TAFSIR AL JAILANY 800 TAHUN HILANG, DITEMUKAN DI VATIKAN

Penemuan karya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani oleh cucu ke-25-nya sendiri, Syekh Dr. Muhammad Fadhil, membuat dunia akademik dan pengamal tarekat/tasawuf terkagum-kagum. Bagaimana tidak? Naskah ini selama 800 tahun menghilang dan baru ditemukan secara utuh di Vatikan. Manuskrip yang berisis 30 Juz penuh ini tersimpan secara baik di perpustaan. 

Tak ada yang menyangka sebelumnya bahwa Syekh Abdul Qadir Al-Jailani menulis kitab tafsir Al-Quran 30 juz yang mengulas ayat-ayat Al-Quran. Kita seolah-olah mempelajari samudra tasawuf dari ayat ke ayat. Dan, alhamdulillah, Tafsir Al-Jailani, yang dalam bahasa Arab telah diterbitkan oleh Markaz Al-Jailani Turki (6 jilid), kini telah berhasil diterjemahkan dalam bahasa Indonesia/Melayu menjadi 12 Jilid. Hingga hari ini, Markaz Jailani Asia Tenggara baru mencetak 2 jilid pertama.

Para salik yang berada di Indonesia, Malaysia, Brunei, Thailand dan Singapura yang berbahasa Melayu bisa mempelajari makna-makna penting tasawuf yang diajarkan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dengan mudah.

Kami sangat berterima kasih dengan perjuangan penelitian dan penyelidikan yang dilakukan oleh Syekh Dr Muhammad Fadhil dalam menyelamatkan manuskrip-manuskrip langka ini. Terutama yang berkaitan dengan Tafsir Al-Jailani. Kami terharu ketika mendengarkan langsung kisah pengkajian dan penelitiannya selama puluhan tahun.

Berikut adalah penuturan Syekh Fadhil dalam pembukaan kitab Tafsir Al-Jailani yang ditelitinya:

“Saya tumbuh besar di bawah pendidikan kakek saya Sayyid Syarif al-Alim al-Muqtada bih wa al-Quthb al-Kamil asy-Syaikh Muhammad Shiddiq Jalilaniy al-Hasaniy. Ayah saya bernama Sayyid Syarif al-Alim al-Allamah wa al-Bahr al-Fahhamah Syaikh Muhammad Faiq Jailaniy al-Hasaniy.

Setelah saya mendatangi Madinah Munawwarah dan tinggal di kota ini, saya pun mulai mencari kitab-kitab Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy Radhiyallahu 'Anhu pada tahun 1977 M di Madinah al-Munawwarah dan kota-kota lainnya sampai tahun 2002 M.

Setelah tahun itu, saya menghabiskan seluruh waktu saya untuk mencari kitab-kitab sang Syaikh Radhiyallahu 'Anhu, dan sampai hari ini saya masih terus melanjutkan pencarian itu.

Saya telah mendatangi sekitar lima puluh perpustakaan negara dan puluhan perpustakaan swasta yang terdapat di lebih dari 20 negara. Bahkan ada beberapa negara yang saya datangi sampai lebih dari dua puluh kali.

Dari proses panjang itu saya berhasil mengumpulkan tujuh belas kitab dan enam risalah yang salah satunya adalah kitab tafsir ini yang menurut saya, tidak ada bandingannya di seluruh dunia.

Dari perjalanan saya mendatangi beberapa pusat-pusat ilmu pengetahuan, saya pun mengetahui bahwa ada empat belas kitab karya Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy yang dianggap punah. Oleh sebab itu, saya terus melakukan pencarian kitab-kitab tersebut di pelbagai perpustakaan internasional setelah kitab tafsir ini selesai dicetak dan diterbitkan, insyaallah.

Sungguh saya sangat bergembira dan bersyukur kepada Allah SWT ketika saya mengetahui bahwa jumlah lembaran tulisan karya kakek saya Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy radhiyallâhu 'anhu yang berhasil saya kumpulkan mencapai 9.752 lembar. Jumlah itu tidak termasuk tulisan-tulisan yang akan kami terbitkan saat ini dan beberapa judul yang hilang. 

Tentu saja, semua ini membuat saya sangat gembira dan bangga tak terkira kepada kakek saya Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy r.a..

Ada sebuah pengalaman menakjubkan yang saya alami ketika saya mendatangi negeri Vatikan untuk mencari karya-karya sang Syaikh di perpustakaan Vatikan yang termasyhur. Ketika saya memasuki negara Vatikan, petugas imigrasi bertanya kepada saya tentang alasan saya mengunjungi Perpustakaan Vatikan. 

Pertanyaan itu dijawab oleh seorang kawan asal Italia yang mendampingi saya dengan mengatakan bahwa saya sedang mencari buku-buku karya kakek saya Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy. Saya kaget ketika tiba-tiba saja, petugas itu langsung berdiri dan berhormat seraya berkata: "Ya, ya, Sang Filsof Islam, Abdul Qadir al-Jailaniy." 

Setelah saya memasuki Perpustakaan Vatikan, saya menemukan pada katalog perpustakaan dan beberapa buku yang ada di situ sebuah tulisan dalam Bahasa Italia yang berbunyi: "Filsuf Islam", dan dalam Bahasa Arab: "Syaikh al-Islâm wa al-Muslimîn".

Dua gelar ini tidak pernah saya temukan di semua perpustakaan yang ada di tiga benua kecuali hanya di sini. Di Perpustakaan Vatikan saya juga menemukan sebuah tulisan tentang Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy yang berbunyi: "Sang Syaikh Radhiyallahu 'Anhu membahas tiga belas macam ilmu."

Kisah ini bisa menjadi inspirasi bagi kita semua. Bagaimana mungkin, karya-karya monumental Syekh Abdul Qadir Al-Jailani justru tersimpan rapi di perpustakaan di Vatikan? Kemana saja ahli-ahli sejarah kita? Mengapa karya sehebat itu “hilang” selama berabad-abad? Jangan-jangan selama ini lebih fasih orang Katolik mempelajari karya-karya Syekh Abdul Qadir Jailani daripada kita yang setiap bulan ikut Manaqib Syekh Abdul Qadir?
------

Saya jadi Teringat Dawuh Yai Said,dalam salah satu Sambutan dalam acara di Pondok Pesantren An-Nawawi Berjan .
Kalau Bukan Kita yang Menghafal (Nahdliyyin) ,Orang (Kelompok)Sebelah yang suruh Ngehafal ?

Kiriman Gus Nur : Keluarga Nahdlatul Ulama


Obat "Galau" bagi al-Būtī (muda)

Sebagaimana anak muda lainnya, al-Būtī (muda) juga mengalami apa yang disebut oleh anak milenial era sekarang, yaitu perasaan "galau". Ya, al-Būtī pernah mengalami hal itu. Kapan?

Tepatnya, setelah al-Būtī lulus madrasah Ibtidāiyah. Hal itu disebabkan keputusan sang ayah, Syeikh Mullā untuk mengirim dirinya ke salah satu ma’had di Damaskus, Ma’had al-Taujīh al-Islāmī di bawah asuhan Syeikh Hasan Habannakah al-Maidanī.

Sang ayah sengaja ingin memasukkan al-Būtī ke ma’had karena beliau ingin anaknya belajar ilmu agama. Akan tetapi, hati kecil al-Būtī ingin melanjutkan studinya di sekolah-sekolah negeri seperti teman-temannya yang lain.

Tidak heran, al-Būtī pun merasa "minder" dengan pilihan sang ayah. Apalagi al-Būtī seringkali dibully sama teman-temannya karena memilih untuk belajar ilmu agama di ma’had. Bukan belajar di sekolah formal yang menjanjikan masa depan yang lebih cerah.

"Apa gunanya belajar ilmu agama terlalu dalam di ma’had, paling juga nanti jadi tukang azan atau tukang mengurus jenazah?" begitu bully-an teman-teman al-Buti setiap kali bertemu.

Al-Būtī pun belum mantap dengan pilihan ayahnya, Syeikh Mullā. Hingga akhirnya sang ayah pun memberi penjelasan alasan memondokkan al-Būtī. Nasihat ayah al-Būtī inilah yang mengubah segalanya. Berikut nasihanya:

"Wahai anakku, sungguh andai aku tahu bahwa jalan menuju ridha Allah itu tersembunyi di balik kotoran sampah di pinggir-pinggir jalan, niscaya akan aku jadikan engkau tukang sampahnya. Akan tetapi, aku tahu bahwa untuk bisa sampai kepada ridha Allah yaitu dengan ilmu dan berpegang teguh pada agama Allah." ujar sang ayah, Syeikh Mullā.

Syeikh Mulla pun melanjutkan nasihatnya. Beliau berkata: "Oleh karena itu, aku bertekad dan menjadi harapan satu-satunya bagiku, untuk menjadikan engkau orang yang berilmu dan berpegang teguh pada ajaran agama Allah." lanjut Syeikh Mullā.

"Maka, berjanjilah padaku, anakku! Selama kamu belajar, jangan pernah berniat untuk mencari jabatan, pekerjaan, dan hal-hal lain yang bersifat duniawi semata. Tapi, niatkan belajarmu untuk membela agama Allah." pungkas Syeikh Mullā.

Sementara itu, untuk mengusir "galau" dan tasywīsy (bisikan negatif dari setan) yang dialami al-Būtī atas bully-an teman-temannya, al-Būtī diberikan saran oleh ayahnya untuk mengamalkan bacaan QS. Yasin setiap pagi dan sore secara istikamah. Dan, pahala bacaannya dihadiahkan kepada Rasulullah dan para auliyā shalihīn.

Benar, akhirnya ada kemantapan hati dalam diri al-Buti untuk belajar di ma’had. Bertahun-tahun al-Buti mengenyam pendidikan agama di ma’had di bawah bimbingan langsung oleh Syekh Hasan Habnnakah dan Syeikh Mahmūd Maradinī. Dalam beberapa kesempatan, al-Būtī berkisah bahwa amalan itu tidak pernah ditinggalkan hingga berhasil menjadi sosok ulama rabbani yang disegani.

Al-Būtī mengakui, nasihat ayahnya sungguh menjadi titik balik bagi dirinya. Dalam hidup al-Būtī, nasihat dan arahan sang ayah adalah segala-galanya. Bahkan, kunci sukses al-Būtī tidak lain adalah sikap berbakti kepada orang tuanya itu sendiri. Begitu pengakuan al-Būtī dalam bukunya.

Buku "Hādzā Wālidī" yang merupakan biografi ayahnya yang al-Būtī tulis adalah bukti bagaimana sikap al-Būtī kepada orang tuanya. Semua keputusan penting dalam hidup al-Būtī selalu melibatkan ayahnya, Syeikh Mullā. Bahkan, dalam hal-hal "remeh" yang bersifat pribadi sekalipun. 

Tak heran, jika sosok ayah menjadi rule model yang paling berpengaruh dalam karir akademis al-Būtī di masa-masa berikutnya.[]

Wallāhu a’lam.

Rabu bakda Subuh, 29 Juli 2020
Salam,

Oleh: Mohd Mufeed.
(Peneliti Maqasid Centre)

Catatan: gambar "hitam-putih" di bawah ini adalah foto muda al-Buti dan ayahnya, Syeikh Mulla Ramadhan di tahun 60-an.

Kiriman Muhammad Abid Muaffan - Sanad Qiro'at Nusantara


NASEHAT SEORANG GURU KEPADA MURIDNYA .

Jika engkau melihat seekor semut terpeleset dan jatuh di air, maka angkat dan tolonglah ia...barangkali itu menjadi asbab AMPUNAN bagimu di akherat kelak.

Jika engkau menjumpai batu kecil di jalan yang menggangu jalannya saudara kita, maka singkirkanlah, barangkali itu menjadi asbab dipermudahkannya JALANmu menuju surga.

Jika engkau menjumpai anak ayam terpisah dari induknya, maka ambil dan susulkan ia dengan induknya, semoga itu menjadi asbab Allah MENGUMPULKAN dirimu dan keluargamu di surga kelak.

Jika engkau melihat orang tua membutuhkan tumpangan, maka antarkanlah ia...barangkali itu mejadi asbab KELAPANGAN rezekimu di dunia.

Jika engkau bukanlah seorang yang pandai ilmu agama, maka ajarkanlah alif ba' ta' kepada anak2 mu, setidaknya itu menjadi AMAL JARIYAH untukmu..yang tak akan terputus pahalanya meski engkau berada di alam kubur.

jika engkau tidak bisa berbuat KEBAIKAN sama SEKALI, maka Tahanlah TANGAN dan LISANMU dari MENYAKITI orang lain, setidaknya itu menjadi SHODAQOH darimu.

Al-Imam Ibnul Mubarok Rohimahulloh berkata:

رُبَّ عَمَلٍ صَغِيرٍ تُعَظِّمُهُ النِّيَّةُ ، وَرُبَّ عَمَلٍ كَبِيرٍ تُصَغِّرُهُ النِّيَّةُ

“Sangat banyak amalan kecil, akan tetapi menjadi besar pahalanya karena niat pelakunya. Dan sangat banyak amalan besar, menjadi kecil pahalanya karena niat pelakunya”

Jangan pernah meremehkan kebaikan orang lain, bisa jadi seseorang itu masuk surga bukan karena puasa sunnahnya, bukan karena sholat malamnya, tapi karena akhlak baiknya dan sabarnya, ketika musibah datang melanda.

Rosululloh SAW bersabda:

« لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ ».

“Jangan sekali-kali kamu meremehkan kebaikan sedikitpun, meskipun kamu hanya bertemu dengan saudaramu dengan wajah berseri-seri (wajah tersenyum).” 
HR. Muslim.

Kiriman Grup Aliansi Santri Nusantara


SYEIKH ABDUL QADIR JAILANI dan KETURUNANNYA di NUSANTARA

Syeikh Abdul Qadir al Jailani atau dikenal juga sebagai Sayyid Abdul Qadir dilahirkan di Naif, di kawasan daerah Jailan, Persia. Ia dilahirkan pada bulan Ramadhan 470 H, kurang lebih bertepatan dengan tahun 1077 M. Ayahnya bernama Abi Shalih Abd Allah Janki Dusti, seorang yang taat kepada Allah dan mempunyai garis keturunan dengan Hasan RA. Ibunya adalah Umm al-Khayr Fatimah binti Abi Abd Allah al-Sawma’i yang bergaris keturunan dengan Husain RA.

Sejak bayi calon sufi ini sudah memiliki keunikan tersendiri. Menurut penuturan ibunya, bayi Abdul Qadir selama bulan suci Ramadhan tidak pernah menyusu pada siang hari. Ia baru menyusu bila waktu maghrib telah tiba. 

Tumbuh dan menetap di kota kelahirannya hingga berusia delapan belas tahun, ia kemudian menimba ilmu di Baghdad dan menetap di kota ini hingga wafat. Selanjutnya Jailani menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari nama atau jati diri tokoh sufi ini, yakni Syaikh Abd al-Qadir al-Jailani.

RIWAYAT PENDIDIKAN

Pendidikan agama yang pertama digoreskan pada diri syeikh sufi ini adalah kecintaan pada Al-Qur’an. Belajar membaca Al-Qur’an dan mendalami kandungannya pada Abu al-Wafa Ali ibn Aqli dan Abu al-Khattab Mahfuz al-Kalwadzani. Kedua ulama ini berasal dari kalangan Mazhab Hambali.

Syeikh Abdul Qadir Jailani mempelajari hadits Nabi dari beberapa ulama hadits terkenal pada zamannya. Salah satunya adalah Abu Ghalib Muhammad ibn al-Hasan al-Balaqalani. Adapun pendalaman ilmu fiqihnya dilakukan pada ulama fiqih Mazhab Hambali, seperti Abu Sa’d al-Mukharrami. Sedangkan bidang bahasa dan sastra dipelajari dari Abu Zakarya ibn Ali al-Tibrizi. Sementara itu, di bidang tasawuf diambilnya dari Hammad al-Dabbas.

Syeikh Abdul Qadir mulai memimpin majelis ilmu di Madrasah Abu Sa’d al-Mukharrami di Baghdad sejak Syawal 521 H. Sejak itu namanya harum sebagai seorang sufi yang zuhud. Majelis yang diselenggarakan di madrasah ini penuh sesak dengan pengunjung yang haus mencari ilmu dan pencerahan ruhani. 

Madrasah itu pun diperluas, namun tetap tidak dapat menampung hadirin. Akhirnya majelis atau forum ilmiah itu diadakan di beberapa masjid di luar kota Baghdad. Setiap Syeikh datang memberikan nasihat, yang hadir bisa mencapai tujuh puluh ribu orang. Beliau menjadi sufi yang menyejukkan umat dan menjadi sumber mata air ruhani yang terus memancarkan kehidupan batin.

Murid-murid Syeikh dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan.

Pertama, mereka yang hanya datang untuk mengikuti forum pengajian yang dibimbingnya. Golongan ini tidak terus-menerus hidup bersama Syeikh.

Kedua, mereka yang hidup bersama Syeikh dalam waktu yang cukup lama. Golongan ini menjalani kehidupan intelektual dan keruhanian di bawah bimbingan Syeikh.

Syeikh mendapat beberapa gelar kehormatan. Pertama, di belakang namanya sering dilengkapi dengan sebutan Muhyl al-Din wa al-Sunnah. Sebutan ini secara bahasa berarti tokoh yang menghidupkan agama dan Sunnah Nabi. Melekat dengan gelar tersebut beliau juga mendapat gelar kehormatan Mumit al-Bid’ah, yakni tokoh yang gigih menghapuskan bid’ah atau penyimpangan di dalam agama dari berbagai perbuatan yang tidak sejalan dengan Sunnah Nabi.

Syeikh juga mendapat gelar kehormatan al-Imam al-Zahid, pemimpin yang bersikap zuhud dalam kehidupan dunia. Gelar ini mencerminkan reputasinya sebagai tokoh sufi yang memandang dunia dan kehidupan ini sebagai modal untuk meningkatkan kualitas ruhani, meraih nilai keabadian, dan mendapatkan kehidupan ukhrawi. 

Dunia bukan tujuan pokok dalam hidup, bukan ujung dalam perjalanan dan bukan pula segalanya. Syeikh berkata, “layanilah Tuhanmu dengan sepenuh hati, maka dunia akan melayanimu.”

Syeikh juga sering dipanggil dengan gelar kehormatan al-Arif al-Qudwah. Secara bahasa gelar ini berarti seorang yang patut menjadi teladan. Gelar ini mencerminkan tingkat kesufian Syeikh yang sudah mencapai maqam Arif bi Allah, yakni posisi sangat mengenal Tuhannya. Syeikh juga mendapatkan gelar kehormatan Sultan al-Awliya’, pemimpin para wali.

ANAK KETURUNAN

Sebelum tahun 521 H, atau sebelum beliau berusia 51 tahun, beliau belum menampakkan dirinya kepada khalayak ramai dan tidak perpikir untuk menikah, karena menurutnya berkeluarga akan menghambat seseorang dalam perjalanan menuju Allah. 

Setelah berusia 51 tahun beliau mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW menikah dengan empat orang wanita yang baik dan taat kepadanya. 

Menurut Syekh Yunus al-Samarrai, Syekh Abdul Qadir al Jailani dikaruniai Allah 27 anak laki-laki dan 22 anak perempuan, namun yang kemudian diketahui meneruskan keturunan sebanyak 13 anak laki-laki dan 1 anak perempuan. 

Anak perempuan satu-satunya Syekh Abdul Qadir al Jailani bernama Syarifah Fatimah, yang dikemudian hari menikah dengan anak dari Syekh Abdul Rahman al Tasfunji Al Asadi. 

Adapun ke-13 anak laki-laki Syekh Abdul Qadir al Jailani adalah: 

01. Syekh Abdullah 

02. Syekh Abdul Wahab 

03. Syekh Abdul Razzaq 

04. Syekh Abdul Aziz 

05. Syekh Abdul Jabbar 

06. Syekh Ibrahim 

07. Syekh Muhammad 

08. Syekh Abdul Rahman 

09. Syekh Issa 

10. Syekh Musa 

11. Syekh Shaleh 

12. Syekh Abdul Ghani 

13. Syekh Yahya 

Setelah Wali Allah ini tutup usia pada 10 Rabiul Akhir 561 H dalam usia 91 tahun, anak-anak dan murid-muridnya mendirikan suatu organisasi yang bertujuan menanamkan ruh ke-Islaman yang sejati dan membetulkan ajaran-ajaran Islam di tengahtengah umat manusia. Organisasi ini disebut ‘Thariqah Qadiriyyah’, yang hingga hari ini terkenal dengan keteguhannya di dalam memegang syariat Islam. 

Thariqah inipun telah memberikan andil yang besar kepada Islam. Ada tiga ajaran dan nasehatnya yang terkenal di seluruh dunia, yang paling agung adalah Futuhul Ghaib, yang kedua Fathul Rabbani, yaitu kumpulan enam puluh delapan ajaran yang disusun pada 545 - 546 H. Sedangkan, yang ketiga adalah qashidah atau puisi yang menceritakan peranan dan keberadaan Aulia Allah, yang menurut istilah sufisme dinamakan Qasidatul Ghautsiyyah. 

ZURIAT KETURUNAN SYEKH ABDUL QADIR al JAILANI di NUSANTARA

1. Salah satu tokoh yang terkemuka dan merupakan keturunan Syekh Abdul Qadir al Jailani di Nusantara adalah Syarif Muhammad Ainul Yaqin Sunan Giri. 

Melalui Pusat Pendidikan Giri Kedaton yang didirikannya, Sunan Giri memiliki pengaruh yang sangat besar pada perkembangan Islam di abad ke 15-17 Masehi di Nusantara. 

2. Kesultanan Demak didirikan oleh Raden Fattah yang ber-ibu Nyai Ratna Su Ban Ci binti Syarif Abdullah bin Syekh Quro al Qadiri al Hasani.

3. Kesultanan Palembang didirikan oleh Sultan Abdul Rahman yang merupakan zuriat Sunan Giri bin Pangeran Wali Lanang bin Maulana Abu Ishaq al Qadiri al Hasani. 

Dalam versi yang lain, Kesultanan Palembang berasal dari zuriat Suhunan Cirebon bin Syekh Suta Maharaja bin Maulana Abu Ishaq al Qadiri al Hasani.

4. Kesultanan Jambi didirikan Sultan Abdul Kadir yang merupakan zuriat Datuk Paduka Berhalo bin Syarif Ismail Pulau Besar al Qadiri al Hasani.

5. Kerajaan Atas Angin yang dipimpin oleh Syarif Abdurrahman bin Abdullah bin Zainal Abidin bin Zainal Alim bin Syarif Muhammad Yusuf as Siddiq Champa al Qadiri al Hasani.

Kerajaan Atas Angin diperkirakan berada di pesisir barat Sumatera. Sebagian pemerhati sejarah menyebutnya sebagai Negeri Minangkabau Timur. 

6. Kesultanan Banten dan Cirebon yang berasal dari Nyai Subang Larang binti Syekh Quro al Qadiri al Hasani. Dimana Nyai Subang Larang menikah dengan Prabu Siliwangi, yang melahirkan Nyai Rara Santan. 

Nyai Rara Santan adalah ibu dari Syarif Hidayatullah leluhur Kesultanan Benten dan Cirebon. 

Namun versi lain mengatakan Nyai Subang Larang adalah anak angkat Syekh Quro, sehingga jalur keturunan Syekh Abdul Qadir al Jailani berasal dari Nyai Ratna Su Ban Ci binti Syarif Abdullah bin Syekh Quro al Qadiri al Hasani.

Nyai Ratna Subanci melalui cucunya yakni Ratu Ayu Kirana binti Raden Fattah menikah dengan Sultan Banten Hasanuddin bin Syarif Hidayatullah, yang menurunkan penguasa Kesultanan Banten. 

Sementara cucunya  yang lain yakni Ratu Ayu Wulan binti Raden Fattah menikah dengan Pangeran Pasarean bin Syarif Hidayatullah, yang menurunkan penguasa Kesultanan Cirebon. 

7. Di kalangan keluarga pondok pesantren terutama yang berada di Pulau Madura, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat banyak yang tercatat sebagai keturunan Syarif Muhammad Ainul Yaqin (Sunan Giri) dan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). 

Demikian halnya, para ulama di pulau Sumatera, Semenanjung (Malaysia), Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Maluku, berdasarkan kepada kisah-kisah lama, disinyalir banyak yang berasal dari zuriat keturunan Syaikh Abdul Qadir al Jailani.

Sumber:

1. Syaikh Abdul Qadir Jailani, Kunci Tasawuf Menyingkap Rahasia Kegaiban Hati (Terjemahan dari buku asli Futuhul Ghaib), Penerbit Husaini, Bandung (1985)

2. Tim UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Tasawuf, Penerbit Angkasa, Bandung (2008)

3. Grup FB Kajian Nasab Qabilah Al Hasani dan Sejarah Ahlul Bayt Nusantara https://m.facebook.com/groups/953011948494045 

4. Fanpages Kajian Tasawuf https://www.facebook.com/kajiantasawuf/photos/a.592002530898184/645193128912457/?type=3

Dan beberapa referensi lainnya.

WaLlahu a’lamu bishshawab

Kiriman Grup Sarkub Indonesia Barokah


Para santri Al-Anwar setelah periode tahun 2000 banyak menyaksikan tentang kehidupan Mbah Maimoen yang sudah lumayan mapan secara ekonomi. Tetapi apakah kehidupan beliau tiba-tiba saja mapan?.

Tidak, kehidupan beliau terutama dalam kehidupan berkeluarga juga dimulai dengan nol. 

Pernah pada suatu malam Idul Fithri, Syaikhona Maimoen Zubair sama sekali tidak mempunyai beras untuk digunakan sebagai zakat fithrah dan bahkan tidak mempunyai uang sedikit pun untuk membeli sekedar untuk jajan Idul Fithri, sedangkan waktu itu putra-putri beliau masih kecil-kecil.

Malam hari raya itu berjalan sampai pertengahan, dengan tetap tanpa ada yang membantu. Setelah pertengahan malam, Syaikhona Maimoen Zubair pun melaksanakan shalat tahajjud. Dalam sholat itu, beliau membaca berulang surat Al-Waqi'ah.

Pertolongan Yang Maha Kuasa seringkali datang pada waktu seseorang sudah sangat terpepet dan seolah-oleh hendak berputus asa. 
Dan pertolongan itu pun datang pada waktu yang tepat.

مستهم البأساء والضراء وزلزلوا حتى يقول الرسول والذين آمنوا معه متى نصر الله، ألا إن نصر الله قريب. 

Pada saat subuh tiba, ada seseorang yang mengetuk pintu rumah beliau. Orang itu datang dengan membawa beras yang cukup untuk menunaikan zakat fitrah dan juga membawa sesuatu yang bisa digunakan untuk membeli jajan dan kebutuhan untuk Idul Fithri.

Mbah Maimoen juga bercerita bahwa dulu pada tahun enam puluhan, makanan sehari-hari beliau dan keluarga adalah "Sredek", ketela pohon yang diparut kemudian dikeringkan agar awet. Parutan ketela itu kemudian dimasak kukus, setelah matang kemudian dicampur dengan parutan kelapa.

Saat masih kecil dulu, Wakil Gubernur Jawa Tengah Bapak Taj Yasin Maimoen dan adik beliau Bapak Idror Maimoen sarapan seringkali hanya dengan nasi putih dengan lauk telor setengah matang yang dicampur dengan kecap. Padahal waktu itu sudah memasuki tahun delapan puluhan. Ibunda mengatakan bahwa makanan itu menambah kecerdasan anak.

Gus Taj Yasin Maimoen bercerita bahwa dulu juga ikut membantu ibunda membuat es lilin untuk dijual.

Dari dulu makanan keseharian Mbah Maimoen memang apa adanya, tetapi bila ada tamu orang khusus semisal ulama' dan pejabat negara, maka beliau akan membeli sate kambing maupun sate ayam sebagai penghormatan atas kunjungan tamu tersebut.

Saat awal pernikahan dulu, Mbah Maimoen juga belum mempunyai bantal untuk tidur.

Begitu pula dengan kendaraan, pertama kali beliau membeli Vespa ereg-ereg. Setelah itu membeli mobil pickup doplak, kemudian kijang hijau daun, kemudian kijang warna putih. Saat beliau mempunyai kijang warna putih, mobil ini juga digunakan untuk mengantar santri yang sakit. Semua adalah kendaraan bekas yang dibeli secara kontan. 

Setelah itu beliau sedikit demi sedikit berganti kendaraan mulai dari Katana, BMW, Baleno, Mersi, Honda CRV kemudian Mazda. Setelah itu baru kemudian mempunyai Alphard. Dua kendaraan terakhir ini dibeli baru dengan kontan.

Mobil yang lumayan bagus itu dimiliki beliau setelah beliau sudah mulai berumur sepuh.

Suatu saat ada seorang santri beliau yang sudah berumah tangga berkata kepada beliau: "Mbah, Njenengan itu sudah sepuh. Agar perjalanan njenengan nyaman, maka sudah pantas njenengan memiliki mobil yang nyaman".

Saat membelikan kendaraan putra-putri beliau yang sudah menikah, beliau biasanya membelikan mobil bekas. Hal itu memberikan pelajaran tentang kesederhanaan. Artinya beliau memberikan modal pertama berupa kendaraan bekas, walaupun setelah itu tetap membuka kesempatan untuk mengembangkan sehingga dimungkinkan bisa membeli mobil baru.

Gus Rojih bercerita bahwa kakek beliau Mbah Maimoen dawuh: "Kowe tak tukokno montor elek-elekan Yo. Nek mbangun omah ojo apik-apik". (Kamu saya belikan mobil bekas ya, bila kamu membangun rumah, jangan terlalu megah).

Syaikhona Maimoen dulu pernah bekerja dengan membeli padi hasil panen Sarang. Padi kering itu kemudian dibawa ke Pati untuk dijadikan beras. Karena waktu itu di daerah Rembang belum ada penggilingan padi. Setelah menjadi beras, kemudian di jual di toko. 

Beliau juga pernah berdagang sapi di pasar hewan Kragan Rembang beberapa waktu. Dan bahkan pernah menjadi kepala pasar Sarang selama sepuluh tahun.

Beliau juga pernah bekerja sebagai kepala TPI tempat pelelangan ikan Sarang Rembang. 

Beliau juga pernah menjadi anggota DPRD kabupaten Rembang selama 7 tahun.

Pada tahun tujuh puluhan setelah beliau berumur empat puluh tahun, para santri banyak datang dan meminta menetap. Akhirnya beliau meninggalkan semua ikhtiar mencari rizki dan fokus mengurus pondok pesantren yang dulunya hanya sebuah tanah kosong di depan rumah beliau. Di tanah itu didirikan Musholla kecil dan kamar santri. 

Setelah sekitar tujuh tahun setelah itu, beliau diangkat menjadi anggota MPR RI utusan Jawa Tengah selama tiga periode.

Dan setelah tahun sembilan delapan, Mbah Maimoen sudah tidak menjabat jabatan apa pun di dalam pemerintahan. Yaitu pada saat beliau berumur enam puluh sembilan tahun.

Waktu saya datang ke pondok tahun dua ribu tiga, sampai pada tahun dua ribu sebelas tamu juga tidak terlalu banyak yang sowan ke Yai.

Mulai dua ribu dua tiga belas sampai puncaknya tahun dua ribu sembilan belas, banyak tamu berdatangan mulai dari perseorangan sampai rombongan, dan mulai masyarakat pada umumnya maupun para Syaikh dari dalam dan luar negeri serta para pejabat.

Begitulah, bahwa kehidupan para kekasih ALLOH di dunia dipenuhi oleh perjuangan yang sangat lama, dan ALLOH memberikan sedikit kemenangan di akhir hayatnya dan biasanya tidak terlalu lama agar tidak mengurangi kenikmatan yang disediakan untuk para kekasih ALLOH di akhirat nanti.

وللآخرة خير لك من الأولى.

Pernah suatu ketika Mbah Maimoen dawuh kepada saya saat beliau melihat santri yang semakin banyak dan tamu yang datang terus menerus. 

"Piye cong menurutmu?." (Bagaimana nak menurutmu).

Entah mengapa saat itu saya teringat surat An-Nashr. Saya hanya menjawab:

إذا جاء نصر الله والفتح، ورأيت الناس يدخلون في دين الله أفواجا، فسبح بحمد ربك واستغفره إنه كان توابا

Mendengar jawaban kanthongumur, beliau hanya terdiam dan melihat dengan pandangan yang jauh.

Dalam Al-Qur'an ALLOH selalu menceritakan masa-masa sulit para Nabi terdahulu sebagai pelajaran bahwa kita melihat orang hebat bukan hanya dari segi kesuksesannya saja, namun yang lebih penting kita bisa meniru perjuangannya dan masa-masa sulitnya

Semoga kita bisa meniru dan meneladani.

النصر من الله، والفتح من الله، من كان في حاجة خير تقضيها له يا الله....

Kramatsari, Sabtu Wage 5 Dzul Qo'dah 1441 H/ 27 Juni 2020 M.

***
Penulis adalah Kanthongumur mbah wali Wahyudi. 
Dia adalah salah satu murid mbah Moen yang sering mendampingi beliau.

Kiriman Ki Ageng Padharan - Sarkub Indonesia Barokah

-------------------------------------------------------------------------------
Mohon doa, bimbingan, arahan dan nasehat serta motivasinya selalu. 🙏🙏

#El_HaChannel
#LsmAqilaQuds
#AlmasBatrisyia
#GandrungSembako
#AngkringanGrahaElpiji
#H2_KrandonMajuBarokah


MENGAPA ALLAH MENJADIKAN SHOLAWAT FATIH RAJANYA SHOLAWAT & MAHKOTANYA NABI MUHAMMAD SAW

Berkata Sayiduna Syaikh Ahmad at-Tijani r.a. “Sholawat selain yang dibaca Rosulullah saw (yang disebut dalam hadits) yaitu sholawat yang dari ulama adalah tertulis dengan tulisan bahasa lisan dan bahasa isyaroh di bawah “gambar” Nabi saw. dengan gambar manusia yang berada di Hadlrotul Qudsiyah, sedangkan sholawat para Wali Qutub adalah tertulis disebelah kanan, dan sholawat Auliya’ Siddiqin di bawah Wali Qutub tertulis di sebalah kiri. 

Adapun Sholawat Fatih adalah merupakan sholawat dari Allah swt., yakni tidak dari ulama’ dan tidak dari auliya’. 
Sholawat Fatih adalah tertulis di atas kepala Nabi saw. dengan huruf yamg difahami semua bahasa arab. Sholawat Fatih adalah sebagai mahkota kemuliaan dan kerajaan Nabi saw. 

Dengan Sholawat Fatih, Allah swt. menjadikan Nabi saw. lebih utama melebihi semua kerajaan di alam dunia dan menetapkan khilafahnya (kekuasaannya) di alam dunia tersebut dan juga di alam akhirat.

Dengan Sholawat Fatih, Allah swt. memuliakan agama-Nya serta mendhohirkan semua agama-agama yang lain, dan menjadikan umat ini (umat Nabi saw.) lebih utama dan menjadi saksi atas umat agama yang lain tersebut. 

Dengan Sholawat Fatih Nabi saw. menjadi pemimpin para nabi dan para rosul.

Dengan Sholawat Fatih Allah swt. menegakkan ruh-jasmani dan melahirkan atasnya peraturan hukum syari'at dan menciptakan tata peraturan dan pengaturan alam. 

Oleh karenanya sholawat Fatih adalah ruh alam wujud dan kehidupannya. 
Kemudian atas hukum syariat dan peraturan tersebut Allah swt. menetapkan sorga beserta nikmat-nikmatnya dan neraka beserta siksa-siksanya. 

Dengan Sholawat Fatih inilah Allah swt. menampakkan hakikat Muhammadiyah Nabi saw. dan menetapkan hakikat Ahmadiyahnya pada mihrob (maqom) Qudsi, yang dengan Sholawat Fatih, Allah swt. memuliakan Nabi saw. dan memuliakan Sholawat Fatih dengan Nabi saw.
maka dari itu, sholawat Fatih adalah hakikat Nabi saw. yang dengan Sholawat Fatih tersebut Malaikat Jibril, Mika’il, Isrofil, Izro’il mengenalnya.

Sholawat Fatih adalah pokok semua sholawat yang lahir dari hati Nabi saw. dan orang-orang makrifat. 

Sesungguhnya Allah Jalla Jalaluh memberi sholawat kepada Nabi saw. (yang tanpa batas awal dan akhir sebagaimana firman-Nya dalam al-Qur’an). 
Maksudnya adalah Allah swt. menampakkan kesempurnaan Zat-Nya, Asma-Nya, sifat-Nya pada diri dan dalam diri Nabi Muhammad 
saw.
Allah swt. memuliakan dan mengutamakan Nabi saw. yang melebihi semua makhluk, karena Allah swt. tidak menampakkan kepada seseorang dengan kesempurnaan-Nya kecuali kepada Nabi Muhammad saw.
“Menampaknya Allah swt." kepada Nabi saw. dengan kesempurnaan-Nya inilah yang dimaksud sholawat Allah swt. kepadanya.

Dengan menampakkannya kesempurnaan Allah swt. kepada Nabi saw tesebut, maka Nabi saw. menjadi hakikat kholifah dari-Nya, sedangkan nabi-nabi lain adalah penggantinya.
Oleh karenanya, dengan nampaknya kesempurnaan zat, asma, dan sifat Allah swt. kepada Nabi saw., maka Nabi saw. menjadi pembuka (al-fatih) semua yang tersimpan dalam iradah Allah swt., dan penutup (al-khotim) semua apa yang Allah ber-iradah 
kepadanya, dan penolong (an-nashir) kepada yang Allah ber-iradah memberi pertolongan kepadanya, dan agama itu adalah dalam pertolongan selamanya.
Begitu pula Nabi saw. menjadi petunjuk (al-hadi) kepada orang yang telah ditetapkan pada ilmu qodim-Nya mendapat hidayah 

(Kitab Hidayatur Robaniyah, hal. 22). 

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ ۞ الفَاتِحِ لِمَا أُغْلِقَ ۞ وَالخَاتِمِ لِمَا سَبَقَ ۞ نَاصِرِ الحَقِّ بِالحَقِّ ۞ وَالهَادِي إِلَى صِرَاطِكَ المُسْتَقِيمِ ۞ وَعَلَى آلِهِ حَقَّ قَدْرِهِ وَمِقْدَارِهِ العَظِيمِ ۩

Kiriman Gus Eko Sutrisno - Kader2 NU Se Nusantara

-------------------------------------------------------------------------------
Mohon doa, bimbingan, arahan dan nasehat serta motivasinya selalu. 🙏🙏

#El_HaChannel
#LsmAqilaQuds
#AlmasBatrisyia
#GandrungSembako
#AngkringanGrahaElpiji
#H2_KrandonMajuBarokah


Polisi di Masa Orde Baru Gemetaran Saat Didatangi KH Mahrus Aly Lirboyo.

Pada tahun 1977 di masa 0rde Baru orang Islam membentuk sebuah partai untuk mengikuti pemilihan umum pada masa itu. Kemudian diadakanlah kampanye di kota Kediri. Pembicara yang diundang salah satunya adalah (alm) KH. Imron Hamzah.

Malam harinya mobil sudah tidak bisa lewat, karena Kediri sudah dibanjiri lautan manusia. Parkir kendaraan pengunjung yg akan mengikuti kampanye sangat panjang. Dari arah selatan, parkir mobil sampai ke Ngadiluwih. Yang dari arah timur sampai Gurah. Yang dari utara sampai di Jampes.

Melihat fenomena ini pihak pemerintah ORBA merasa khawatir, betapa popularitas partai ini semakin tinggi. Akhirnya pemerintah menetapkan pembicara harus diganti semua. Jika tidak, kampanye tidak bisa dilaksanakan. Orang-orang bingung. Akhirnya sowan kepada hadhratil mukarram KH. Mahrus Aly meminta solusi.

Akhirnya pagi-pagi jam 06.00 Wib, Kiai Mahrus memanggil Kiai Aziz Manshur dan Kiai Ma’shum Jauhari diajak menemui pihak aparat terkait. Setelah sampai di sana, dengan lantang dan berani Kiai Mahrus membentak aparat tersebut.

“Mengapa dilarang?”

“Rusuh.” jawab aparat tadi.

“Rusuh mana dengan kamu?” bentak Kiai Mahrus.

Terjadi perdebatan panjang, sampai Kyai Mahrus menggebrak meja berkali-kali. Beliau meminta agar larangan izin penceramah dicabut.

Aparat hanya menjawab, “Ini perintah dari atasan Pak Kiai. Kalau saya tidak jalankan, besok saya dipecat. Apa yang saya makan?” jawab aparat tadi dengan ketakutan.

“Ya udah, sekarang gak apa-apa. Tiga hari lagi harus sudah diberikan izin.” tandas Kiai Mahrus.

Beliau bertiga kemudian pulang. Kiai Aziz muda dan Kiai Ma’shum muda hanya diam menyaksikan. Beliau berdua diajak oleh Kiai Mahrus agar mengerti seperti inilah tugas kiai.

Setelah pulang, Kiai Aziz bertanya kepada Kiai Mahrus, “Mbah Yai panjenengan kok berani sekali. Di hadapan orang berseragam hijau nggebrak-gebrak, mereka hanya diam. Apa doanya Mbah Yai?”

“Hus, gak ada doanya. Rahasianya hanya,

من اتقى الله اتقاه كل شيء

“Orang yang takut (takwa) kepada Allah, siapapun akan takut kepada orang tersebut.” jawab Kiai Mahrus dengan mantap.

Kiriman Gus Asep Wahyu - Aliansi Santri NUsantara

-------------------------------------------------------------------------------
Mohon doa, bimbingan, arahan dan nasehat serta motivasinya selalu. 🙏🙏

#El_HaChannel
#LsmAqilaQuds
#AlmasBatrisyia
#GandrungSembako
#AngkringanGrahaElpiji
#H2_KrandonMajuBarokah


SHOLAWAT, MAHAR NABI ADAM AS KETIKA MENIKAHI HAWA

“Duhai Tuhanku, adakah orang yang lebih mulia di samping-Mu selain aku?”
Allah Swt berfirman, “Ada. Dia seorang nabi dari keturunanmu yang lebih mulia di samping-Ku. Dan jika tidak karena dia, Aku tidak menciptakan langit, bumi, surga dan neraka.”

Itu sepenggal dialog antara Nabi Adam dengan Allah Swt., ketika Allah SWT menciptakan Nabi Adam setelah membukakan penglihatan matanya, pada saat itu Nabi Adam memandang ‘Arasy dan melihat tulisan “Muhammad.”

Maka setelah bersujud, Nabi Adam berkata, “Duhai Tuhanku, adakah orang yang lebih mulia di samping-Mu selain aku?”

Lalu, Allah menciptakan Siti Hawa dari tulang rusuk Nabi Adam a.s. Nabi Adam mengarahkan pandangannya ke atas dan terlihatlah olehnya satu makhluk Allah yang lain dari dirinya. Ia seorang wanita cantik jelita yang karenya Allah SWT memberikan rasa syahwat kepada Nabi Adam. Sujudlah Nabi Adam kepada Allah, dan bertanya,
“Duhai Tuhanku, siapakah gerangan ini?”

Allah berfirman,”Itu Hawa,”
“Nikahkanlah aku, ya Allah, dengan dia…,” pinta Nabi Adam.

“Beranikah engkau membayar mas kawinnya?” Allah swt., bertanya.

“Berapakah mas kawinnya?” tanya Nabi Adam.

“Mas kawinnya, engkau membaca shalawat kepada yang mempunyai nama “Muhammad SAW sepuluh kali.”

“Jika kulakukan itu, apakah Tuhanku telah mengawinkan dia dengan aku?”

“Benar demikian.”

Kemudian Nabi Adam membaca shalawat sepuluh kali kepada Nabi Muhammad SAW.

Ada qaul (pendapat) yang lain berpendapat bahwa Nabi Adam membaca shalawat sebanyak 100 kali dalam satu tarikan napas.

Saat baru sampai tujuh puluh bacaan shalawat, napas Nabi Adam terputus.

Lalu Allah SWT berfirman, “Tidak apa-apa, Wahai Adam. Shalawat yang sudah engkau baca itu sebagai awal mahar. *Dan sisanya itu menjadi tanggunganmu.”

Oleh sebahagian kalangan ulama kisah ini dijadikan salah satu referensi tentang pembayaran mahar bagi calon suami kepada calon istrinya, yang dilaksanakan secara diansur, tidak kontan sekaligus.
(Dalam Kitab Sa’adah Ad Darain, Syaikh Yusuf bin Ismail An Nabhani)

Note: ..*Dan sisanya itu menjadi tanggunganmu..Adalah tanggungan kita..salah satu sebab kita kena selawat kerana peristiwa itu.

MAHAR NABI ADAM AS

Apa maharnya Nabi Adam ketika menikahi Hawa? Jawabannya adalah Sholawat sebanyak tiga kali kpd Baginda Nabi Muhammad SAW. Sbgmana hal itu telah disebutkan oleh Imam Abdur Rahman bin Abdus Salam Ash-Shafuri Asy-Syafi’i di kitabnya Nuzhatul Majaalis juz 2 hal 169 yang menukil perkataan Imam Al-Kisa’i dan juga disebutkan pula oleh Syeikh Ahmad bin Zaini Dahlan Al-Hasaniy di kitabnya As-Sirah AnNabawiyyah juz 1 hal 17.

`MAHAR SHOLAWAT`

Ketika Nabi Adam merasa galau di surga sendirian, maka saat tertidur Allah SWT menciptakan baginya seorang teman wanita yang tercipta dari tulang rusuk bagian kirinya. Setelah bangun tidur, Nabi Adam mendapati Siti Hawa sudah berada di sampingnya.

Nabi Adam pun tertarik pada Siti Hawa dan ingin menyentuhnya, akan tetapi dilarang oleh para malaikat, "Jangan wahai Adam!"
"Kenapa? Bukankah Allah menciptakannya untukku", tanya Nabi Adam.

Para malaikat menjawab, "(boleh kamu menyentuhnya) Setelah kamu memberikan maharnya."

"Apa maharnya?", kembali Nabi Adam bertanya.
"Bacalah sholawat kepada Nabi Muhammad sebanyak tiga kali", kata para malaikat. Dan, setelah itu Siti Hawa sudah halal bagi Nabi Adam.

#referensi Kitâb al-Bulbul ash-Shâdi bi Maulid al-Hâdi, hlm. 96, karya Prof. Dr. As-Sayyid asy-Syaikh Muhammad Fadhil al-Jailani al-Hasaniy. Cucu ke-25 Sulthonul Auliya' Syekh Abdul Qadir al-Jailani رضي الله عنه

Kiriman Gus Asep Wahyu - Aliansi Santri NUsantara

-------------------------------------------------------------------------------
Mohon doa, bimbingan, arahan dan nasehat serta motivasinya selalu. 🙏🙏

#El_HaChannel
#LsmAqilaQuds
#AlmasBatrisyia
#GandrungSembako
#AngkringanGrahaElpiji
#H2_KrandonMajuBarokah


قال سيدي الشيخ محمد بن علي باعطية الدوعني: 
من نادى شيخه باسمه لم يمت حتى يذوق الفقر المعنوي من العلم 

Barang siapa ya memangil gurunya dengan sebutan namanya langsung (tidak mengagungkannya ketika memanggil ) maka dia tak akan meninggal kecuali sudah merasakan hidup yang faqir baik  dalam ilmu maupun material.

Imam Nawawi berkata :

ینبغی للمتعلم ان یتواضع لمعلمه ویتأدب معه وإن کان أصغر منه سنا وأقل شھرة ونسبا وصلاحا ؛ لتواضعه یدرک العلم

“Sepatutnya bagi seorang pelajar tawadlu’ (rendah hati) kepada gurunya dan menjaga tata krama ketika bersamanya, meskipun gurunya tersebut lebih muda, tidak begitu terkenal, nasabnya lebih rendah dan (mungkin) keshalehannya kalah dengan muridnya. Dengan tawadlu’ (rendah hati), niscaya ilmu akan ia dapatkan”.

Beliau juga berkata :

عقوق الوالدین تمحوه التوبة وعقوق الأستاذین لا یمحوه شیئ ألبتة

“Dosa durhaka kepada kedua orang tua bisa dihapus dengan bertaubat, sedangkan dosa durhaka kepada guru sedikitpun tidak akan bisa dihapus”

Al-habib ‘Abdullah bin ‘Alawi al-Haddad berkata :

وأضر شیئ علی المرید تغیر قلب الشیخ علیه، ولو اجتمع علی إصلاحه بعد ذلك مشایخ المشرق والمغرب لم یستطیعه إلا أن یرضي عنه شیخه

“Yang paling berbahaya bagi seorang murid adalah berubahnya hati guru kepada muridnya (dari yang semula ridlo menjadi murka). Andai saja semua guru dari timur dan barat berkumpul untuk memperbaiki keadaan si murid tersebut, maka mereka tidak akan mampu kecuali gurunya tersebut telah ridho kepadanya”.                       

  *✿°••┈┈┈••◈🎋💫🌹💫🎋◈••┈┈┈••°✿*

*🔸*آللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيّدنَآ مُحَمَّدٍ وَعَلَى


🌿🕊KISAH NYATA KEINDAHAN AKHLAK PUTRI AL HABIB UMAR BIN HAFIDZ🕊🌿

Pada suatu hari, saat jam istirahat, aku hendak pergi ke kamar kecil, tetapi aku melihat putri kecil putri bungsu Habib Umar bin Hafidz duduk seorang diri di salah satu tangga Daruzzahro sambil memegang perut, maka aku pun menghampirinya dan bertanya:
“Ada apa denganmu wahai putri mulia?“

Maka dengan polosnya ia menjawab bahwa ia dalam keadaan lapar dari tadi, sebab sebelum pergi ke sekolah tidak sempat bersarapan terlebih dahulu, khawatir terlambat ucapnya.

Spontan aku membalas ucapannya dan berujar:
“Mengapa yang mulia tidak mengambil sepotong roti di ruang makan Darruzzahro saja?”

Ia hanya menggeleng sambil tersenyum.

“Atau pulang sebentar ke rumah mengambil sarapan?”, tawarku kembali.

Ia pun tetap membalasnya dengan gelengan.

Aku semakin keheranan: 
“Bukankah engkau putri guru mulia kami (Habib Umar bin Hafidz)? Pemilik Daruzzahro ini wahai yang mulia?”

Maka ia pun menceritakan pesan sang ayah untuk putra putri dan seluruh keluarga.

Mendengarnya, aku tercengang dan terkejut, ku rasakan sudut mataku mulai berembun, hatiku bergetar mendengar penuturannya. Tidak hanya sampai di situ, putri kecil guru mulia mengejutkanku dengan perkara lain. Merasa kasihan dan tak tega, aku pun merogoh saku baju dan mengambil selembar uang di dalamnya:

“Jika begitu ku mohon ambilah ini sebagai hadiah dariku, dan belilah sedikit makanan untuk mengganjal perut yang mulia”, ucapku penuh harap sambil menyodorkan selembar uang itu ke hadapannya.

Ia tersenyum ramah, mata beningnya menatapku lembut dan ia menolak halus pemberianku dengan menggeleng-gelengkan kepalanya, namun aku terus merayu dan memohon agar dia bersedia menerimanya, tetapi putri kecil guru mulia tetap bersikeras untuk tidak menerimanya dan terus mengindahkan tangannya dari tanganku, melihat usahaku tiada henti, dengan polosnya ia berkata:

“Maafkan aku saudaraku, bukannya menolak pemberianmu, dan ingin melukai perasaanmu, akan tetapi ayah mengajarkan kami untuk tidak memberatkan orang lain dan tidak berharap belas kasih manusia selain belas kasih Allah Subhanahu wa Ta’ala, simpanlah uang itu, karena engkau lebih memerlukannya ketimbang aku, lagi pula kalau ayahanda mengetahui pasti beliau tidak akan menyetujuinya”.

Tes tes… ku rasakan air mataku mulai berjatuhan di pipiku, aku memperhatikannya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ku lihat kerudungnya nampak kumal, pakaiannya pun terlihat lusuh, ia hanya menggunakan keresek putih untuk alat-alat sekolahnya, kakinya penuh debu tanpa mengenakan sandal, aku terdiam terpaku tak mampu berkata sekalimat pun sampai putri guru mulia berlalu dari hadapanku sambil berlari-lari kecil dengan wajah yang tetap riang.

Aku menelan ludah susah payah, gemetar jiwaku menatap bayangnya yang perlahan menghilang dari pandanganku, hatiku bergetar hebat, pendidikan macam apa ini yang membuat anak sebelia dia memiliki hati sedemikian mulia.

Sambil berderai air mata ku segerakan langkahku menuju kamar. Sesampainya di kamar ku membenamkan kepalaku di bantal dan pecah tangisku seketika, bagaimana tidak?

Jiwaku hancur lembur dihantam akhlak mulia sebegitu luhur, benar benar kami ini murid yang tak tau diri, jauh kami merantau dari negara kami hanya demi menimba ilmu serta mengambil keberkahan dari Guru Mulia beserta Sang Istri, malam-malam kami tidur dengan nyenyak, tidak pernah sedikitpun kekurangan air dan makanan, bahkan kami menganggap tempat ini seperti rumah kami sendiri, terkadang kami berbuat semaunya, makan dengan kenyang dan menggunakan kipas angin dan AC sepuasnya, tetapi guru mulia yang mendirikan tempat ini pun merasa tidak memilikinya dan tidak berlaku seenaknya.

Hatiku benar-benar serasa dicambuk rasa malu yang begitu dalam, teramat malu atas ketidaktahuan kami, atas sedikitnya perhatian dan kepedulian kami.

Guru mulia beserta keluarga begitu memuliakan para pelajarnya melebihi penghormatan kami kepada beliau. Huhuhu… aku terus saja menangis.

Sampai akhirnya terdengar suara peringatan waktu istirahat segera berakhir. Aku pun menghentikan tangisanku dan menyeka air mata. Masih dengan mata yang sembab aku bangkit berdiri dan berniat mengambil air wudhu.

Saat ku lewati ruang makan Daruzzahro, sungguh ku menyaksikan pemandangan yang kembali sangat membuat hatiku miris. Ku lihat tangan mungil putri mulia memunguti beberapa pecahan roti yang tersisa dari bekas sarapan sebagian pelajar tadi pagi. Melihatnya aku membuang pandangan karena tak sanggup menyaksikannya.

Kejadian tersebut sangat membekas di hatiku sehingga aku merenungkannya selama berhari-hari. Semenjak itu aku jadi jarang ikut makan bersama dengan teman-teman lainnya, kecuali menunggu mereka telah usai semua, dan aku mulai bermujahadah melunturkan kesombongan yang ada di diriku.

Terkadang aku sengaja memakan roti yang sudah kering dan keras yang sudah ku hancurkan sebelumnya, atau memakan bekas-bekas nasi yang akan dibuang, atau makan bersama kawan tetapi dengan suapan yang terbatas, ketika kenyang hanya 3 suap, jika memang dalam keadaan lapar hanya 9 suap, semua itu sengaja ku lakukan agar diriku yang sangat payah ini dapat merasakan kerasnya menuntut ilmu tanpa memanjakan diri sedikitpun, terlebih-lebih setiap mengingat kejadian di atas hatiku sangat malu terhadap Sang Guru.

Kami hanya seorang murid dan hanya menumpang di tempat ini, harusnya kami yang menjadi pelayan bukannya memanjakan diri terus menerus.

📝 Diceritakan oleh seorang Alumni Darul Musthofa, Tarim, Hadhromaut, Yaman, yang bersumber Mii Al Bein Yahya‎

-Maa Syaa allah..

❤اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍﷺ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍﷺ❤️

Kiriman Grup Guyub Rukun NKRI

-------------------------------------------------------------------------------
Mohon doa, bimbingan, arahan dan nasehat serta motivasinya selalu. 🙏🙏

#El_HaChannel
#LsmAqilaQuds
#AlmasBatrisyia
#GandrungSembako
#AngkringanGrahaElpiji
#H2_KrandonMajuBarokah


KH.Idham Kholid: Alumni Gontor Gemar Amalkan Dalailul Khoirot Syekh Sulaiman Al Jazuly 

K.H. Idham Chalid: Mengalah demi Keutuhan NU
Jasanya sangat luar biasa bagi NU. Ia membawa ormas berjuta umat itu melewati masa transisi berdarah dari Orde Lama ke Orde Baru dengan selamat. Namun akhirnya ia disingkirkan dan terlupakan.

Pernah mendengar kisah Khalifah Umar bin Khaththab menyurati Sungai Nil di Mesir? Cerita yang sedikit memiliki kemiripan juga pernah terjadi di Indonesia pada paruh kedua abad ke-20. Tepatnya di Provinsi Kalimantan Selatan.
Diceritakan, suatu ketika keluarga Kesultanan Banjar dan pemerintah daerah setempat bermaksud memindahkan sebuah makam di tengah rimba yang diyakini sebagai makam Pangeran Antasari, pejuang kemerdekaan dari Banjar, ke pemakaman keluarga keraton. Namun sayangnya upaya itu gagal, karena selalu diganggu binatang buas dan makhluk ghaib penunggu hutan.

Setelah melalui proses istikharah, keluarga keraton mendapat isyarah, petunjuk, bahwa hanya satu orang yang bisa menembus penjagaan ajaib maklhuk rimba itu. Ia adalah seorang ulama sepuh asal Amuntai, Kalimantan Selatan, yang saat itu tengah bertugas di Jakarta.
Panitia pemindahan makam Pangeran Antasari pun menghubungi sang kiai. Uniknya, bukannya ikut berangkat bersama rombongan panitia, kiai kelahiran Kalimantan Selatan itu malah menulis sepucuk surat yang ditujukan kepada para “penunggu” hutan. Isinya, perintah agar semua pengganggu menyingkir dari area makam Pangeran Antasari.

Hebatnya, setelah surat itu dibacakan di tepi hutan, tak ada satu pun binatang buas dan makhluk halus yang menampakkan diri. Proses pemindahan makam sang pejuang pun berjalan lancar, tanpa hambatan.
Peristiwa ajaib itu, yang konon diceritakan sendiri oleh sang kiai dalam sebuah kesempatan, terlepas dari benar atau tidaknya, sangat lekat di benak murid-muridnya. Namun agaknya sulit meminta konfirmasi kebenaran cerita luar biasa tersebut, sebab sejak beberapa tahun lalu sang kiai terbaring lemah di kamarnya, berjuang melawan penyakit stroke yang menggerogoti usia rentanya.

Meski tergolek tanpa daya, bukan berarti nama sang kiai ikut padam. Sebab, siapa pun yang hendak menyusuri sejarah perjalanan Nahdlatul Ulama sejak era 1950 hingga 1980-an, pasti akan menyebut namanya. Sang kiai dikenal sebagai salah satu ulama politisi NU yang paling lihai berkelit dari arus perubahan di negeri ini. Dengan liat, namanya bertahan di kancah perpolitikan tanah air, meski banyak rekannya yang telah tersingkir dilibas lawan-lawan politik mereka.

Baru ketika dihadapkan pada ancaman perpecahan dalam tubuh NU, organisasi yang sangat dicintainya, ia menyerah. Demi keutuhan ormas bentukan para kiai di awal abad ke-20 itu, ia rela menyingkir dari panggung sosial-politik yang telah membesarkan namanya dan pernah mendudukkannya di kursi wakil perdana menteri Republik Indonesia, bahkan di jabatan tertinggi negeri ini, ketua DPR/MPR RI.

Dialah K.H. Idham Chalid, pemimpin Perguruan Darul Ma’arif Cipete, Jakarta Selatan, yang juga mantan ketua umum PBNU dan mantan rais syuriah Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Muktabarah An-Nahdliyyah (Jatman).
Menyebut nama Kiai Idham Chalid, ingatan kita pasti akan segera melayang pada gonjang-ganjing NU pada tahun 1982-1984, yang melahirkan sekaligus menghadap-hadapkan dua kubu tokoh-tokoh nahdliyyin: kubu Cipete dan kubu Situbondo. Konflik internal NU itu juga yang kemudian membuat Idham dianggap “kontroversial” dalam sejarah perpolitikan Nahdlatul Ulama: ia dicitranegatifkan sebagai politisi yang tidak memiliki pendirian, egois, dan menguntungkan pihak penguasa. Bahkan karena sikapnya yang sering dianggap mengambang, salah satu organisasi kepemudaan NU menjulukinya “politikus gabus”.

Tak banyak yang mau melihat sisi lain kebijakan-kebijakan Kiai Idham tersebut yang sebenarnya sangat NU dan sangat Sunni. Sebagai politisi besar NU yang lihai, Idham memang memainkan dua lakon berbeda, sebagai politisi dan ulama. Sebagai politisi, ia melakukan gerakan strategis, kompromistis, dan terkesan pragmatis. Sebagai ulama, ia bersikap fleksibel dengan tetap tidak terlepas dari jalur Islam dan tradisi yang diembannya.

Semua itu ia lakukan sebagai bagian dari upaya kerasnya menjaga stabilitas grass root atau kalangan bawah nahdliyyin, yang menjadi tanggung jawabnya, agar selamat fisik dan spiritual melewati masa-masa gawat transisi dari Orde Lama ke Orde Baru, yang berdarah-darah. Kiai Idham tidak peduli dengan berbagai stereotip yang ia sadari bakal menimpanya, asal menghasilkan kemaslahatan banyak orang.

Strategi politik tersebut dilandaskan pada tiga prinsip. Pertama, lebih menekankan sikap hati-hati, luwes, dan memilih jalan tengah ketimbang sikap memusuhi dan konfrontasi, yang justru membahayakan kepentingan umat. Kedua, politik yang memperhitungkan kekuatan umatnya di hadapan kekuatan rezim atau kekuatan lain di tengah masyarakat. Ketiga, menggunakan pendekatan partisipatoris terhadap pemerintah sehingga mampu memengaruhi kebijakan penguasa demi kemaslahatan umat.

Menurut Idham, NU harus ikut andil dalam kekuasaan sebagai kekuatan penyeimbang. Cara ini dianggap lebih tepat dalam menghasilkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang pro umat, daripada berada di luar kekuasaan, yang justru membuat sulit bergerak.
Efek kebijaksanaannya sangat luar biasa. Ia menjadi sangat berakar di kalangan bawah kaum nahdliyyin, terutama di luar Jawa, dan mampu bertahan di kancah perpolitikan tanah air lebih dari tiga dekade. Namun sayang, belakangan kharismanya dianggap sebagai ancaman oleh penguasa. Dengan memanfaatkan isu kembali ke khiththah 1926 yang tengah digaungkan kalangan muda NU, di muktamar Situbondo 1984, pihak lawan membuat Idham terjungkal dari kursinya.

Cerdas dan Pemberani
Idham Chalid, yang lahir pada tanggal 27 Agustus 1922 di Setui, dekat Kecamatan Kotabaru, bagian tenggara Kalimantan Selatan, adalah anak sulung dari lima bersaudara. Ayahnya H. Muhammad Chalid, penghulu asal Amuntai, Hulu Sungai Tengah, sekitar 200 km dari Banjarmasin. Saat usia Idham enam tahun, keluarganya hijrah ke Amuntai dan tinggal di daerah Tangga Ulin, kampung halaman leluhur ayahnya.

Idham kecil dikenal sangat cerdas dan pemberani. Saat masuk SR, misalnya, ia langsung duduk di kelas dua. Dan sejak duduk di bangku SR itulah bakat pidatonya mulai terlihat dan terasah. Pada tanggal 13 Agustus 1934, Idham, yang duduk di bangku kelas enam, mendapat kesempatan berpidato di hadapan teman-teman dan gurunya.
Dengan memukau ia menyampaikan materi pidato yang dibuatkan gurunya di luar kepala. Sejak itu ia semakin sering diminta berpidato di depan khalayak ramai dan berproses menjadi seorang orator ulung. Haji Napiah, sahabatnya semasa sekolah, menceritakan, karena tubuhnya tak lebih tinggi daripada podium, saat berpidato sering kali Idham menggunakan bangku untuk alas berdiri, agar wajahnya bisa terlihat oleh penonton.

Keahlian berorasi itu pula yang kelak menjadi modal utama Idham Chalid dalam meniti karier di jagat politik. Bahkan, beberapa dasawarsa kemudian, muballigh sekelas K.H. Zainudin M.Z. dan K.H. Syukran Ma’mun pun datang untuk berguru ilmu pidato kepadanya.
Selepas SR, Idham melanjutkan pendidikannya ke Madrasah Ar-Rasyidiyyah, yang didirikan oleh Tuan Guru Abdurrasyid, alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo, pada tahun 1922. Sekolah yang awalnya bernama Arabisch School itu bermula dari pengajian kitab yang diasuh sang Tuan Guru di rumahnya.

Kebetulan, saat Idham bersekolah di sana, beberapa guru lulusan Pesantren Gontor, yang terkenal dengan kelebihannya dalam pendidikan bahasa, direkrut untuk membantu mengembangkan pendidikan. Hal itu membuat Idham yang sedang tumbuh dan gandrung dengan pengetahuan mendapatkan banyak kesempatan untuk mendalami bahasa Arab, bahasa Inggris, dan ilmu pengetahuan umum.

Di mata para siswa dan wali murid, guru-guru alumni Gontor itu sangat hebat. Tak mengherankan, banyak siswa, termasuk Idham, bercita-cita melanjutkan pendidikannya ke pesantren yang didirikan oleh K.H. Imam Zarkasyi di Ponorogo, Jawa Timur, itu. Dan belasan tahun kemudian kehebatan Idham Chalid yang telah menjadi alumnus Gontor juga menginspirasi banyak orangtua nahdliyyin untuk mengirimkan anaknya nyantri di Gontor.

Di Gontor, otak cerdas Idham Chalid lagi-lagi membuat namanya bersinar. Durasi belajar yang umumnya ditempuh selama delapan tahun dilewatinya hanya dalam tempo lima tahun. Tiga tahun di Kuliyyatul Mu’alimin dan dua tahun di Kweekschool Islam Bovenbouw.

Kegiatan favoritnya di pesantren adalah kepanduan, yang kelak ditularkan kepada murid-muridnya di Amuntai dan di Cipete. Kesempatan belajar di Gontor juga dimanfaatkan Idham untuk memperdalam bahasa Jepang, Jerman, dan Prancis. Maka, ditambah modal awal penguasaan bahasa Arab, Inggris, dan Belanda, praktis Idham menguasai enam bahasa.

Tamat dari Gontor, 1943, Idham, yang gemar mengamalkan wirid Dalailul Khairat, melanjutkan pendidikan di Jakarta. Di kota itu kefasihan Idham dalam berbahasa Jepang membuat penjajah Dai-Nipon sangat kagum. Dalam sebuah kesempatan Idham bahkan diundang berkunjung ke Negeri Sakura. Pihak Jepang juga sering memintanya menjadi penerjemah dalam beberapa pertemuan dengan alim ulama.

Kenangan akan hal itu terekam dengan baik dalam ingatan K.H. Saifudin Zuhri (K.H. Saifudin Zuhri, Guruku Orang-orang dari Pesantren, LKIS, 2001), “Ia memang terampil sekali menyalin pidato pembesar Jepang itu ke dalam bahasa Indonesia, sampai-sampai Jepang mengira pidatonya belum selesai. Ia berbicara dengan cepat dan beraksen Jepang juga.” Dalam pertemuan-pertemuan itulah Idham mulai akrab dengan tokoh-tokoh utama NU.
Kabar tentang kunjungan Idham ke Jepang akhirnya sampai juga ke telinga kedua orangtuanya di Amuntai. Bukannya senang, mereka justru khawatir anaknya akan semakin akrab dengan penjajah. Akhirnya Idham disuruh pulang kampung dan tak lama kemudian diserahi tugas mengepalai Madrasah Ar-Rasyidiyyah, yang telah setahun vakum.

Karier Fenomenal

Dengan semangat meledak-ledak ia menata sistem di madrasahnya. Nama Madrasah Ar-Rasyidiyyah ia ganti menjadi Noormaal Islam Amuntai. Ia juga menggalakkan penanaman nasionalisme kepada para guru dan murid-muridnya melalui gerakan kepanduan. Untuk menyiasati pengawasan ketat penjajah Jepang, Idham mengubah syair lagu Indonesia Raya dan lagu-lagu perjuangan lain ke dalam bahasa Arab.

Untuk menggugah kesadaran nasionalisme madrasah dan pesantren lain di Kalimantan Selatan, Idham juga mendirikan Ittihadul Ma’ahidil Islamiyyah (IMI). Segera saja puluhan pesantren dan madrasah bergabung untuk saling menguatkan dan menopang perjuangan masing-masing.
Ketika Jepang kalah perang dan Sekutu masuk Indonesia, Idham Chalid bergabung ke dalam badan-badan perjuangan. Menjelang kemerdekaan, ia aktif dalam Panitia Kemerdekaan Indonesia Daerah (HSU) di kota Amuntai. Setelah Proklamasi Kemerdekaan ia bergabung dengan Persatuan Rakyat Indonesia, sebuah partai lokal yang berjuang mempertahankan kemerdekaan, kemudian pindah ke Serikat Muslim Indonesia (Sermi).

Tahun 1947 ia bergabung dengan Sentral Organisasi Pemberontak Indonesia Kalimantan (SOPIK) yang dipimpin Hassan Basry, muridnya saat di Gontor. Sayap militer SOPIK yang diberi nama Lasykar Saifullah kelak dilebur menjadi Divisi IV Angkatan Laut RI (ALRI). Karena keterlibatannya dalam SOPIK itulah pada tahun 1949 Idham ditangkap tentara NICA.

Usai perang kemerdekaan, Idham diangkat menjadi anggota Parlemen Sementara RI mewakili Kalimantan. Tahun 1950 ia terpilih lagi menjadi anggota DPRS mewakili Masyumi. Dan ketika NU memisahkan diri dari Masyumi, tahun 1952, Idham memilih bergabung dengan Partai Nahdlatul Ulama dan terlibat aktif dalam konsolidasi internal ke daerah-daerah. Pilihannya tepat, sebab lima tahun kemudian Masyumi dibubarkan oleh Presiden Soekarno.

Idham memulai kariernya di NU dengan aktif di GP Ansor. Tahun 1952 ia diangkat sebagai ketua PB Ma’arif, organisasi sayap NU yang bergerak di bidang pendidikan. Pada tahun yang sama ia juga diangkat menjadi sekretaris jenderal partai dan dua tahun kemudian menjadi wakil ketua. Selama masa kampanye Pemilu 1955, Idham memegang peran penting sebagai ketua Lajnah Pemilihan Umum NU (Lapunu), semacam tim pemenangan pemilu.
Sepanjang tahun 1952-1955, ia, yang juga duduk dalam Majelis Pertimbangan Politik PBNU, sering mendampingi Rais Am, K.H. Abdul Wahhab Chasbullah, berkeliling ke seluruh cabang NU di Nusantara. Dari kiai sepuh ahli politik itulah ia banyak belajar ilmu kelihaian berpolitik, seperti teknik berorganisasi, mengorganisir massa, berdebat, berpidato, dan membangun jaringan dukungan serta mengasah instingnya.
Prestasinya semakin menjulang, dalam pemilu NU berhasil menyabet peringkat ketiga setelah PNI dan Masyumi. Apalagi ketika dua tahun kemudian Masyumi dibubarkan, yang praktis membuat NU menjadi satu-satunya partai Islam terbesar dalam kancah perpolitikan tanah air.

Karena perolehan suara yang cukup besar dalam Pemilu 1955, pada pembentukan kabinet tahun berikutnya NU mendapat jatah lima menteri, termasuk satu kursi wakil perdana menteri (waperdam), yang oleh PBNU diserahkan kepada Idham Chalid. Awalnya ia menolak, karena merasa tidak mampu, dan dengan tulus mengusulkan agar jabatan itu diserahkan kepada K.H. Muhammad Dahlan, ketua umum PBNU saat itu.

Namun para ulama sepuh NU bersikukuh pada pilihan pertama, Idham Chalid menjadi waperdam. Baru setelah didesak oleh Mr. Ali Sastroamijoyo, yang terpilih menjadi perdana menteri, Idham bersedia menyandang jabatan tersebut. Kegemilangan karier Idham tak hanya berhenti di situ. Pada Muktamar NU ke-21 yang digelar di Medan bulan Desember tahun yang sama, Idham terpilih menjadi ketua umum PBNU menggantikan Muhammad Dahlan.

Pesatnya peningkatan karier Idham Chalid itu sangat fenomenal, mengingat ia berbeda dari kebanyakan pengurus NU lainnya. Ia baru berusia 35 tahun, tidak mempunyai darah biru pesantren dan alumni Pesantren Modern Gontor, yang dianggap lebih dekat ke Muhammadiyyah daripada NU. Namun begitulah garis takdir yang ditentukan Allah.

Kabinet Ali Sastroamijoyo hanya bertahan setahun, kemudian jatuh dan berganti dengan Kabinet Djuanda. Namun Idham Chalid tetap bertahan di posisi wakil perdana menteri sampai Dekrit Presiden tahun 1959, yang membubarkan parlemen dan Kabinet Djuanda. Idham kemudian ditarik menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung, dan setahun kemudian menjadi wakil ketua MPRS.
Kedekatannya dengan Bung Karno dan Kiai Wahhab, salah seorang penasihat presiden, merupakan salah satu sebab yang membuatnya bertahan di kursi itu sampai tahun 1966. Kedekatan khusus Idham dengan Presiden sebenarnya tidak hanya menguntungkan dirinya sendiri, tetapi juga warga nahdliyyin umumnya. Dengan memanfaatkan hubungan istimewa itu beberapa kali ia menyelamatkan tokoh-tokoh NU dari “kesalahpahaman” Presiden.

Salah seorang tokoh yang pernah ia selamatkan adalah Yusuf Hasyim, yang sempat nyaris dipenjara karena dianggap desersi. Berkat grasi Presiden, atas permintaan Idham Chalid, tokoh yang belakangan dikenal sebagi Pak Ud itu dibebaskan.
Pertengahan tahun 1966 Orde Lama tumbang dan tampillah Orde Baru. Namun posisi Idham di pemerintahan tidak ikut tumbang. Dalam kabinet Ampera yang dibentuk Soeharto, ia dipercaya menjabat menteri kesejahteraan rakyat sampai tahun 1970 dan menteri sosial sampai 1971.

Nahdlatul Ulama yang dipimpin Idham kembali mengulang sukses dalam Pemilu 1971. Namun kesuksesan itu tak mampu membuat sumringah wajah para pemimpin NU, sebab pemilu tersebut menjadi yang terakhir yang diikuti NU. Setelah itu pemerintah melebur seluruh partai menjadi hanya tiga partai: Golkar, PDI, dan PPP. Dan NU tergabung di dalam PPP. Meski muncul ketidakpuasan di hati para pemimpin NU, Idham dan kawan-kawan lebih memilih menurut saja.

Setelah itu Idham Khalid diberi jabatan bergengsi tapi tak bergigi, presiden PPP, yang dijabatnya sampai tahun 1989. Ia juga terpilih menjadi ketua DPR/MPR RI sampai tahun 1977. Setelah itu jabatan ketua selalu menjadi jatah langganan partai pemerintah. Jabatan terakhir yang dipegang Idham Chalid adalah ketua Dewan Pertimbangan Agung.

Kesepakatan yang Dikhianati

Namun di antara berbagai gonjang-ganjing dalam hidupnya, yang paling menyesakkan dada Kiai Idham Chalid adalah konflik Cipete-Situbondo, yang pecah dua tahun menjelang Muktamar NU di Pesantren Asembagus, Situbondo, Jawa Timur, tahun 1984. Konflik itu pada dasarnya merupakan letupan kekecewaan tokoh-tokoh NU atas politik diskriminasi pengurus PPP terhadap para politisi NU.

Peleburan NU ke dalam PPP ini seperti kembali ke masa NU sebagai bagian dari Masyumi. Konflik yang terjadi pada masa lalu ketika NU berada di Masyumi akhirnya berulang dalam PPP. Friksi pada awalnya memang tidak tampak. Namun menjelang Pemilu 1982, ketika Ketua Umum PPP Dr. H.J. Naro menyusun daftar calon legislatif dan dinilai kurang menampung banyak tokoh NU, konflik pun akhirnya muncul.

Pada era Orba tersebut, sikap politikus NU sebenarnya cukup kritis terhadap pemerintah. Setidaknya ada beberapa peristiwa yang mengingatkan kita betapa kader nahdliyyin itu bersuara kritis terhadap pemerintah. Usul interpelasi yang diajukan oleh anggota FPP terhadap kebijakan pemerintah menyangkut NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) waktu itu akhirnya kalah karena kurang mendapat dukungan fraksi lain, terutama Golkar, sebagai pendukung pemerintah. Para politikus NU di PPP juga bersuara keras soal Undang-undang Perkawinan dan masuknya aliran kepercayaan dalam GBHN.

Namun, semua perjuangan itu harus dibayar mahal. Sebab pada perkembangannya, NU, yang berada dalam PPP, akhirnya terpinggirkan. Muktamar I PPP yang digelar di Ancol Jakarta pada 1984, tidak melibatkan Idham Chalid sebagai presiden PPP waktu itu. Mudah diduga, akhirnya orang-orang NU yang semula memegang posisi penting dalam kepengurusan PPP harus menerima kenyataan: hanya sebagai pelengkap. Jabatan pimpinan tertinggi PPP dipegang oleh orang bukan NU, bahkan sekjen juga tidak dipegang NU. Dalam perkembangannya, akhirnya kader-kader NU yang masuk dalam daftar calon jadi anggota DPR jauh berkurang, sedangkan roda partai dikendalikan orang-orang bukan NU. Didominasi Muslimin Indionesia (MI).

Akhirnya, kondisi ini menyadarkan orang-orang NU untuk mengoreksi berbagai hal yang dinilai merugikan NU. Misalnya, karena pada sisi yang lain ketika NU berpolitik, sebagian pemimpinnya sibuk berpolitik, yang berdampak pada terabaikannya urusan sosial-keagamaan, pendidikan, dan lain-lain. Dan tidak mengherankan, kekecewaan orang NU kemudian ditujukan kepada Dr. Idham Chalid, kemudian menjadi konflik Cipete-Situbondo, yang berbuntut pada pengunduran diri (dan pencabutan pengunduran diri) Idham Chalid.

Dalam surat pencabutan pengunduran diri yang ia kirimkan untuk PBNU, yang salinannya diperlihatkan salah satu murid Kiai Idham kepada alKisah pertengahan Desember lalu, sang kiai menuturkan dengan runtut apa yang terjadi seputar pengunduran dirinya dari jabatan ketua umum PBNU dan pencabutannya dua hari kemudian.
Hari itu, 4 Mei 1982, rumah Kiai Idham Chalid kedatangan tamu empat ulama sepuh NU, yaitu K.H. As’ad Syamsul Arifin dari Situbondo, K.H. Makhrus Ali dari Lirboyo, K.H. Ahmad Shiddiq dari Jember, dan K.H. Masykur dari Jakarta. Mereka didampingi K.H. Mujib Ridwan, sekretaris PBNU.
Setelah saling menanyakan kabar, Kiai As’ad selaku juru bicara para kiai sepuh mengatakan, “Karena kesehatan sampean yang semakin menurun, kami meminta sampean melepaskan jabatan ketua umum PBNU.” Karena menghormati para kiai sepuh, tanpa banyak membantah, Idham Chalid bersedia mengundurkan diri.

Kiai Mujib Ridwan, dengan berlinang air mata, kemudian menyerahkan selembar kertas yang sudah dipersiapkan para kiai sepuh yang berisi peryataan pengunduran diri. Sebelum menandatanganinya, Idham mengajukan sebuah syarat. Ia meminta agar pengunduran diri itu tidak diumumkan dulu sampai tanggal 6 Mei 1982.
Kiai Idham, yang tidak ingin ada gejolak, minta waktu untuk menyampaikan peristiwa itu secara perlahan kepada para pengikut dan pendukungnya. Setelah semua yang hadir saat itu menyetujui permintaannya, Idham pun menandatangani surat tersebut.

Namun alangkah terkejutnya Kiai Idham Chalid ketika sore harinya ia mendapat telepon dari Surabaya yang menanyakan kebenaran berita pengunduran dirinya. Tak lama kemudian telepon bertubi-tubi datang dari para pendukunganya di luar Jawa. Mereka mendesak kiai sepuh itu untuk mencabut surat pengunduran dirinya dan kembali menjalankan tugasnya sebagai ketua PBNU.
Kecewa karena perjanjian yang telah disepakati dilanggar, Kiai Idham pun lalu menulis surat pencabutan pengunduran dirinya dan mengirimnya ke PBNU. Keputusan Idham membuat para kiai meradang. Sejak itu muncullah dua kelompok NU yang terus bersitegang hingga pelaksanaan muktamar di Situbondo.

Ketika muktamar digelar, sebenarnya Idham berangkat ke Situbondo. Namun karena banyak gerakan yang berupaya menghalangi kehadirannya, ia pun memilih menginap di sebuah hotel di kawasan wisata pasir putih Situbondo. Meski begitu, dari tanda tangan dukungan peserta muktamar, saat itu Idham telah mengantungi 23 provinsi dari 26 provinsi yang mengikuti muktamar.
Namun lagi-lagi utusan kiai sepuh datang memintanya tidak maju dalam pencalonan ketua umum. Bahkan, menurut salah satu sumber, pemerintah melalui salah seorang pejabat tingginya juga mendesak Idham agar tidak mencalonkan diri, dengan alasan demi menjaga keutuhan NU dan stabilitas politik umat Islam.

Akhirnya Idham mengalah, ia mengundurkan diri dari pencalonan. Baginya kemaslahatan dan keutuhan warga nahdliyyin lebih penting dari apa pun.
Kiai Idham Chalid telah puluhan tahun berjuang mempertahankan stabilitas warga nahdliyyin, berusaha membawa mereka melewati masa transisi dengan selamat, dengan cara apa pun yang dianggapnya halal. Dan Idham rela dicap oportunis demi niat baik tersebut. Namun kali itu ia tidak mau mempertaruhkan keutuhan organisasi yang sangat dicintainya demi jabatan ketua umum. Ia pun kembali ke Jakarta dengan air mata berlinang.
Pengakuan akan sikap Idham yang sangat luar biasa itu juga datang dari Gus Dur, yang dalam satu tulisannya mengisahkan,”…. Demikianlah sikap kesatria yang ditujukan Dr. Idham Chalid. Apa pun kata orang tentang dirinya, ia telah menunjukkan bahwa kepentingan NU (termasuk kepentingan politik dari organisasi keagamaan Islam terbesar di dunia itu) adalah pegangannya.” (Tulisan Gus Dur di gusdur.net yang berjudul Akan Pecahkah NU?).

“Oportunis” demi Umat

Benarkah Idham oportunis seperti yang dituduhkan kalangan muda NU? Tentu benar dalam pengertian oportunis sebagai sebuah siasat untuk menyelamatkan umat. Inilah sikap seorang nahdliyyin dan Sunni sejati. Bukankah doktrin politik Sunni yang diajarkan oleh Al-Baqillani, Al-Mawardi, Ibnu Taymiyyah, bahkan Al-Ghazali, selalu mengajarkan setiap ulama untuk menjadi “oportunis”: dalam konteks untuk menyelamatkan umat dari ancaman penguasa, ulama Sunni boleh mendekati dan berkompromi dengan penguasa. Strategi bersikap “oportunis” demi umat itu pula yang ia pelajari dari para politisi senior NU generasi awal.

Sejak ia mengundurkan diri dari pencalonan, namanya semakin tenggelam dan menghilang dari hiruk-pikuk dunia perpolitikan negeri ini. Juga dari panggung Nahdlatul Ulama, yang telah membesarkan namanya.
Setelah tidak memimpin lagi, baik di NU maupun PPP, Kiai Idham Chalid lebih banyak berada di Cipete, di tengah yayasan pendidikan Darul Ma’arif, yang didirikannya. Ia juga mengurus Jamiyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah, yang kemudian memilihnya menjadi ketua.
Dua minggu sekali Kiai Idham Chalid mengajar kitab di masjid Darul Ma’arif, tak jauh dari rumahnya. Sedangkan untuk memperingati hari-hari besar Islam, ia lebih suka memakai rumahnya di Jalan Mangunsarkoro, Jakarta Pusat, yang selalu disertai dengan pengajian besar-besaran.

Belakangan, untuk mengobati sakit lehernya, Idham acap mondar-mandir ke Singapura dan Jepang.
Dan semua aktivitas itu terhenti ketik delapan tahun lalu Idham terserang stroke. Sejak itu ia lebih banyak menghabiskan sisa usianya di atas pembaringan. Menurut putranya, Aunul Hadi, 40 tahun, dalam sebuah wawancara dengan media, untuk biaya pengobatan sang ayah diperlukan sekitar Rp 10 juta per bulan, yang menjadi tanggungan keluarga. “Untungnya pihak keluarga punya ruko di Jalan Fatmawati, dekat rumah. Hasil penyewaan ruko sebanyak lima pintu ini sebagian untuk mensubsidi perguruan Daarul Ma’arif dan sisanya untuk pengobatan Ayah,” ujar Aunul.
Perguruan Islam ini berkembang dari TK sampai perguruan tinggi, dengan santri dan mahasiswa yang kini jumlahnya lebih dari 1.700 orang. “Dari segi bisnis perguruan Islam ini memang tidak menguntungkan. Dapat bertahan hingga sekarang sudah bagus,” kata Aunul.

Ia mengungkapkan, sebelumnya keluarga ingin membuat perguruan tersebut menjadi perguruan unggulan seperti Al-Azhar, namun ayahnya itu tak berkenan. “Bapak bilang, yang penting anak-anak tukang sapu, tukang sayur, yang miskin dan tak pintar, masih bisa menikmati pendidikan,” ujar Syaiful Hadi, 45 tahun, putra lainnya.

Idham sendiri telah mewakafkan setengah dari 1,5 hektare luas perguruan Daarul Ma’arif ini. Sedangkan, setengah bagian lainnya diwariskan untuk keluarganya. Tokoh yang mendapat gelar doktor honoris causa dari Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, bersama Buya Hamka ini juga telah mendirikan Daarul Qur’an di Cisarua, Bogor, dan juga telah mewakafkan perguruan dengan luas 3.500 meter persegi ini kepada umat. Di sini ia memelihara ratusan anak yatim piatu. Menurut Aunul, ayahnya itu telah berwasiat, bila meninggal kelak jasadnya dimakamkan di tempat tersebut.
Idham, yang sederhana dan teguh pendirian, pernah menolak jabatan wakil presiden hingga dua kali pada masa Presiden Soeharto. Dalam buku Memori Jenderal Yoga Sugama ditulis, ketika disodori jabatan untuk menggantikan Sri Sultan sebagai wapres, Idham menolaknya. Akhirnya pilihan jatuh pada Adam Malik, yang saat itu menjabat ketua MPR/DPR hasil Pemilu 1977. Pada 1983, Idham juga menolak ketika ditawari menjadi ketua umum MUI. Beragam penolakan juga dilakukan Idham saat hendak dianugerahi Ramon Magsasay Award oleh pemerintah Filipina.

Alasannya, Presiden Marcos kala itu tak berlaku demokratis, dan menekan kaum muslim Moro.
Dan kini, di usianya yang telah sangat senja, 85 tahun, Idham Chalid, politisi NU yang paiawai itu, tengah terbaring sakit. Mempertimbangkan jasa dan pengabdiannya yang luar biasa bagi NU, mungkin sudah saatnya kita mengembalikan nama baik dan kehormatannya. Tentu dengan iringan maaf bila ada sedikit kekhilafan yang membayangi langkah dan kebijakannya, serta doa agar kesehatannya semakin membaik. Amin.

Kiriman Gus Nor Slamet - Ngaji Ala NU 4

-------------------------------------------------------------------------------
Mohon doa, bimbingan, arahan dan nasehat serta motivasinya selalu. 🙏🙏

#El_HaChannel
#LsmAqilaQuds
#AlmasBatrisyia
#GandrungSembako
#AngkringanGrahaElpiji
#H2_KrandonMajuBarokah


KH.Idham Kholid: Alumni Gontor Gemar Amalkan Dalailul Khoirot Syekh Sulaiman Al Jazuly 

K.H. Idham Chalid: Mengalah demi Keutuhan NU
Jasanya sangat luar biasa bagi NU. Ia membawa ormas berjuta umat itu melewati masa transisi berdarah dari Orde Lama ke Orde Baru dengan selamat. Namun akhirnya ia disingkirkan dan terlupakan.

Pernah mendengar kisah Khalifah Umar bin Khaththab menyurati Sungai Nil di Mesir? Cerita yang sedikit memiliki kemiripan juga pernah terjadi di Indonesia pada paruh kedua abad ke-20. Tepatnya di Provinsi Kalimantan Selatan.
Diceritakan, suatu ketika keluarga Kesultanan Banjar dan pemerintah daerah setempat bermaksud memindahkan sebuah makam di tengah rimba yang diyakini sebagai makam Pangeran Antasari, pejuang kemerdekaan dari Banjar, ke pemakaman keluarga keraton. Namun sayangnya upaya itu gagal, karena selalu diganggu binatang buas dan makhluk ghaib penunggu hutan.

Setelah melalui proses istikharah, keluarga keraton mendapat isyarah, petunjuk, bahwa hanya satu orang yang bisa menembus penjagaan ajaib maklhuk rimba itu. Ia adalah seorang ulama sepuh asal Amuntai, Kalimantan Selatan, yang saat itu tengah bertugas di Jakarta.
Panitia pemindahan makam Pangeran Antasari pun menghubungi sang kiai. Uniknya, bukannya ikut berangkat bersama rombongan panitia, kiai kelahiran Kalimantan Selatan itu malah menulis sepucuk surat yang ditujukan kepada para “penunggu” hutan. Isinya, perintah agar semua pengganggu menyingkir dari area makam Pangeran Antasari.

Hebatnya, setelah surat itu dibacakan di tepi hutan, tak ada satu pun binatang buas dan makhluk halus yang menampakkan diri. Proses pemindahan makam sang pejuang pun berjalan lancar, tanpa hambatan.
Peristiwa ajaib itu, yang konon diceritakan sendiri oleh sang kiai dalam sebuah kesempatan, terlepas dari benar atau tidaknya, sangat lekat di benak murid-muridnya. Namun agaknya sulit meminta konfirmasi kebenaran cerita luar biasa tersebut, sebab sejak beberapa tahun lalu sang kiai terbaring lemah di kamarnya, berjuang melawan penyakit stroke yang menggerogoti usia rentanya.

Meski tergolek tanpa daya, bukan berarti nama sang kiai ikut padam. Sebab, siapa pun yang hendak menyusuri sejarah perjalanan Nahdlatul Ulama sejak era 1950 hingga 1980-an, pasti akan menyebut namanya. Sang kiai dikenal sebagai salah satu ulama politisi NU yang paling lihai berkelit dari arus perubahan di negeri ini. Dengan liat, namanya bertahan di kancah perpolitikan tanah air, meski banyak rekannya yang telah tersingkir dilibas lawan-lawan politik mereka.

Baru ketika dihadapkan pada ancaman perpecahan dalam tubuh NU, organisasi yang sangat dicintainya, ia menyerah. Demi keutuhan ormas bentukan para kiai di awal abad ke-20 itu, ia rela menyingkir dari panggung sosial-politik yang telah membesarkan namanya dan pernah mendudukkannya di kursi wakil perdana menteri Republik Indonesia, bahkan di jabatan tertinggi negeri ini, ketua DPR/MPR RI.

Dialah K.H. Idham Chalid, pemimpin Perguruan Darul Ma’arif Cipete, Jakarta Selatan, yang juga mantan ketua umum PBNU dan mantan rais syuriah Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Muktabarah An-Nahdliyyah (Jatman).
Menyebut nama Kiai Idham Chalid, ingatan kita pasti akan segera melayang pada gonjang-ganjing NU pada tahun 1982-1984, yang melahirkan sekaligus menghadap-hadapkan dua kubu tokoh-tokoh nahdliyyin: kubu Cipete dan kubu Situbondo. Konflik internal NU itu juga yang kemudian membuat Idham dianggap “kontroversial” dalam sejarah perpolitikan Nahdlatul Ulama: ia dicitranegatifkan sebagai politisi yang tidak memiliki pendirian, egois, dan menguntungkan pihak penguasa. Bahkan karena sikapnya yang sering dianggap mengambang, salah satu organisasi kepemudaan NU menjulukinya “politikus gabus”.

Tak banyak yang mau melihat sisi lain kebijakan-kebijakan Kiai Idham tersebut yang sebenarnya sangat NU dan sangat Sunni. Sebagai politisi besar NU yang lihai, Idham memang memainkan dua lakon berbeda, sebagai politisi dan ulama. Sebagai politisi, ia melakukan gerakan strategis, kompromistis, dan terkesan pragmatis. Sebagai ulama, ia bersikap fleksibel dengan tetap tidak terlepas dari jalur Islam dan tradisi yang diembannya.

Semua itu ia lakukan sebagai bagian dari upaya kerasnya menjaga stabilitas grass root atau kalangan bawah nahdliyyin, yang menjadi tanggung jawabnya, agar selamat fisik dan spiritual melewati masa-masa gawat transisi dari Orde Lama ke Orde Baru, yang berdarah-darah. Kiai Idham tidak peduli dengan berbagai stereotip yang ia sadari bakal menimpanya, asal menghasilkan kemaslahatan banyak orang.

Strategi politik tersebut dilandaskan pada tiga prinsip. Pertama, lebih menekankan sikap hati-hati, luwes, dan memilih jalan tengah ketimbang sikap memusuhi dan konfrontasi, yang justru membahayakan kepentingan umat. Kedua, politik yang memperhitungkan kekuatan umatnya di hadapan kekuatan rezim atau kekuatan lain di tengah masyarakat. Ketiga, menggunakan pendekatan partisipatoris terhadap pemerintah sehingga mampu memengaruhi kebijakan penguasa demi kemaslahatan umat.

Menurut Idham, NU harus ikut andil dalam kekuasaan sebagai kekuatan penyeimbang. Cara ini dianggap lebih tepat dalam menghasilkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang pro umat, daripada berada di luar kekuasaan, yang justru membuat sulit bergerak.
Efek kebijaksanaannya sangat luar biasa. Ia menjadi sangat berakar di kalangan bawah kaum nahdliyyin, terutama di luar Jawa, dan mampu bertahan di kancah perpolitikan tanah air lebih dari tiga dekade. Namun sayang, belakangan kharismanya dianggap sebagai ancaman oleh penguasa. Dengan memanfaatkan isu kembali ke khiththah 1926 yang tengah digaungkan kalangan muda NU, di muktamar Situbondo 1984, pihak lawan membuat Idham terjungkal dari kursinya.

Cerdas dan Pemberani
Idham Chalid, yang lahir pada tanggal 27 Agustus 1922 di Setui, dekat Kecamatan Kotabaru, bagian tenggara Kalimantan Selatan, adalah anak sulung dari lima bersaudara. Ayahnya H. Muhammad Chalid, penghulu asal Amuntai, Hulu Sungai Tengah, sekitar 200 km dari Banjarmasin. Saat usia Idham enam tahun, keluarganya hijrah ke Amuntai dan tinggal di daerah Tangga Ulin, kampung halaman leluhur ayahnya.

Idham kecil dikenal sangat cerdas dan pemberani. Saat masuk SR, misalnya, ia langsung duduk di kelas dua. Dan sejak duduk di bangku SR itulah bakat pidatonya mulai terlihat dan terasah. Pada tanggal 13 Agustus 1934, Idham, yang duduk di bangku kelas enam, mendapat kesempatan berpidato di hadapan teman-teman dan gurunya.
Dengan memukau ia menyampaikan materi pidato yang dibuatkan gurunya di luar kepala. Sejak itu ia semakin sering diminta berpidato di depan khalayak ramai dan berproses menjadi seorang orator ulung. Haji Napiah, sahabatnya semasa sekolah, menceritakan, karena tubuhnya tak lebih tinggi daripada podium, saat berpidato sering kali Idham menggunakan bangku untuk alas berdiri, agar wajahnya bisa terlihat oleh penonton.

Keahlian berorasi itu pula yang kelak menjadi modal utama Idham Chalid dalam meniti karier di jagat politik. Bahkan, beberapa dasawarsa kemudian, muballigh sekelas K.H. Zainudin M.Z. dan K.H. Syukran Ma’mun pun datang untuk berguru ilmu pidato kepadanya.
Selepas SR, Idham melanjutkan pendidikannya ke Madrasah Ar-Rasyidiyyah, yang didirikan oleh Tuan Guru Abdurrasyid, alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo, pada tahun 1922. Sekolah yang awalnya bernama Arabisch School itu bermula dari pengajian kitab yang diasuh sang Tuan Guru di rumahnya.

Kebetulan, saat Idham bersekolah di sana, beberapa guru lulusan Pesantren Gontor, yang terkenal dengan kelebihannya dalam pendidikan bahasa, direkrut untuk membantu mengembangkan pendidikan. Hal itu membuat Idham yang sedang tumbuh dan gandrung dengan pengetahuan mendapatkan banyak kesempatan untuk mendalami bahasa Arab, bahasa Inggris, dan ilmu pengetahuan umum.

Di mata para siswa dan wali murid, guru-guru alumni Gontor itu sangat hebat. Tak mengherankan, banyak siswa, termasuk Idham, bercita-cita melanjutkan pendidikannya ke pesantren yang didirikan oleh K.H. Imam Zarkasyi di Ponorogo, Jawa Timur, itu. Dan belasan tahun kemudian kehebatan Idham Chalid yang telah menjadi alumnus Gontor juga menginspirasi banyak orangtua nahdliyyin untuk mengirimkan anaknya nyantri di Gontor.

Di Gontor, otak cerdas Idham Chalid lagi-lagi membuat namanya bersinar. Durasi belajar yang umumnya ditempuh selama delapan tahun dilewatinya hanya dalam tempo lima tahun. Tiga tahun di Kuliyyatul Mu’alimin dan dua tahun di Kweekschool Islam Bovenbouw.

Kegiatan favoritnya di pesantren adalah kepanduan, yang kelak ditularkan kepada murid-muridnya di Amuntai dan di Cipete. Kesempatan belajar di Gontor juga dimanfaatkan Idham untuk memperdalam bahasa Jepang, Jerman, dan Prancis. Maka, ditambah modal awal penguasaan bahasa Arab, Inggris, dan Belanda, praktis Idham menguasai enam bahasa.

Tamat dari Gontor, 1943, Idham, yang gemar mengamalkan wirid Dalailul Khairat, melanjutkan pendidikan di Jakarta. Di kota itu kefasihan Idham dalam berbahasa Jepang membuat penjajah Dai-Nipon sangat kagum. Dalam sebuah kesempatan Idham bahkan diundang berkunjung ke Negeri Sakura. Pihak Jepang juga sering memintanya menjadi penerjemah dalam beberapa pertemuan dengan alim ulama.

Kenangan akan hal itu terekam dengan baik dalam ingatan K.H. Saifudin Zuhri (K.H. Saifudin Zuhri, Guruku Orang-orang dari Pesantren, LKIS, 2001), “Ia memang terampil sekali menyalin pidato pembesar Jepang itu ke dalam bahasa Indonesia, sampai-sampai Jepang mengira pidatonya belum selesai. Ia berbicara dengan cepat dan beraksen Jepang juga.” Dalam pertemuan-pertemuan itulah Idham mulai akrab dengan tokoh-tokoh utama NU.
Kabar tentang kunjungan Idham ke Jepang akhirnya sampai juga ke telinga kedua orangtuanya di Amuntai. Bukannya senang, mereka justru khawatir anaknya akan semakin akrab dengan penjajah. Akhirnya Idham disuruh pulang kampung dan tak lama kemudian diserahi tugas mengepalai Madrasah Ar-Rasyidiyyah, yang telah setahun vakum.

Karier Fenomenal

Dengan semangat meledak-ledak ia menata sistem di madrasahnya. Nama Madrasah Ar-Rasyidiyyah ia ganti menjadi Noormaal Islam Amuntai. Ia juga menggalakkan penanaman nasionalisme kepada para guru dan murid-muridnya melalui gerakan kepanduan. Untuk menyiasati pengawasan ketat penjajah Jepang, Idham mengubah syair lagu Indonesia Raya dan lagu-lagu perjuangan lain ke dalam bahasa Arab.

Untuk menggugah kesadaran nasionalisme madrasah dan pesantren lain di Kalimantan Selatan, Idham juga mendirikan Ittihadul Ma’ahidil Islamiyyah (IMI). Segera saja puluhan pesantren dan madrasah bergabung untuk saling menguatkan dan menopang perjuangan masing-masing.
Ketika Jepang kalah perang dan Sekutu masuk Indonesia, Idham Chalid bergabung ke dalam badan-badan perjuangan. Menjelang kemerdekaan, ia aktif dalam Panitia Kemerdekaan Indonesia Daerah (HSU) di kota Amuntai. Setelah Proklamasi Kemerdekaan ia bergabung dengan Persatuan Rakyat Indonesia, sebuah partai lokal yang berjuang mempertahankan kemerdekaan, kemudian pindah ke Serikat Muslim Indonesia (Sermi).

Tahun 1947 ia bergabung dengan Sentral Organisasi Pemberontak Indonesia Kalimantan (SOPIK) yang dipimpin Hassan Basry, muridnya saat di Gontor. Sayap militer SOPIK yang diberi nama Lasykar Saifullah kelak dilebur menjadi Divisi IV Angkatan Laut RI (ALRI). Karena keterlibatannya dalam SOPIK itulah pada tahun 1949 Idham ditangkap tentara NICA.

Usai perang kemerdekaan, Idham diangkat menjadi anggota Parlemen Sementara RI mewakili Kalimantan. Tahun 1950 ia terpilih lagi menjadi anggota DPRS mewakili Masyumi. Dan ketika NU memisahkan diri dari Masyumi, tahun 1952, Idham memilih bergabung dengan Partai Nahdlatul Ulama dan terlibat aktif dalam konsolidasi internal ke daerah-daerah. Pilihannya tepat, sebab lima tahun kemudian Masyumi dibubarkan oleh Presiden Soekarno.

Idham memulai kariernya di NU dengan aktif di GP Ansor. Tahun 1952 ia diangkat sebagai ketua PB Ma’arif, organisasi sayap NU yang bergerak di bidang pendidikan. Pada tahun yang sama ia juga diangkat menjadi sekretaris jenderal partai dan dua tahun kemudian menjadi wakil ketua. Selama masa kampanye Pemilu 1955, Idham memegang peran penting sebagai ketua Lajnah Pemilihan Umum NU (Lapunu), semacam tim pemenangan pemilu.
Sepanjang tahun 1952-1955, ia, yang juga duduk dalam Majelis Pertimbangan Politik PBNU, sering mendampingi Rais Am, K.H. Abdul Wahhab Chasbullah, berkeliling ke seluruh cabang NU di Nusantara. Dari kiai sepuh ahli politik itulah ia banyak belajar ilmu kelihaian berpolitik, seperti teknik berorganisasi, mengorganisir massa, berdebat, berpidato, dan membangun jaringan dukungan serta mengasah instingnya.
Prestasinya semakin menjulang, dalam pemilu NU berhasil menyabet peringkat ketiga setelah PNI dan Masyumi. Apalagi ketika dua tahun kemudian Masyumi dibubarkan, yang praktis membuat NU menjadi satu-satunya partai Islam terbesar dalam kancah perpolitikan tanah air.

Karena perolehan suara yang cukup besar dalam Pemilu 1955, pada pembentukan kabinet tahun berikutnya NU mendapat jatah lima menteri, termasuk satu kursi wakil perdana menteri (waperdam), yang oleh PBNU diserahkan kepada Idham Chalid. Awalnya ia menolak, karena merasa tidak mampu, dan dengan tulus mengusulkan agar jabatan itu diserahkan kepada K.H. Muhammad Dahlan, ketua umum PBNU saat itu.

Namun para ulama sepuh NU bersikukuh pada pilihan pertama, Idham Chalid menjadi waperdam. Baru setelah didesak oleh Mr. Ali Sastroamijoyo, yang terpilih menjadi perdana menteri, Idham bersedia menyandang jabatan tersebut. Kegemilangan karier Idham tak hanya berhenti di situ. Pada Muktamar NU ke-21 yang digelar di Medan bulan Desember tahun yang sama, Idham terpilih menjadi ketua umum PBNU menggantikan Muhammad Dahlan.

Pesatnya peningkatan karier Idham Chalid itu sangat fenomenal, mengingat ia berbeda dari kebanyakan pengurus NU lainnya. Ia baru berusia 35 tahun, tidak mempunyai darah biru pesantren dan alumni Pesantren Modern Gontor, yang dianggap lebih dekat ke Muhammadiyyah daripada NU. Namun begitulah garis takdir yang ditentukan Allah.

Kabinet Ali Sastroamijoyo hanya bertahan setahun, kemudian jatuh dan berganti dengan Kabinet Djuanda. Namun Idham Chalid tetap bertahan di posisi wakil perdana menteri sampai Dekrit Presiden tahun 1959, yang membubarkan parlemen dan Kabinet Djuanda. Idham kemudian ditarik menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung, dan setahun kemudian menjadi wakil ketua MPRS.
Kedekatannya dengan Bung Karno dan Kiai Wahhab, salah seorang penasihat presiden, merupakan salah satu sebab yang membuatnya bertahan di kursi itu sampai tahun 1966. Kedekatan khusus Idham dengan Presiden sebenarnya tidak hanya menguntungkan dirinya sendiri, tetapi juga warga nahdliyyin umumnya. Dengan memanfaatkan hubungan istimewa itu beberapa kali ia menyelamatkan tokoh-tokoh NU dari “kesalahpahaman” Presiden.

Salah seorang tokoh yang pernah ia selamatkan adalah Yusuf Hasyim, yang sempat nyaris dipenjara karena dianggap desersi. Berkat grasi Presiden, atas permintaan Idham Chalid, tokoh yang belakangan dikenal sebagi Pak Ud itu dibebaskan.
Pertengahan tahun 1966 Orde Lama tumbang dan tampillah Orde Baru. Namun posisi Idham di pemerintahan tidak ikut tumbang. Dalam kabinet Ampera yang dibentuk Soeharto, ia dipercaya menjabat menteri kesejahteraan rakyat sampai tahun 1970 dan menteri sosial sampai 1971.

Nahdlatul Ulama yang dipimpin Idham kembali mengulang sukses dalam Pemilu 1971. Namun kesuksesan itu tak mampu membuat sumringah wajah para pemimpin NU, sebab pemilu tersebut menjadi yang terakhir yang diikuti NU. Setelah itu pemerintah melebur seluruh partai menjadi hanya tiga partai: Golkar, PDI, dan PPP. Dan NU tergabung di dalam PPP. Meski muncul ketidakpuasan di hati para pemimpin NU, Idham dan kawan-kawan lebih memilih menurut saja.

Setelah itu Idham Khalid diberi jabatan bergengsi tapi tak bergigi, presiden PPP, yang dijabatnya sampai tahun 1989. Ia juga terpilih menjadi ketua DPR/MPR RI sampai tahun 1977. Setelah itu jabatan ketua selalu menjadi jatah langganan partai pemerintah. Jabatan terakhir yang dipegang Idham Chalid adalah ketua Dewan Pertimbangan Agung.

Kesepakatan yang Dikhianati

Namun di antara berbagai gonjang-ganjing dalam hidupnya, yang paling menyesakkan dada Kiai Idham Chalid adalah konflik Cipete-Situbondo, yang pecah dua tahun menjelang Muktamar NU di Pesantren Asembagus, Situbondo, Jawa Timur, tahun 1984. Konflik itu pada dasarnya merupakan letupan kekecewaan tokoh-tokoh NU atas politik diskriminasi pengurus PPP terhadap para politisi NU.

Peleburan NU ke dalam PPP ini seperti kembali ke masa NU sebagai bagian dari Masyumi. Konflik yang terjadi pada masa lalu ketika NU berada di Masyumi akhirnya berulang dalam PPP. Friksi pada awalnya memang tidak tampak. Namun menjelang Pemilu 1982, ketika Ketua Umum PPP Dr. H.J. Naro menyusun daftar calon legislatif dan dinilai kurang menampung banyak tokoh NU, konflik pun akhirnya muncul.

Pada era Orba tersebut, sikap politikus NU sebenarnya cukup kritis terhadap pemerintah. Setidaknya ada beberapa peristiwa yang mengingatkan kita betapa kader nahdliyyin itu bersuara kritis terhadap pemerintah. Usul interpelasi yang diajukan oleh anggota FPP terhadap kebijakan pemerintah menyangkut NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) waktu itu akhirnya kalah karena kurang mendapat dukungan fraksi lain, terutama Golkar, sebagai pendukung pemerintah. Para politikus NU di PPP juga bersuara keras soal Undang-undang Perkawinan dan masuknya aliran kepercayaan dalam GBHN.

Namun, semua perjuangan itu harus dibayar mahal. Sebab pada perkembangannya, NU, yang berada dalam PPP, akhirnya terpinggirkan. Muktamar I PPP yang digelar di Ancol Jakarta pada 1984, tidak melibatkan Idham Chalid sebagai presiden PPP waktu itu. Mudah diduga, akhirnya orang-orang NU yang semula memegang posisi penting dalam kepengurusan PPP harus menerima kenyataan: hanya sebagai pelengkap. Jabatan pimpinan tertinggi PPP dipegang oleh orang bukan NU, bahkan sekjen juga tidak dipegang NU. Dalam perkembangannya, akhirnya kader-kader NU yang masuk dalam daftar calon jadi anggota DPR jauh berkurang, sedangkan roda partai dikendalikan orang-orang bukan NU. Didominasi Muslimin Indionesia (MI).

Akhirnya, kondisi ini menyadarkan orang-orang NU untuk mengoreksi berbagai hal yang dinilai merugikan NU. Misalnya, karena pada sisi yang lain ketika NU berpolitik, sebagian pemimpinnya sibuk berpolitik, yang berdampak pada terabaikannya urusan sosial-keagamaan, pendidikan, dan lain-lain. Dan tidak mengherankan, kekecewaan orang NU kemudian ditujukan kepada Dr. Idham Chalid, kemudian menjadi konflik Cipete-Situbondo, yang berbuntut pada pengunduran diri (dan pencabutan pengunduran diri) Idham Chalid.

Dalam surat pencabutan pengunduran diri yang ia kirimkan untuk PBNU, yang salinannya diperlihatkan salah satu murid Kiai Idham kepada alKisah pertengahan Desember lalu, sang kiai menuturkan dengan runtut apa yang terjadi seputar pengunduran dirinya dari jabatan ketua umum PBNU dan pencabutannya dua hari kemudian.
Hari itu, 4 Mei 1982, rumah Kiai Idham Chalid kedatangan tamu empat ulama sepuh NU, yaitu K.H. As’ad Syamsul Arifin dari Situbondo, K.H. Makhrus Ali dari Lirboyo, K.H. Ahmad Shiddiq dari Jember, dan K.H. Masykur dari Jakarta. Mereka didampingi K.H. Mujib Ridwan, sekretaris PBNU.
Setelah saling menanyakan kabar, Kiai As’ad selaku juru bicara para kiai sepuh mengatakan, “Karena kesehatan sampean yang semakin menurun, kami meminta sampean melepaskan jabatan ketua umum PBNU.” Karena menghormati para kiai sepuh, tanpa banyak membantah, Idham Chalid bersedia mengundurkan diri.

Kiai Mujib Ridwan, dengan berlinang air mata, kemudian menyerahkan selembar kertas yang sudah dipersiapkan para kiai sepuh yang berisi peryataan pengunduran diri. Sebelum menandatanganinya, Idham mengajukan sebuah syarat. Ia meminta agar pengunduran diri itu tidak diumumkan dulu sampai tanggal 6 Mei 1982.
Kiai Idham, yang tidak ingin ada gejolak, minta waktu untuk menyampaikan peristiwa itu secara perlahan kepada para pengikut dan pendukungnya. Setelah semua yang hadir saat itu menyetujui permintaannya, Idham pun menandatangani surat tersebut.

Namun alangkah terkejutnya Kiai Idham Chalid ketika sore harinya ia mendapat telepon dari Surabaya yang menanyakan kebenaran berita pengunduran dirinya. Tak lama kemudian telepon bertubi-tubi datang dari para pendukunganya di luar Jawa. Mereka mendesak kiai sepuh itu untuk mencabut surat pengunduran dirinya dan kembali menjalankan tugasnya sebagai ketua PBNU.
Kecewa karena perjanjian yang telah disepakati dilanggar, Kiai Idham pun lalu menulis surat pencabutan pengunduran dirinya dan mengirimnya ke PBNU. Keputusan Idham membuat para kiai meradang. Sejak itu muncullah dua kelompok NU yang terus bersitegang hingga pelaksanaan muktamar di Situbondo.

Ketika muktamar digelar, sebenarnya Idham berangkat ke Situbondo. Namun karena banyak gerakan yang berupaya menghalangi kehadirannya, ia pun memilih menginap di sebuah hotel di kawasan wisata pasir putih Situbondo. Meski begitu, dari tanda tangan dukungan peserta muktamar, saat itu Idham telah mengantungi 23 provinsi dari 26 provinsi yang mengikuti muktamar.
Namun lagi-lagi utusan kiai sepuh datang memintanya tidak maju dalam pencalonan ketua umum. Bahkan, menurut salah satu sumber, pemerintah melalui salah seorang pejabat tingginya juga mendesak Idham agar tidak mencalonkan diri, dengan alasan demi menjaga keutuhan NU dan stabilitas politik umat Islam.

Akhirnya Idham mengalah, ia mengundurkan diri dari pencalonan. Baginya kemaslahatan dan keutuhan warga nahdliyyin lebih penting dari apa pun.
Kiai Idham Chalid telah puluhan tahun berjuang mempertahankan stabilitas warga nahdliyyin, berusaha membawa mereka melewati masa transisi dengan selamat, dengan cara apa pun yang dianggapnya halal. Dan Idham rela dicap oportunis demi niat baik tersebut. Namun kali itu ia tidak mau mempertaruhkan keutuhan organisasi yang sangat dicintainya demi jabatan ketua umum. Ia pun kembali ke Jakarta dengan air mata berlinang.
Pengakuan akan sikap Idham yang sangat luar biasa itu juga datang dari Gus Dur, yang dalam satu tulisannya mengisahkan,”…. Demikianlah sikap kesatria yang ditujukan Dr. Idham Chalid. Apa pun kata orang tentang dirinya, ia telah menunjukkan bahwa kepentingan NU (termasuk kepentingan politik dari organisasi keagamaan Islam terbesar di dunia itu) adalah pegangannya.” (Tulisan Gus Dur di gusdur.net yang berjudul Akan Pecahkah NU?).

“Oportunis” demi Umat

Benarkah Idham oportunis seperti yang dituduhkan kalangan muda NU? Tentu benar dalam pengertian oportunis sebagai sebuah siasat untuk menyelamatkan umat. Inilah sikap seorang nahdliyyin dan Sunni sejati. Bukankah doktrin politik Sunni yang diajarkan oleh Al-Baqillani, Al-Mawardi, Ibnu Taymiyyah, bahkan Al-Ghazali, selalu mengajarkan setiap ulama untuk menjadi “oportunis”: dalam konteks untuk menyelamatkan umat dari ancaman penguasa, ulama Sunni boleh mendekati dan berkompromi dengan penguasa. Strategi bersikap “oportunis” demi umat itu pula yang ia pelajari dari para politisi senior NU generasi awal.

Sejak ia mengundurkan diri dari pencalonan, namanya semakin tenggelam dan menghilang dari hiruk-pikuk dunia perpolitikan negeri ini. Juga dari panggung Nahdlatul Ulama, yang telah membesarkan namanya.
Setelah tidak memimpin lagi, baik di NU maupun PPP, Kiai Idham Chalid lebih banyak berada di Cipete, di tengah yayasan pendidikan Darul Ma’arif, yang didirikannya. Ia juga mengurus Jamiyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah, yang kemudian memilihnya menjadi ketua.
Dua minggu sekali Kiai Idham Chalid mengajar kitab di masjid Darul Ma’arif, tak jauh dari rumahnya. Sedangkan untuk memperingati hari-hari besar Islam, ia lebih suka memakai rumahnya di Jalan Mangunsarkoro, Jakarta Pusat, yang selalu disertai dengan pengajian besar-besaran.

Belakangan, untuk mengobati sakit lehernya, Idham acap mondar-mandir ke Singapura dan Jepang.
Dan semua aktivitas itu terhenti ketik delapan tahun lalu Idham terserang stroke. Sejak itu ia lebih banyak menghabiskan sisa usianya di atas pembaringan. Menurut putranya, Aunul Hadi, 40 tahun, dalam sebuah wawancara dengan media, untuk biaya pengobatan sang ayah diperlukan sekitar Rp 10 juta per bulan, yang menjadi tanggungan keluarga. “Untungnya pihak keluarga punya ruko di Jalan Fatmawati, dekat rumah. Hasil penyewaan ruko sebanyak lima pintu ini sebagian untuk mensubsidi perguruan Daarul Ma’arif dan sisanya untuk pengobatan Ayah,” ujar Aunul.
Perguruan Islam ini berkembang dari TK sampai perguruan tinggi, dengan santri dan mahasiswa yang kini jumlahnya lebih dari 1.700 orang. “Dari segi bisnis perguruan Islam ini memang tidak menguntungkan. Dapat bertahan hingga sekarang sudah bagus,” kata Aunul.

Ia mengungkapkan, sebelumnya keluarga ingin membuat perguruan tersebut menjadi perguruan unggulan seperti Al-Azhar, namun ayahnya itu tak berkenan. “Bapak bilang, yang penting anak-anak tukang sapu, tukang sayur, yang miskin dan tak pintar, masih bisa menikmati pendidikan,” ujar Syaiful Hadi, 45 tahun, putra lainnya.

Idham sendiri telah mewakafkan setengah dari 1,5 hektare luas perguruan Daarul Ma’arif ini. Sedangkan, setengah bagian lainnya diwariskan untuk keluarganya. Tokoh yang mendapat gelar doktor honoris causa dari Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, bersama Buya Hamka ini juga telah mendirikan Daarul Qur’an di Cisarua, Bogor, dan juga telah mewakafkan perguruan dengan luas 3.500 meter persegi ini kepada umat. Di sini ia memelihara ratusan anak yatim piatu. Menurut Aunul, ayahnya itu telah berwasiat, bila meninggal kelak jasadnya dimakamkan di tempat tersebut.
Idham, yang sederhana dan teguh pendirian, pernah menolak jabatan wakil presiden hingga dua kali pada masa Presiden Soeharto. Dalam buku Memori Jenderal Yoga Sugama ditulis, ketika disodori jabatan untuk menggantikan Sri Sultan sebagai wapres, Idham menolaknya. Akhirnya pilihan jatuh pada Adam Malik, yang saat itu menjabat ketua MPR/DPR hasil Pemilu 1977. Pada 1983, Idham juga menolak ketika ditawari menjadi ketua umum MUI. Beragam penolakan juga dilakukan Idham saat hendak dianugerahi Ramon Magsasay Award oleh pemerintah Filipina.

Alasannya, Presiden Marcos kala itu tak berlaku demokratis, dan menekan kaum muslim Moro.
Dan kini, di usianya yang telah sangat senja, 85 tahun, Idham Chalid, politisi NU yang paiawai itu, tengah terbaring sakit. Mempertimbangkan jasa dan pengabdiannya yang luar biasa bagi NU, mungkin sudah saatnya kita mengembalikan nama baik dan kehormatannya. Tentu dengan iringan maaf bila ada sedikit kekhilafan yang membayangi langkah dan kebijakannya, serta doa agar kesehatannya semakin membaik. Amin.

Kiriman Gus Nor Slamet - Ngaji Ala NU 4

-------------------------------------------------------------------------------
Mohon doa, bimbingan, arahan dan nasehat serta motivasinya selalu. 🙏🙏

#El_HaChannel
#LsmAqilaQuds
#AlmasBatrisyia
#GandrungSembako
#AngkringanGrahaElpiji
#H2_KrandonMajuBarokah

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget