Dari Perjanjian Hudaibiyah dan Tahkim Hingga Piagam Jakarta dan Pancasila
Salah satu hal yang diupayakan oleh Rasulullah dalam mengembangkan Islam adalah jalur diplomasi. Baik dengan mengirimkan surat-surat ke para penguasa di sekitar Hijaz, maupun dengan perjanjian-perjanjian damai dengan suku sekitar Madinah. Misalnya saja Rasulullah menjalin perjanjian damai dengan Suku Khuza’ah. Namun perjanjian besar yang kerap dibicarakan dalam sejarah adalah shulh hudaibiyah, perjanjian Hudaibiyah.
Peristiwa ini disebutkan terjadi pada bulan Dzulqo’dah tahun keenam Hijriyah. Kesepakatan itu adalah kesepakatan damai antara kaum kafir Quraisy yang dipimpin oleh Suhail bin ‘Amr sedangkan di pihak kaum muslim Madinah, langsung diwakili oleh Rasulullah SAW. Perjanjian ini terkenal, karena pihak muslim, terutama di kalangan sahabat Rasulullah sendiri yang menganggap perjanjian ini tidak seimbang. Bahkan merugikan kedudukan umat Islam. Diantara isi perjanjian itu adalah, jika ada orang dari kalangan musyrik Mekah yang menyeberang ke Madinah tanpa seizin keluarganya, maka harus dikembalikan ke Mekah. Namun jika ada kaum muslim Madinah yang kembali ke Mekah, maka tak harus dikembalikan. Setiap pihak dari Mekah dan Madinah boleh membangun aliansi dengan suku-suku Arab yang dikehendaki. Ketika itu kaum Muslim Madinah membangun aliansi dengan suku Khuza’ah, sedangkan Bani Bakar membangun aliansi dengan musyrikin Mekah.
Termasuk isi perjanjian Hudaibiyah adalah Rasulullah dan rombongan dilarang masuk Mekah tahun itu, namun boleh kembali tahun depan dengan syarat tanpa membawa senjata kecuali pedang yang disarungkan.
Melihat perjanjian itu, banyak sahabat yang tak setuju. Bahkan Umar bin Khattab yang terkenal sangat tegas dan kritis hingga bertanya, “Apakah engkau (masih) benar-benar Nabiyullah?.” Rasulullah menjawab, “Tentu saja Umar.” Umar pun melanjutkan, “Bukankah kita di jalan yang benar Ya Rasulullah.” Rasulullah menjawab, “Tentu saja Umar.” “Lalu kenapa kita memberikan dunia untuk agama kita?,” lanjut Umar. Mendengar itu, Rasulullah menyatakan, “Sesungguhnya aku ini tetap Rasulullah, aku takkah pernah bermaksiat kepada-Nya, dan Dia adalah penolongku.” Umar lalu undur diri dan patuh pada Rasulullah. Diantara sahabat yang tak setuju dengan Rasulullah adalah Ali bin Abi Thalib.
Terjadinya perjanjian Hudaibiyah ini juga penuh konflik. Ketika Suhail bin ‘Amr menyatakan siap membuat perjanjian, Rasulullah segera memanggil Ali bin Abi Thalib untuk menulis perjanjian tersebut. “Tulislah ‘Bismillahir Rahmanir Rahim.” Ali segera menulisnya. Namun Suhail menolak, “Sesungguhnya kami tak mengerti apa itu Ar-Rahman, tulislah saja ‘Bismika Allahumma’ seperti biasanya,” tandas Suhail. Kaum muslim tak hendak seturut dengan keinginan Suhail. “Kami takkan menulis kecuali dengan ‘Bismillahir Rahmanir Rahim,” seru kaum muslimin. “Tulislah saja ‘Bismika Allahumma’,” perintah Rasulullah. Kaum muslim sebenarnya sangat berat menghapus lima kata dalam kalimat basmalah itu.
Selanjutnya Rasulullah memerintahkan untuk menulis, “Ini adalah perjanjian antara Muhammad Rasulullah.” Suhail segera saja menyahut, “Andai aku mengakui engkau menjadi utusan Allah tentu kami takkan mengusirmu dan memerangimu, tulislah saja namamu dan nama ayahmu.” “Sesungguhnya aku tetaplah utusan Allah walau kalian mendustakanku, baiklah tulis saja Muhammad bin Abdillah,” sabda Rasulullah kemudian. Pada saat ini, sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Lulu’ wal Marjan disebutkan bahwa Ali menolak perintah itu, karena hal tersebut sangat prinsipil. Dengan menghapus kalimat “Rasulullah”, Ali khawatir dianggap tidak lagi mengakui kerasulan Muhammad. Maka Rasulullah segera meminta Ali untuk menunjukkan bagian mana yang berbunyi “Rasulullah”, sedangkan beliau dengan tangan mulianya sendiri menhapus kalimat itu dengan mengisyaratkan bahwa suatu saat kelak, Ali pun akan mengalami kejadian itu.
Ketika selesai perjanjian tersebut disepakati, datanglah Abu Jandal bin Suhail bin ‘Amr, putra kandung dari diplomat kafir Quraisy ketika itu, Suhail bin ‘Amr. Abu Jandal melarikan diri dari siksaan kaum keluarganya karena disiksa, bahkan Abu Jandal datang dalam kondisi masih dibelenggu. Suhail bin ‘Amr segera menyatakan, “Wahai Muhammad dia (Abu Jandal) datang setelah perjanjian ini berlaku.” “Engkau benar,” jawab Rasulullah. Sembari menoleh ke Abu Jandal dan meneruskan sabda beliau, “Abu Jandal, bersabarlah dan berharaplah kepada Allah! Allah pasti akan memberikan jalan keluar bagimu dan orang-orang yang lemah. Kami telah meyepakati perjanjian dan perdamaian serta kami saling memberikan kepercayaan. Kami tidak akan menghianati perjanjian tersebut.” Sedangkan Suhail bin ‘Amr memegangi kerah baju anaknya sembari memukul Abu Jandal.
Waktu berlalu, tersebutlah seorang Abu Bashir melarikan diri ke Madinah. Karena perjanjian Hudaibiyah, maka ketika dua orang utusan Mekah menjemputnya dengan penjelasan dari Rasulullah. Maka, Abu Bashir pun menurut kembali ke Mekah. Dalam perjalanan, Abu Bashir berhasil meloloskan diri, bahkan sempat membunuh salah satu utusan Mekah. Sedangkan seorang lagi melarikan diri ke Madinah meminta perlindungan Rasulullah. Abu Bashir tak lari ke Madinah, melainkan ke pesisir yang dekat dengan jalan niaga kaum Mekah ketiga berdagang ke Syam. Abu Jandal yang mendengar itu pun segera menyiapkan pelarian dan bergabung dengan Abu Bashir. Hingga kelompok itu mencapai puluhan orang pelarian Mekah. Kelompok ini menyulitkan kaum kafir Quraisy Mekah, karena kerap menghadang kafilah dagang Mekah. Bahkan akhirnya kaum Quraisy Mekah sendiri yang meminta kepada Rasulullah agar menarik kelompok itu ke Madinah saja, agar tak mengganggu mereka. Akhinya kaum Mekah sendiri yang mengingkari salah satu point kesepakatan Hudaibiyah.
Waktu berlalu sepeninggal Rasulullah, terdapatlah pertikaian antara kaum muslimin yang kala itu berkembang pesat. Ali bin Abi Thalib yang bertikai dengan Muawiyah bin Abi Sufyan. Dalam sebuah kesempatan, terdapatlah sebuah perjanjian antara mereka yang dalam sejarah kerap dikenal dengan peristiwa Tahkim. Dalam perjanjian arbitrase atau tahkim itu, terbuktilah perkataan Rasulullah. Yakni ketika Ali bin Abi Thalib dipaksa pihak Muawiyah untuk menghapus kalimat “Amirul Mukminin”. Dalih pihak muawiyah pun hampir mirip dengan dalih Suhail bin ‘Amr, “Andai kami mengakui engkau sebagai Amirul mukminin (pemimpin kaum mukmin) wahai Ali, tentu kami takkan memerangimu.”
Ali pun kemudian memerintahkan gelar “Amirul mukminin” dalam naskah perjanjian itu dihapus. Itulah satu diantara tiga hal yang menyebabkan kaum Khawarij yang sedianya adalah pengikut Ali, melakukan desersi besar-besaran bahkan berbalik memusuhi Ali. Dua alasan lain adalah, Ali dirasa tak menjalankan kaidah hukum Islam karena tak mengambil rampasan perang dan tawanan ketika mengalahkan musuh-musuhnya baik dalam perang Jamal maupun perang Shiffin. Serta alasan lain, bahwa Ali tak menjalankan hukum Allah, karena tak terus memerangi kelompok Muawiyah dan membunuh mereka ketika mereka sudah terdesak, malah mengambil jalan damai dengan arbitrase atau tahkim.
Mengenai alasan mereka, Abdullah bin Abbas yang menemui kaum Khawarij itu menjelaskan beberapa alasan. Pertama soal penghapusan gelar Amirul mukminin, Ibnu Abbas mempertanyakan pendapat kaum Khawarij tentang penghapusan kalimat basmalah dan kalimat Rasulullah dalam perjanjian Hudaibiyah. Apakah lantas mereka anggap bahwa Rasulullah mengingkari Ar-Rahman adalah sifat Allah?. Serta apakah mereka anggap Rasulullah melepaskan kerasulannya dengan menghapus kalimat “rasulullah” dalam perjanjian tersebut?. Kaum Khawarij pun terdiam dan mengaku kebenaran argumentasi Ibnu Abbas.
Soal tawanan perang Jamal dan Shiffin, Ibnu Abbas mempertanyakan pendapat Khawarij tentang tawanan Jamal. Apakah mereka hendak menawan Sayyidah ‘Aisyah istri Rasulullah yang berarti berkedudukan sebagai Ummul Mukminin, ibu bagi kaum beriman. Jika mereka menawan ‘Aisyah artinya mereka akan memperbudaknya dan itu tentu melanggar perintah Allah, atau mereka harus mengubah pendapat mereka tentang tawanan perang Jamal dan Shiffin?. Maka Khawarij menerima penjelasan Ibnu Abbas.
Pada soal Ali lebih memilih upaya arbitrase atau tahkim, Ibnu Abbas mengurai Q.S An-Nisa ayat 35, “Jika kamu khawatir akan terjadi pertengkaran di antara suami istri, maka utuslah seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri. Bila keduanya menghendaki perdamaian, maka Allah akan memberi taufik di antara keduanya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Memerhatikan." Lalu Ibnu Abbas mengajukan kepada kaum Khawarij sebuah pertanyaan, “Lebih berat manakah urusan keselamatan dan darah kaum muslim dibanding dengan urusan rumahtangga suami istri?.”
Kaum Khawarij sama menjawab, “Tentu urusan dan darah kaum muslim lebih mulia.” “Lalu kenapa jika dalam urusan pernikahan rumah tangga saja Allah memerintahkan juru damai, kenapa soal urusan keselamatan dan darah kaum muslim, kalian menolak peran juru damai.” Terdiamlah kaum Khawarij atas argumentasi Ibnu Abbas, hingga beberapa diantara mereka mengikuti Ibnu Abbas, kembali ke jalan yang benar mengikuti Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin yang sah.
Di Indonesia pun sama, beberapa pihak masih kerap mengulik kembali romantisisme Piagam Jakarta dengan tujuh kata yang telah dihapus hingga menjadi Pancasila kini. Mereka anggap bahwa itu adalah kekalahan kaum Muslim Indonesia menghadapi tekanan kaum non-muslim. Sembari menutup mata kenyataan yang mereka dapati. Pada negara yang terus mereka rongrong ini, mereka menikmati kebebasan beribadah, hatta segala bentuk ibadah pun difasilitasi.
Mulai dari zakat, mereka difasilitasi dengan adanya badan amil zakat yang disediakan negara maupun swasta yang juga diizinkan sedemikian bebasnya dan diatur oleh negara. Persoalan haji bahkan menjadi perhatian serius pemerintah dalam penyelenggaraannya. Masjid-masjid berdiri kokoh dan megah tanpa ada ketakutan sedikitpun beribadah di dalamnya. Lantas dengan lantang mereka menyatakan “Negara memusuhi agama” sembari mengkampanyekan bentuk negara Islam yang tak juga tuntas mereka fahami. Bahkan bentuk negara tawaran mereka pun terkesan absurd.
Diantara bahan kampanye yang mereka dengungkan adalah, bahwa negara ini thagut, berhala dan negara kafir. Karena tak menerapkan hukum Islam, tentu hukum Islam menurut pemahaman mereka. Dari paparan sejarah panjang di atas kita dapat merunut, kepada kelompok mana mereka merujuk ucapan dan tindakan. Misalnya saja bagaimana kelompok ini bertindak kepada mereka yang diyakini tak mendukung perjuangannya?. Tentu kita perlu mengintai Abdullah bin Muljam yang sampai hati membunuh Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah, pemuda pertama yang masuk Islam, pengganti Rasulullah di tempat tidur ketika beliau hijrah dan satu diantara sahabat yang Rasulullah sendiri menjaminnya pasti masuk surga. Sembari sesekali mendaras kalimat yang disandarkan pada firmal Allah SWT, “Tak ada hukum kecuali hukum Allah.” Mereka pun kerap merujuk pada ayat lain yang berbunyi, “Sesiapa yang berhukum selain hukum Allah, maka mereka adalah orang kafir.”
Kalimat-kalimat yang berasal dari firman agung Allah SWT itu memang benar dan baik, namun dimaksudkan untuk kebatilan. Kalimat itu tak digunakan pada tempatnya. Demikianlah penilaian Ali bin Abi Thalib atas kalimat yang diudar orang yang tega menusuk dadanya. Maka kini kita mendapatkan padanan yang sangat pas atas perkataan orang-orang yang kerap mengkampanyekan hal yang sama. Menganjurkan orang lain agar kembali pada hukum dan syariatnya, sambil mendengungkan ayat yang sama dan ungkapan stereotip pada orang lain yang juga digunakan oleh kelompok ini ribuan tahun silam.
Orang yang hingga kini merutuki lepasnya tujuh kata dalam Piagam Jakarta, sembari mengatakan bahwa kejadian itu adalah kekalahan kaum muslim. Perlu kiranya mendengar kisah Perjanjian Hudaibiyah yang disepakati oleh Rasulullah dan kejadian Tahkim yang disetujui Ali. Kemudian merenungi, bahwa karena Hudaibiyah-lah Islam bertambah jaya dan besar. Karena Tahkim pula ratusan bahkan ribuan nyawa selamat dari perang saudara. Begitu pula Pancasila. Nyatanya Perjanjian Hudaibiyah tidaklah mengganti dasar Islam sama sekali. Begitupula perjanjian Tahkim tak mengganti agama Islam sejengkal pun. Maka selayaknya demikianlah kita meletakkan Pancasila. Ia bukan agama dan tidak mengganti dasar agama manapun, termasuk Islam sejengkal pun. Ia adalah kesepakatan bersama untuk menjadi ikatan siapa yang merasa NKRI adalah negeri yang patut dibela. Ia adalah nilai yang harus dijunjung bersama untuk menghidupi gerak langkah sebuah bangsa bernama Indonesia.
Dalam perang Hunain, ketika pembagian rampasan perang. Orang-orang yang baru saja masuk Islam seperti Abu Sufyan mendapat bagian besar, sementara kaum Madinah yang telah menolong Rasulullah sejak awal tidak mendapatkan bagian sama sekali. Hurqush bin Zuhair atau Dzul Huwaisirah dengan lantang berteriak, “Berbuat adillah wahai Muhammad.” Ucapan yang lahirnya seakan benar, namun jelas salah. “Celakalah engkau, jika aku tak adil lantas siapa di bumi ini yang akan berbuat adil,” sabda Rasulullah. Dari orang inilah nanti akan tumbuh generasi Abdullah bin Muljam di atas. Generasi Khawarij yang getol memperjuangkan pendirian hukum dan agama Islam. Namun pada saat yang sama paling keras dan kejam pada kaum Islam. Semboyannya keadilan, kredonya negara Islam, mengaku mendirikan hukum dan agam Islam. Nyatanya, mereka keluar dari dari Islam secepat anak panah meninggalkan busurnya, begitu sabda baginda Rasulullah.
Selamat Hari Lahir Pancasila, semoga adil bersama kita, NKRI tetap jaya.
Ponpesma Unisla Lamongan, 01 Juni 2020.
Kiriman Gus Asep Wahyu - Nahdlatul Ulama 3
Posting Komentar