ABUYA DIMYATI, ULAMA SUFI PENJAGA TANAH BANTEN
Banten tidak hanya kaya dengan segudang jawara, tetapi juga terkenal dengan lumbung para ulama. Dari Banten, lahir para pemikir dan cendekiawan yang mendunia, seperti Imam an-Nanawi misalnya. Selain itu, pada abad 19, muncul nama Abuya Dimyati.
Pemilik nama lengkap KH. Muhammad Dimyati bin Muhammad Amin al-Bantani itu merupakan sosok yang karismatik. Kepakarannya tersohor di masyarakat Pandeglang, Banten, pada umumnya. Abuya Dimyati adalah pengikut Tarekat Syadziliyah. Ia dikenal alim dan wara’.
Sosok satu ini bisa dibilang sebagai sosok "keramat dari barat". Karismanya sangat terasa, dan bahkan semasa hidupnya beliau dikenal sebagai waliyullah yang wajahnya sangat menentramkan bagi setiap orang yang melihatnya. Penampilannya bersahaja dan penuh karisma, membuat setiap orang sungkan dan segakn kepada beliau.
RIHLAH ILMIAH
Sosok yang lahir pada tanggal 27 Sya‘ban 1347 H, bertepatan dengan bulan Juni 1920 M, tak pernah lelah menimba ilmu. Ia menuntut ilmu dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Menyusuri tanah Jawa, Madura hingga ke pulau Lombok.
Abuya berguru pada ulama-ulama sepuh di tanah Jawa. Di antaranya Abuya Abdul Chalim, Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri (Mama Sempur), Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu dan masih banyak lagi. Kesemua guru-guru beliau bermuara pada Syech Nawawi al Bantani. Kata Abuya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna, setelah Abuya berguru, tak lama kemudian para kiai sepuh wafat.
Bagi Abuya hidup adalah ibadah. Tidak salah kalau KH Dimyati Kaliwungu, Kendal Jawa Tengah pernah berucap bahwa belum pernah seorang kiai yang ibadahnya luar biasa. Menurutnya selama berada di kaliwungu tidak pernah menyia-nyiakan waktu. Sejak pukul 6 pagi usdah mengajar hingga jam 11.30. setelah istirahat sejenak selepas Dzuhur langsung mengajar lagi hingga Ashar. Selesai sholat ashar mengajar lagi hingga Maghrib. Kemudian wirid hingga Isya. Sehabis itu mengaji lagi hingga pukul: 24 malam, Setelah itu melakukan qiyamul lail hingga subuh.
Di sisi lain ada sebuah kisah menarik. Ketika bermaksud mengaji di KH.Baidlowi, Lasem. Ketika bertemu dengannya, Abuya malah disuruh pulang. Namun Abuya justru semakin mengebu-gebu untuk menuntut ilmu. Sampai akhirnya kiai Khasrtimatik itu menjawab, “Saya tidak punya ilmu apa-apa.” Sampai pada satu kesempatan, Abuya Dimyati memohon diwarisi thariqah. KH.Baidlowi pun menjawab,” Mbah Dim, dzikir itu sudah termaktub dalam kitab, begitu pula dengan selawat, silahkan memuat sendiri saja, saya tidak bisa apa-apa, karena tarekat itu adalah sebuah wadzifah yang terdiri dari dzikir dan selawat.” Jawaban tersebut justru membuat Abuya Dimyati penasaran. Untuk kesekian kalinya dirinya memohon kepada KH Baidlowi. Pada akhirnya Kiai Baidlowi menyuruh Abuya untuk solat istikharah. Setelah melaksanakan solat tersebut sebanyak tiga kali, akhirnya Abuya mendatangi KH Baidlowi yang kemudian diijazahi Thoriqot Asy-Syadziliyah.
Disebutkan ketika bertemu dengan Kiai Dalhar Watucongol Abuya sempat kaget. Hal ini disebabkan selama 40 hari Abuya tidak pernah ditanya bahkan dipanggil oleh Kiai Dalhar. Tepat pada hari ke 40 Abuya dipanggil Mbah Dalhar. “Sampeyan mau jauh-jauh datang kesini?” tanya kiai Dalhar. Ditanya begitu Abuya pun menjawab, “Saya mau mondok mbah.” Kemudian Kiai Dalhar pun berkata,” Perlu sampeyan ketahui, bahwa disini tidak ada ilmu, justru ilmu itu sudah ada pada diri sampeyan. Dari pada sampeyan mondok disini buang-buang waktu, lebih baik sampeyan pulang lagi ke Banten, amalkan ilmu yang sudah ada dan syarahi kitab-kitab karangan mbah-mbahmu. Karena kitab tersebut masih perlu diperjelas dan sangat sulit dipahami oleh orang awam.” Mendengar jawaban tersebut Abuya Dimyati menjawab, ”Tujuan saya ke sini adalah untuk mengaji, kok saya malah disuruh pulang lagi? Kalau saya disuruh mengarang kitab, kitab apa yang mampu saya karang? Kemudian Kiai Dalhar memberi saran,”Baiklah, kalau sampeyan mau tetap di sini, saya mohon ajarkanlah ilmu sampeyan kepada santri-santri yang ada disini dan sampeyan jangan punya teman. Kemudian Kiai Dalhar memberi ijazah thoriqot Syadziliyah kepada Abuya.
Ketika mondok di Watucongol, Abuya sudah diminta untuk mengajar oleh Mbah Dalhar. Satu kisah unik ketika Abuya datang pertama ke Watucongol, Mbah Dalhar memberi kabar kepada santri-santri besok akan datang ‘kitab banyak’. Dan hal ini terbukti mulai saat masih mondok di Watucongol sampai di tempat beliau mondok lainya, hingga sampai Abuya menetap, beliau banyak mengajar dan mengorek kitab-kitab. Di pondok Bendo, Pare, Abuya lebih di kenal dengan sebutan ‘Mbah Dim Banten’. Karena, kewira’i annya di setiap pesantren yang disinggahinya selalu ada peningkatan santri mengaji.
PERJUANGAN MENJADI SANTRI
Dahulu ketika Abuya Dimyathi Cidahu Banten saat masih menjadi santri bila mau pergi ke pondok tidak pernah membawa bekal apapun kecuali hanya sedikit beras dan sebotol minyak kelentik (kelapa). Jika ada pengajian, Abuya tidak pernah membawa kitab seperti lazimnya santri yang lain, karena kitab pada waktu itu masih sangat langka & juga karena Abuya ndak memiliki cukup uang untuk membelinya. Akan tetapi apabila Syekh Tubagus Abdul Halim (guru beliau) mengajar santri, Abuya selalu hadir & mengikutinya dengan seksama dan penuh ta’zhim.
Untuk memperdalam ilmunya, Abuya hanya mampu meminjam kitab kepada temannya untuk dimuthola’ah (mengkaji & mempelajari) sendiri. Dan hal ini dilakukannya setiap malam di atas jam 00.00 Wib (tengah malam). Tatkala ada suatu masalah, kaidah atau mauizhoh, maka ditulisnya di atas kertas yang amat sederhana kemudian dihafalkannya. Untuk mendapatkan secarik kertas saja Abuya harus mencari di tempat-tempat sampah. Bila didapatinya dalam keadaan kotor, maka kertas tersebut dicuci dgn sangat hati-hati, karena takut robek.
Abuya pernah mengumpamakan kepada H. Muhammad Murtadlo (putranya, yg saat ini menjadi pengganti beliau), apabila mendapatkan kertas sebesar dua tapak jari saja, maka Abuya merasa saangat senang. Apalagi bila mendapatkan kertas sebesar amplop. Oleh sebab itu Abuya sampai akhir hayatnya sangat rajin mengumpulkan kertas-kertas sekecil apapun. Abuya ndak pernah membuang atau membakar sehelai kertas, amplop, rokok sekalipun.
MENGASUH PESANTREN
Bagi masyarakat Pandeglang, terutama Mbah Dim, demikian akrab disapa, adalah sesepuh yang sulit tergantikan. Ia merupakan penganut tarekat yang disegani. Di antara jasanya yang berharga, yakni ia mencerdaskan umat melalui pesantren.
Mbah Dim merintis pesantren di Desa Cidahu Pandeglang sekitar 1965. Pesantren ini banyak melahirkan tokoh berkualitas, seperti Habib Hasan bin Ja’far Assegaf yang sekarang memimpin Majelis Nurul Musthofa di Jakarta.
Mbah Dim tak pernah henti-hentinya menekankan pentingnya mengaji Alquran. “Jangan sampai ngaji ditinggalkan karena kesibukan lain ataupun karena umur,” pesannya kepada tiap santri.
Bahkan, Mbah Dim menekankan arti penting shalat jamaah dan mengaji sehingga seakan-akan mencapai derajat wajib. Artinya, tidak boleh ditawar bagi santri apalagi putra-putrinya. Kepakaran Mbah Dim lengkap sudah, ia tidak hanya piawai dalam ilmu agama, tetapi juga mahir ilmu seni kaligrafi atau khat.
ULAMA SUFI
Mbah Dim mengajarkan Tarekat Syadziliyah kepada para santrinya. Ia mendapatkan ijazah dan didaulat jadi mursyid oleh Mbah Dalhar dan Mbah Baidlowi.
Itu sebabnya, dalam perilaku sehari-hari ia tampak tawadhu’, zuhud, dan ikhlas. Banyak dari beberapa pihak maupun wartawan yang mencoba untuk mempublikasikan kegiatannya di pesantren, selalu ditolak dengan halus oleh Mbah Dim. Ia tak segan-segan menolak sumbangan dari pejabat. Pernah suatu ketika, Mbak Tutut, putri mantan presiden Soeharto yang akan memberi sumbangan Rp 1 miliar, tetapi akhirnya sumbangan itu dikembalikan.
Mbah Dim menekankan pada pentingnya ngaji dan belajar, yang itu sering disampaikan dan diingatkan Mbah Dim kepada para santri dan kiai adalah jangan sampai ngaji ditinggalkan karena kesibukan lain ataupun karena umur. Sebab, ngaji tidak dibatasi umur. Sampai-sampai, kata Mbah Dim, thariqah aing mah ngaji!, yang artinya ngaji dan belajar adalah thariqahku.
Bahkan kepada putra-putrinya (termasuk juga kepada santri-santrinya) Mbah Dim menekankan arti penting jama’ah dan ngaji sehingga seakan-akan mencapai derajat wajib. Artinya, tidak boleh ditawar bagi santri, apalagi putra-putrinya.
Ia tidak akan memulai shalat dan mengaji, kecuali putra-putrinya yang hafiz Al-Qur'an itu sudah duduk rapi, berjajar di barisan shaf shalat. Jika belum datang, kentongan sebagai isyarat waktu shalat pun dipukul lagi bertalu-talu. Ini dilakukan sampai semua hadir dan shalat jamaah pun dimulai.
Kepopuleran Mbah Dim setara dengan Abuya Busthomi (Cisantri) dan Kiai Munfasir (Cihomas). Mbah Dim adalah tokoh yang senantiasa menjadi pusat perhatian, yang justru ketika ia lebih ingin “menyedikitkan” bergaul dengan orang lain demi mengisi sebagian besar waktunya dengan mengaji Al-Qur'an.
Ada beberapa kitab yang ditulis oleh Mbah Dim, di antaranya Minhaj al-Ishthifa. Kitab yang ditulis pada Rajab 1379 H/ 1959 M itu berisikan tentang wirid-wirid berkualitas, seperti hizb nashr dan ikhfa.
Dalam bidang sirah, ia pernah menulis Ashl al-Qadr tentang keistimewaan para sahabat saat Perang Badar. Buah produktivitas dan keteladanan yang ia wariskan, akan tetap kekal sekalipun ia telah dipanggil Sang Khaliq pada 3 Oktober 2003.
(Dari berbagai sumber)
Kiriman Gus Muhammad Abid Muaffan - Sanad Qiro'at NUsantara
-------------------------------------------------------------------------------
Mohon doa, bimbingan, arahan dan nasehat serta motivasinya selalu. šš
#LsmAqilaQuds
#AlmasBatrisyia
#GandrungSembako
#AngkringanGrahaElpiji
#H2_KrandonMajuBarokah
Posting Komentar