AWAL BERDIRI (1926-1942)
Sejarah NU
Sejarah NU
Kelahiran NU sebagai organisasi tak bisa dilepaskan dari dua organisasi yang hadir sebelumnya yaitu Nahdatul Wathan (1914) dan Taswirul Afkar (1918). Kedua organisasi itu berdiri di Surabaya. Nahdatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) merupakan organisasi yang aktif di bidang pendidikan dan dakwah, sementara Taswirul Afkar (Kebangkitan Pemikiran) lebih ke bidang sosial.
Dua organisasi ini kemudian mendirikan lagi satu organisasi untuk memperbaiki ekonomi rakyat, yaitu Nahdlatul Tujjar (Gerakan Kaum Saudagar). Karena muncul dengan berbagai organisasi yang bersifat embrional, maka diputuskan untuk membuat organisasi yang lebih mencakup semua bidang dan lebih sistematis.
Pada saat yang bersamaan, terdapat juga pertemuan Internasional yang membahas soal khilafah di Hijaz pada 1926. Saat itu, delegasi Indonesia tak diwakili oleh ulama beraliran tradisionalis. Delegasi Indonesia diwakili oleh H.O.S Tjokroaminoto (Serikat Islam) dan K.H Mas Mansur (Muhammadiyah).
Kaum tradisionalis akhirnya membuat pertemuan sendiri untuk menentukan delegasi yang akan dikirim ke Hijaz. Dibentuklah Komite Hijaz dengan mengatasnamakan diri sebagai Nahdlatul Ulama pada 31 Januari 1926, yang diketuai oleh K.H Hasyim Asy’ari, dan wakilnya adalah K.H Dahlan Ahyad. Sementara satu tokoh lain yang cukup berperan adalah K.H Wahab Chasbullah sebagai sekretaris.
Didirikannnya NU bertujuan untuk melestarikan serta mengamalkan ajaran Ahlussunah Waljamaah yang menganut salah satu dari empat Imam Besar (Hambali, Syafi’I, Maliki, dan Hanafi). Pada dasarnya, Ahlusssunah Wal Jamaah merupakan sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara rasionalis (ekstrem aqli) dan skripturalis (ekstrem naqli). Oleh karenaya, sumber hukum bagi warga NU tidak hanya Al Quran dan As sunnah, tetapi juga kemampuan akal dan realitas empiric.
Untuk menegaskan prinsip dasar organisasi NU, K.H Hasyim Asy’ari merumuskan kitab Qanun Asasi dan kitab I’tiqad Ahlussunah Wal Jamaah. Kedua khitab tersebut menjadi kitab pedoman dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, poltik dan agama.
Pada masa awal berdirinya, NU sudah berupaya melakukan usaha-usaha memajukan masyarakat Indonesia. Saat itu Indonesia masih dalam jajahan Belanda, NU telah mendirikan banyak madrasah dan pesantren. Selain itu, beberapa kegiatan yang menonjol antara lain mendirikan lembaga Ma’arif (1938) untuk koordinasi kegiatan pendidikan, mendirikan koperasi di Surabaya (1929) dan mendirikan Syirkah Mu’awanah (1937) yang merupakan kelanjutan dari lembaga Ma’arif.
Sampai pada 1942, NU sudah tersebar sebanyak 120 cabang yang ada di Pulau Jawa. Nahdlatul Ulama menitikberatkan pada perlunya pendidikan yang mendalami ilmu agama karena NU berangkat dari pesantren. Oleh karena itu, maka keilmuan yang diutamakan adalah keagamaan.
MASA PENJAJAHAN JEPANG (1942-1945)
Sejarah NU
Sejarah NU
Pada Maret 1942, kekuasaan Belanda resmi berakhir dan digantikan oleh Jepang. Awalnya, Jepang dianggap baik karena mengaku sebagai saudara tua, namun lama-kelamaan sikapnya tidak lebih baik dari Belanda. Jepang akhirnya mengeluarkan aturan untuk membekukan segala aktivitas organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan. NU menjadi salah satu organisasi yang terkena imbasnya. Bahkan K.H Hasyim Asy’ari sempat ditahan oleh Jepang karena menolak untuk melakukan Seikerei (ritual penghromatan kepada dewa Matahari).
Dengan dibekukannya NU, maka aktivitas perjuangan NU teralih ke jalur diplomasi, Adalah sang putra dari K. H Hasyim Asy’ari, K.H Abdul Wahid Hasyim yang masuk anggota parlemen buatan Jepang (Chuo Sangi-In). Wahid Hasyim mendesak Jepang agar NU diaktifkan kembali.
Pada Oktober 1943, akhirnya NU aktif kembali. Perjuangan umat Islam dilanjutkan dengan awadah baru yang bernama Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) yang diketuai oleh K.H Hasyim Asy’ari dan K.H Wahid Hasyim jadi wakilnya. Wahid Hasyim meminta secara khusus kepada Jepang untuk melatih kemiliteran para santri melalui Masyumi ini. Permintaan tersebut dikabulkan dan akhirnya dibentuk Hizbullah dan Sabilillah. Padahal nantinya, pasukan militer santri ini memberikan perlawanan terhadap Jepang.
Selain Masyumi, Wahid Hasyim juga aktif di Shumubu (Kantor Urusan Agama buatan Jepang). Ia menjadi pimpinan tertinggi Shumubu menggantikan sang ayah K.H Hasyim Asy’ari yang lebih dulu jadi ketua. Aktivitas NU pada masa pendudukan Jepang lebih berfokus kepada perjuangan membela tanah air baik fisik maupaun politik. NU juga tak lagi membatasi diri sebagai organisasi kemasyarakatan, tetapi juga masuk ke ranah politik.
MASA KEMERDEKAAN (1945)
Sejarah NU
Sejarah NU
NU memegang peran penting dalam perjuangan bangsa Indonesia meraih kemerdekaan. Hal ini terlihat dari perlawanan warga NU terhadap pasukan sekutu yang datang lagi ke Indonesia, sebulan setelah peringatan kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Saat Inggris yang tergabung dengan NICA (Netherland Indies Civil Administration) akan menyerang Surabaya pada Oktober 1945, warga NU melakukan perlawanan dengan berkumpul dan menyerukan Resolusi Jihad.
Resolusi Jihad merupakan pernyataan bahwa perjuangan merdeka adalah Perang Suci (jihad). Resolusi ini sekaligus menolak kembalinya kekuatan kolonial yang mengakui kekuatan suatu pemerintah republik baru. Resolusi Jihad benar-benar menginspirasi bagi bekobarnya peristiw 10 November 1945 di Surabaya yang dikenal sebagai Hari
Pahlawan. Beberapa aksi Resolusi Jihad NU juga menentang perjanjian yang diadakan pemerintah seperti Perjanjian Renville (1946), Perjanjian Liggarjati (1948) dan Konferensi Meja Bundar (1949).
MASA PASCA KEMERDEKAAN- ORDE LAMA (1946-1966)
Sejarah NU
Sejarah NU
Muktamar NU ke-16 pada 1946 di Puwokerto merupakan titik balik langkah NU terjun ke ranah politik. Adanya maklumat pemerintah No. X yang berisi anjuran soal berdirinya partai-partai politik menyebabkan NU memutuskan bergabung dengan partai politik Masyumi. NU pun dapat memperluas peran ulama melalui politik. Beberapa tokoh
NU menduduki jabatan di Masyumi antara lain K.H Hasyim Asy’ari sebagai Ketua Majelis Syuro (Dewan Penasehat Keagamaan), Wahid Hasyim (wakil menteri Masyumi), Masjkur (wakil menteri Masyumi), K.H Fathurrahman Kafrawi (wakil menteri) dan Wahab Chasbullah (Dewan Pertimbangan Agung).
Majelis Syuro yang dipegang jabatannya oleh tokoh NU ini punya peran penting dalam Masyumi, di antaranya:
– Berhak menghusulkan hal-hal yang berkaitan dengan politik kepada pimpinan partai.
– Sebagai sumber hukum jika pimpinan partai meminta fatwa soal politik yang berkaitan dengan agama.
– Keputusan Majleis Syuro mengenai hukum agama bersifat mengikat partai.
– Pimpinan partai dapat mengirim utusan untuk berdiskusi dengan Majelis Syuro jika partai punya pendapat lain selain keputusan Majelis Syuro.
Pada 1952, akhirnya NU memutuskan keluar dari Masyumi dan mendirikan partai politik sendiri. Keputusan ini dipilih untuk mencapai tujuan yakni membentuk dewan pimpinan umat Islam yang nilainya lebih tinggi, dimana partai Islam dan organisasi Islam yang tergabung dengan Masyumi dapat berjuang bersama-sama. NU merekrut tokoh-tokoh bartu seperti H. Jamaluddin Malik dan K.H Idham Chalid.
NU juga membentuk Liga Muslimin Indonesia pada 30 Agustus 1952. Dengan menjalin persatuan dengan PSSI, Perti dan Darud Da’wah wal-Irsyad, NU berusaha untuk mencapai masyarakat islamiyah yang sesuai dengan hukum Allah SWT dan sunnah rasul.
Sebagai partai politik baru, NU cukup sukses dalam pemilihan umum 1955. NU mendapat total 6,9 juta suara dan mendapatkan 45 kursi di parlemen. Kesuksesan ini tidak lain karena basis NU yang sangat banyak di pedesaan. Keberhasilan ini juga sebagai bukti kaum tradisional bisa menyatakan aspirasinya sehingga mampu mendapat temoat dalam kehidupan berbangsa. Sebagai partai, NU juga berhasil melembagakan peran ulama dalam parlemen, seperti menguasai departemen Agama yang terjadi hingga kini.
Pada periode 1959 hingga 1966, NU secara terbuka menerima konsep Demokrasi Terpimpin yang diusung oleh Soekarno. NU masih mempertimbangkan “fiqhiyah” yang artinya Jika terjadi benturan antara dua hal yang sama buruk dipertimbangkan yang lebih besar bahayanyadan melaksanakan yang paling kecil akibat buruknya.
NU juga tampil menjadi kekuatan yang memerangi keras komunisme. Beberapa organisasi dibentuk antara lain Barisan Ansor Serba Guna (Banser), Lembaga Seni Budaya Muslim (Lesbumi) dan Persatuan Petani NU (Pertanu).
Puncaknya adalah peristiwa G 30 S PKI. NU menjadi partai politik pertama yang mendesak Presiden Soekarno membubarkan PKI (Partai Komunis Indonesia). Sikap tegas ini dikeluarkan pada 5 Oktober 1965 saat sebagian besar masyarakat Indonesia masih ragu-ragu siapa yang menjadi dalang di balik peristiwa G 30 S PKI.
MASA ORDE BARU (1966-1995)
Sejarah NU
Sejarah NU
NU secara terang-terangan menyatakan akan kembali ke khittahnya sebagai jam’iyah pada periode ini, Pada Muktamar NU 1979, NU Menyatakan kembali menjadi organisasi keagamaan seperti saat awal berdiri pada 1926.
Hal ini tidak bisa dilepaskan dari proses bergabungnya partai NU ke PPP. Selain itu, juga banyaknya kekecewaan yang muncul yang menyertai perjalanan politik NU semakin mendorong NU kembali khittahnya. Meski demikian, anggota NU tetap bisa ikut serta dalam ranah politik secara perseorangan.
Sebelumnya, proses penggabungan partai politik awalnya terjadi pada 1973. Semua parpol tergabung dalam dua kutub besar, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). NU bersama partai-partai Islam disatukan dalam PPP bersama Parmusi, PSII dan Perti. Sedangkan kutub PDI diisi oleh PNI, IPKI, Parkindo, Partai Katolik dan Partai Murba.
Layaknya di Masyumi pada masa pasca-kemerdekaan, hubungan PPP dan NU sangat kuat. Namun seiring berjalannya waktu, hubungan tersebut memburuk. Salah satu tokoh NU yang bisa mengatasi kisruh di dalam PPP adalah K.H Bisri Sansuri.
Seperti sebagai contoh, saat adanya oegajuan RUU Perkawinan, K.H Bisri menolak adanya RUU tersebut lantaran berisi pasal-pasal yang bertentangan dengan hukum perkawinan dalam Islam. Namun karena wibawa yang dimiliki K.H Bisri maka masalah tersebut bisa terselesaikan. Banyak yang menilai setelah K.H Bisri tak ada lagi sosok yang bisa menyelesaikan konflik di PPP.
Khittah ke NU 1926 otomastis membuat NU keluar dari PPP. Walau tetap membebaskan anggotanya terjun ke dunia politik, NU melarang anggotanya untuk rangkap jabatan dengan organisasi lain. Dalam Musyawarah Nasional 1983, NU mengeluarkan larangan perangkapan jabatan pengurus NU dengan jabatan pengurus organisasi politik. Dasar pertimbangan larangan tersebut salah satunya adalah bahwa perangkapan jabatan berikat trbaginya perhatian dan kesungguhan melaksanakan tugas keagamaan sosial yang menjadi khittah NU.
Di saat pemerintahan Orde Baru memberlakukan asas tunggal, yakni Pancasila, NU juga memberikan dukungan penuh. Hal ini terbukti pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo pada 1984, keputusannya berbunyi “Nahdlatul Ulama berasaskan Pancasila. Nahdlatul Ulama sebagai Jam’iyah Diniyah Islamiyah beraqidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah megikuti salah satu dari empat mahzab, Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Hambali.”
MASA REFORMASI (1995-1998)
Sejarah NU
Sejarah NU
Pada masa reformasi, NU melahirkan Presiden Republik Indonesia dari kalangannya yaitu Presiden K.H Abdurrahman Wahid. Presiden yang akrab disapa Gus Dur ini menjadi Presiden per 20 Oktober 1999. Gus Dur menjadi sosok di balik reformasi yang juga dilakukan NU dalam dekade terakhir.
Dalam masa jabatan sebagai Ketua NU, Gus Dur fokus dalam mereformasi sistem pendidikan di pesantren dan berhasil membuat pesantren bersaing dnegan sekolah lain yang populer.Gus Dur menjadi salah satu ketua umum yang paling lama menjabat yakni seka 1984 hingga 1999.
Di periode ini, NU seperti memanfaatkan sebagai momentum memperbaiki diri. Proses lahirnya NU dari awalnya sebagai organisasi keagamaan menjadi terjun ke ranah politik, lalu kembali ke khittahnya lagi sebagai organisasi sosial keagamaan, membuat NU mengeluarkan pandangan yang disebut Refleksi Reformasi.
Refleksi Reformasi berisi 8 pernyataan sikap dari Pengurus Besar NU yaitu:
– NU memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga agar reformasi berjalan kea rah yang lebih benar.
– Rekonsiliasi nasional harus ditujukan untuk merajut kembali persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathaniyah).
– Reformasi jangan berhenti di tengah jalan, untuk membentuk tatanan baru kehidupan berbangsa dan bernegara.
– Penyampaian ide atau gagasan disampaikan hendaknya dengan hati-hati.
– Kasus pelanggaran HAM di masa lalu harus ditanggapi secara bijak dan bertanggung jawab.
– Pemberantasan KKN harus dilakukan serius tanpa terkecuali.
– TNI harus berada di atas semua golongan.
– Praktik monopoli harus dibasmi tuntas dalam setiap praktik ekonomi di Indonesia.
Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) selanjutnya juga menyerukan agar agenda reformasi diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat dan jajaran warga Nahdlatul Ulama. Imbauan ini ditandatangani pada 31 Desember 1998 oleh K.H M.Ilyas Ruhiyat, Prof. Dr. Said Agil Siraj, Ir. Musthafa Zuhad Mughni, dan Drs. Ahmad Bagja.
MASA PASCA-REFORMASI-SEKARANG
Sejarah NU
Sejarah NU
NU telah benar-benar kembali ke khittahnya sebagai organisasi sosial keagamaan pada masa sekarang ini. Dengan sudah tidak menjadi parpol, NU seharusnya bisa lebih leluasa menjalankan fungsi-fungsi yang menjadi khittahnya. Organisasi –organisasi otonom NU berusaha menjangkau warga-warga NU yang mengalami kesulitan, yang banyak terjadi di daerah-daerah.
Beberapa pemuda NU semakin banyak menjadi intelektual dalam berbagai bidang. Bahkan di antaranya telah unjuk gigi di kancah internasional maupun nasional. Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya (Lakpesdam) NU punya andil dalam hal tersebut.
Selain itu, di era informasi sekarang, misi berat yang ditanggung NU adalah mengantisipasi gerakan radikal dari dalam Islam sendiri. Maka pada 2012, NU membentuk Laskar Aswaja sebagai respons atas radikalisme yang marak terjadi. Aswaja berarti aliran yang dianut oleh siapapun umat Islam yang berpegang teguh pada Al Quran dan As-sunnah.
Saat ini ketua Nahdlatul Ulama adalah K.H Ma’ruf Amin sejak 2015. Ia juga menajabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia.
Kiriman Gus Sholeh (Aliansi Santri NUsantara)
Posting Komentar