KH Abdullah Umar, Ulama Ahli Al Qur’an Kota Semarang
KH. Abdullah Umar Al Hafidz adalah tokoh yang tidak asing bagi masyarakat Kota Semarang. Kiprahnya dalam memajukan peribadatan dan memberikan pendidikan dalam bidang keislaman gaungnya sampai ke beberapa daerah di Nusantara dan bahkan ke negara tetangga.
Ulama yang hidup sederhana ini semasa hidupnya lebih dari 50 tahun telah mengabdikan dirinya untuk menghidupkan dan memajukan peribadatan di Mesjid Besar Kauman Semarang. Karena itu kedekatan umat Islam Semarang, khususnya masyarakat Kampung (Kelurahan) Kauman dan sekitarnya serta kecintaan mereka terhadap mesjid tempat peribadatan mereka, dapat disaksikan dari banyaknya jumlah jemaah yang terpanggil untuk selalu datang ke mesjid dalam melaksanakan shalat lima waktu di Mesjid Besar Kauman Semarang hingga saat ini.
Semua itu tidak bisa dipisahkan dari usaha dan ketekunan K.H. Abdullah Umar yang pada masa hidupnya secara rutin menyeru dan bahkan mencontohkan kedekatan dan kecintaannya terhadap mesjid. Bahkan K.H. Abdullah Umar yang bacaannya fasih dan hafal Al Qur’an tersebut sampai pada akhir hayatnya selalu setia mengimami shalat lima waktu di Mesjid Besar Kauman.
Pengabdian
K.H. Abdullah Umar Al Hafidz tidak hanya sebagai penggerak dan penuntun masyarakat untuk beribadah di mesjid, ia juga seorang pendidik yang telah bersedia memberikan miliknya dalam usaha untuk membimbing dan membekali generasi muda dengan keahlian yang sulit tandingannya. Sebagai seorang hafidz Al Qur’an ketika usia 18 tahun berkat keuletan dan ketabahannya, K.H. Abdullah Umar membuka sebuah pondok Al Qur’an.
Sebuah rumahnya di sediakan untuk tempat tinggal siapa saja yang mau memperdalam Al Qur’an, dan rumah yang ditempatinya bersama keluarganya digunakan untuk membimbing pengajian santri-santrinya. Tidak ada pungutan uang kuliah, sehingga para santri hanya perlu kiriman uang dari orang tua untuk keperluan makan dan belanja mereka saja. Bahkan santri yang orang tuanya tidak mampu diberi bantuan oleh K.H. Abdullah Umar selaku pimpinan pondok.
Ketika K.H. Abdullah Umar tahun 1971 membuka pondok Al Qur’annya karena keterbatasan tempat mondok yang tersedia ia baru bisa menampung 17 orang santri. Cara yang dipakai K.H. Abdullah Umar dalam membimbing santri-santrinya adalah metode gabungan antara halaqah (kolektif) dan sorogan(individual). Setelah berlangsung kurang lebih empat setengah tahun K.H. Abdullah Umar berhasil mewisuda beberapa orang hafidz 30 juz Al Qur’an. Pondok pesantren K.H. Abdullah Umar yang kemudian bernama Pondok Pesantren Tahaffudzul Qur’an Semarang tersebut selanjutnya telah melahirkan banyak hafidz yang berasal dari berbagai daerah di Nusantara, bahkan dari negara tetangga Malaysia dan Berunai Darussalam.
Tokoh yang akrab dengan jemaah Masjid Besar Kauman ini pada tahun 1982 mengajukan pensiun lebih awal ketika masih menjabat sebagai Kepala Kantor Urusan Agama Semarang Tengah. Keputusan tersebut diambilnya karena sebagai Kepala Kantor Urusan Agama Semarang Tengah waktu itu ia diharuskan ikut kampanye untuk kepentingan politik, padahal para santrinya tidak setuju dan menyatakan akan meninggalkan pondoknya. Karena itu demi untuk kelangsungan pondok Al Qur’annya K.H. Abdullah Umar mengambil sikap pensiun lebih awal.
Usahanya menggerakkan dan menuntun masyarakat Semarang mencintai mesjid dan menyemarakkannya serta memberdayakan milik pribadinya membangun pondok Al Qur’an tanpa mengharapkan imbalan apapun, merupakan bagian dari kesyukurannya kepada Tuhan yang memberikannya kemampuan berupa ilmu yang mengangkat kehidupannya dari yang dialaminya ketika masa kecilnya.
KH. Abdullah Umar yang isterinya juga kemudian menjadi pengasuh para santri wanita hafidz Al Qur’an dan yang semua anak-anaknya juga hafidz Al Qur’an itu, meninggal dalam usia 72 tahun pada hari Jum’at 21 Dzulhijjah 1421 (16 Maret 2001). Masyarakat Semarang khususnya warga Kampung Kauman dan jemaah Masjid Besar Kauman Semarang setiap tahun pada bulan Dzulhijjah selalumenyelenggarakan upacara haulan bertempat di Masjid Besar Kauman Semarang untuk mengenang dan memberikan penghargaan atas jasa-jasa dan pengabdiannya. Pengabdian dan keilmuannya yang patut dikagumi tentu memiliki nilai sendiri di hati masyarakat yang mengenalnya
Sema’an Quran di Masjid Kauman Berusia 30 Tahun
Puluhan tahun yang lalu, KH Abdullah Umar, salah satu ulama besar Semarang, yang masih keturunan dari Sunan Kudus, menggagas kegiatan sema’an Quran di Masjid Kauman. Dari tahun ke tahun, jemaah yang mengikutinya semakin bertambah.
Suhu udara di Kota Semarang siang kemarin (2/9) cukup menyengat. Panas terik tentu menjadi salah satu godaan bagi umat Muslim yang sedang menjalankan ibadah puasa. Kondisi tubuh cukup terkuras, meski beduk Magrib masih beberapa jam lagi. Namun, kondisi ini tidak menyurutkan niat ratusan warga Semarang dan sekitarnya untuk mendatangi Masjid Agung Semarang atau Masjid Kauman.
Setiap bulan Ramadan, mereka seperti ingin melepas kerinduan mendengar sema’an tafsir-tafsir Alquran yang disampaikan dalam bahasa Jawa di masjid Kauman. Abdul Wahid, sekretaris takmir Masjid Kauman menjelaskan, sema’an tafsir dalam bahasa Jawa tersebut kini dipimpin oleh KH Akhmad Naqib, penerus gagasan KH Abdullah Umar. Tak terasa, 30 tahun sudah usia kegiatan yang digelar di sela umat sedang menjalankan puasa itu.
“Kami rutin setiap tahun menyelenggarakannya. Dan jemaah yang mengikuti kini juga berasal dari luar kota,” tutur Wahid. Dalam sehari, biasanya Akhmad Naqib membaca sema’an sebanyak satu juz lebih. Sehingga seluruh isi Alquran bisa selesai ditafsirkan kurang dari sebulan atau sebelum Ramadan berlalu. Wahid tak merasa takjub dengan kehadiran umat muslim yang berbondong-bondong mendatangi Masjid Kauman setiap bulan Ramadhan untuk mendengarkan tafsir yang disampaikan Akhmad Naqib tersebut. Ia mendengar pengakuan para jemaah yang rata-rata merasakan cocok dengan tafsir yang disampaikan dalam bahasa Jawa serta mengadopsi contoh-contoh sikap ‘lelakon’ keseharian masyarakat ini. “Mereka mengaku mendapatkan pencerahan baik batin maupun pikir di tengah himpitan kondisi yang ada,” tuturnya.
Setiap ayat, jelasnya, mampu dikupas dan dijabarkan maksud dan tujuannya dengan bahasa yang lugas dan enak. Sehingga menjadikan segalanya mudah dipahami, meski untuk konteks kehidupan umat manusia terkini. Tak heran bilan jemaah sema’an Alquran di Masjid Kauman ini berasal dari golonga atau strata di masyarakat. Ada di antaranya masyarakat strata ekonomi bawah, kelompok berpendidikan, dan mereka yang ingin mendalami tafsir. “Apa yang dituturkan dalam sema’an ayat demi ayat ini?sangat luwes dan mudah diterima,” ungkapnya, Tak heran jika pengunjung tidak hanya berasal dari Kota Semarang. Tapi mereka juga datang dari daerah di sekitar Kota Semarang. Namun juga datang dari Kendal, Ungaran, Demak, Salatiga dan Grobogan.
“Mereka umumnya mengetahui kegiatan ini secara turun temurun. Ada yang dulu diajak kakek dan neneknya, atau kerabat lainnya,” imbuh Wahid. Sementara menurut pengasuh sema’an Alquran Masjid Besar Kauman,_KH Akhmad Naqib, asal mula sema’an ini merupakan kiat para ulama Semarang, yang dulu menginginkan agar kitab suci agama Islam ini tak hanya sekedar dibaca dan dihafalkan. Namun juga dipahami, dimengerti maksudnya dan diamalkan dalam kehidupan manusia di dunia.
Sehingga tuntunan Allah SWT ini menjadi satu-satunya pedoman dalam bersikap. Sema’an, jelasnya, berasal dari kata semak atau menyimak. Maksudnya, peserta pengajian mendengarkan bacaan Alquran beserta tafsirnya. Dengan bantuan penutur yang bisa menerjemahkan tafsir dalam bahasa Jawa, maka maksud dan isi surat yang dibacakan tersebut akan mudah dipahami para jemaah peserta. Setiap hari, lanjut Naqib, kegiatan sema’an di masjid Besar Kauman dilaksanakan usai salat Duhur hingga menjelang salat Ashar. Yang lebih khas lagi, adalah suasana yang dibangun selama hampir tiga jam sema’an ini berlangsung.
Sebagai penutur yang Al-hafid atau hafal Alquran, KH Akhmad Naqib tidak perlu berada di atas mimbar atau tempat khusus. Namun cukup menyampaikan sambil bersila di tengah dan dikelilingi para jamaah peserta sema’an. Sehingga kegiatan ini lebih mirip suasan pendongeng yang dikelilingi ratusan pendengar. Berdasarkan catatan Masjid Kauman, kegiatan sema’an ini, telah berlangsung turun temurun sejak tahun 70 lalu. KH Akhmad Naqib yang kini menjadi pengasuh, merupakan generasi kedua, setelah KH Abdullah Umar, ulama besar Semarang penggagas kegiatan ini wafat beberapa tahun yang lalu. [Partono,JP]
Kiriman Gus Muhammad Abid Muaffan
Posting Komentar