Memaknai Jawa Berbahasakan Sunda Bertuliskan Pena Tutul
(Kenangan Mengaji ke Abuya Muhtadi Dimyati)
Di tengah panas yang tak terik ini sayup-sayup terdengar pengajian dari Musholla di dekat hamparan sawah dan empang, disana terlihat santri duduk melingkar dan di tengah-tengahnya sang guru sedang membacakan kitab. Begitu teduh memandang sosok mulianya, di tengah usia yang sudah cukup lanjut dengan setia beliau menguraikan Kitab Nihayatul Muhtaj Syarh al Minhaj (ŁŁŲ§ŁŲ© Ų§ŁŁ
ŲŲŖŲ§Ų¬ Ų§ŁŁ Ł
Ų¹Ų±ŁŲ© Ł
Ų¹Ų§ŁŁ Ų§ŁŁŲ§Ųø Ų§ŁŁ
ŁŁŲ§Ų¬ ) karya Syaikh Syamsuddin bin Muhammad bin Ahmad bin Hamzah ar-Ramli atau yang terkenal dengan Imam Syafii Junior (Wafat 1004 H).
Sebuah Kitab Fiqh Bermadzhabkan Syafi’i yang merupakan Syarh dari Kitab Minhajuth Thalibin wa Umdatul Muftin karya al Imam Abu Zakaria Muhyiddin bin Syarf al Nawawi al Dimasqi, atau dikenal dengan nama Imam an Nawawi. Dan tokoh yang duduk di tengah halaqah ini tak lain Abuya Muhtadi Dimyati, Putra Ulama Karismatik banten Abuya Dimyati yang merupakan Pengasuh Pesantren Raudhatu Ulum, Kampung Cidahu, Desa Tanagara, Kecamatan Cidasari, Kabupaten Pandeglang.
Pesantren yang diasuh beliau sejak tahun 2003 setelah wafatnya ayahandanya Abuya Muhtadi ini terletak di kaki Gunung Karang dan terletak di selatan Ibu Kota Provinsi Banten, Kota Serang. Untuk menuju menuju ke Cidahu anda dapat berangkat dari Kota Serang kita bisa naik bis dari terminal Pakupatan, Kota Serang mengambil jurusan Kalideres-Labuhan dan turun di Pasar Cadasari, Pandeglang. Kemudian perjalanan dilanjutkan dengan naik ojek ke pesantren atau jika memungkin jalan kaki menaiki jalanan yang menanjak nan berliku. Hal ini mengingatkan penulis ketika menyusuri Desa Tawangsari, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang.
Pesantren Cadasari, begitulah banyak orang menyebut juga terkenal dengan asrama yang berbentuk kobong atau rumah bambu beratapkan daun rumbia ini terletak berpisahan anatar kobong. Untuk makam Abuya Dimyati sendiri masih berada sekitar 300 meter naik dari pesantren. Meski begitu tak membuat santri berdatangan dari penjuru tanah air untuk menimba ilmu pesantren yang didirikan Abuya Dimyati, pada tahun 1965 ini.
Hal yang cukup unik dari pengajian pada pagi hari ini adalah dimana Abah Muh (sapaan akrab Abuya Muhtadi) membacakan kitab dengan sistem bandongan yang disampaikan dengan makna jawa, menguraikan dengan bahasa Sunda dan menuliskan makna dengan pena tutul.
Kajian pada pagi hari ini membahas tentang bab Zakat. Meski tak begitu paham dikarenakan kyai kelahiran Pandeglang, 28 Jumadil Ula 1374/26 Desember 1953 ini menguraikan makna kitab dengan bahasa Sunda Banten, kami berusaha untuk menyimak pengajian yang dimulai pada pukul 09.00 ini karena penyampaiannya dengan bahasa Sunda Banten.
Berikut beberapa keterangan yang kami catat dalam pengajian Mudzakarah Mudzakaroh Muhtadi Cidahu Banten (M3CB) ini.
1. Hormatilah orang kecil maka engkau akan dimuliakan orang besar (mengutip nasehat Syekh Nawawi Banten)
2. Kita harus berhati-hati dalam mengutip ayat, jika hanya sepotong-potong maka akan rancu maknanya seperti PKI yang dulu melarang sholat karena mengutip ayat
ŁَŁَŁْŁٌ ŁِŁْŁ
ُŲµَŁِّŁŁَ
"Maka celakalah orang yang shalat" (QS. Al-Ma'un, Ayat 4)
Padahal ada ayat selanjutnya yang harus disambung cara bacanya meskipun terpisah ayatnya
Ų§ŁَّŲ°ِŁŁَ ŁُŁ
ْ Ų¹َŁْ ŲµَŁَŲ§ŲŖِŁِŁ
ْ Ų³َŲ§ŁُŁŁَ
(yaitu) orang-orang yang lalai terhadap shalatnya,
(QS. Al-Ma'un: 5)
3. Kita harus berusaha membenarkan kesalahan bacaan Al-Qur'an masyarakat, karena jika tidak maka akan banyak terjadi kerancuan makna.
4. Negara itu terbentuk dari 4 unsur ulama(Ų¹ŁŁ
Ų§Ų”)، pemimpin (Ų¹Ł
Ų±Ų§Ų”) pengusaha (Ų§ŲŗŁŁŲ§Ų”) dan fakir miskin (ŁŁŲ±Ų§Ų”).
Memandang Abah Muh (sapaan akrab Abuya Muhtadi)
dengan wajah yang mulai menua dan jenggot putih nan tebal itu, kyai 68 tahun ini masih begit sabar mengajar santri yang berasal dari umur yang beragam mulai 20 sampai 60-an. Santri tersebut ada yang mukim di pesantren atau bahkan sudah menjadi pengasuh pesantren yang berasal dari Tangerang, Serang, Pandeglang, Cilegon dan beberapa kota di Banten. Sosok beliau dikenal sebagai sesepuh para ulama Banten yang tergabung dalam Halaqah Ulama Bantaniyyin.
Keikhlasan beliau lah yang membuat para santri terus bertahan meski durasi cukup lama. Di tengah pengajian berlangsung terlihat beliau menahan kantuk bahkan sempat beberapa kali tertidur di pertengahan pengajian. Beliau begitu memegang teguh amanah ayahanda sekaligus guru utamanya yang wafat pada 7 Sya'ban 1424 H/3 Oktober 2003
Ų·Ų±ŁŁŲŖŁ Ų§ŁŲŖŲ¹ŁŁ
(Jalan Hidup saya adalah Mengaji)
Tetapi ketika bangun beliau langsung melanjutkan pengajian, melihat fenomena menjadi teringat pada sosok Gus Dur ketika rapat sidang dengan MPR dimana dengan kondisi tidur Gus Dur masih mampu memahami jalannya sidang. Ketika ditanya Gus Dur berkata hanya menebak dari akhirat kalimat yang disampaikan pemimpin sidang karena menurut beliau perkataannya tak jauh dari persidangan dari awal.
Abuya Muhtadi memang dikenal jarang tidur di malamnya, yang mungkin banyak diisi dengan mujahadah dan muthola'ah kitab. Keteladanan itu mungkin mengalir dari ayahandanya yang konon mampu membacakan Al-Qur'an sebanyak 45 juz (1 1/2 khataman) di setiap malam dalam sholat tarawihya.
Abuya Muhtadi dikenal sebagai sosok yang begitu istiqomah dalam mengaji, tak kurang 38 tahun beliau mengaji ke beberapa pesantren, dari ilmu fiqih, qiroat, tafsir, tasawuf dan beberapa cabang ilmu keislaman lainnya.
Banyak kalangan menjulukinya bahwa beliau adalah Mufti Syafiiyyah Nasionalis Banten. Gelar tersebut tersebut karena selain dalam keilmuannya, juga begitu besar semangat nasionalismenya, terlebih kepada organisasi masyarakat yang anti nasionalisme.
Tak cukup beliau juga memiliki ilmu yang langka dimiliki ulama lainnya, yakni ketajaman Bashirah (Mata Bathin). Anugerah ini mungkin didapatkan dari perjuangan dakwah dan riyadhoh (tirakat) yang dijalaninya, salah satunya semenjak umur 18 tahun sampai sekarang beliau masih menjalani shaum dahri (Puasa setiap hari bertahun tahun).
Pengajian pun berakhir pada pukul 12.00, setelah beliau menguraikan kitab kedua yang dikaji pada pagi ini, yakni Kitab Ghunyah, sebuah kitab bermuatan ajaran Tasawuf karya Sulthonil Auliya' Syekh Abdul Qodir Al-Jailani. Kemudian acara dilanjutkan dengan sholat dzuhur berjamaah yang langsung diimami oleh kyai yang sudah hafal Al-Qur’an dengan riwayat Qiroah Asyr (Bacaan 10 Imam Ahli Qiro'at)
Fenoma ini kami saksikan sendiri ketika di tengah pengajian beliau membacakan ayat suci Al-Qur’an dengan hafalan yang lancar dan sedikit menjelaskan tentang ilmu Qira’at. Beliau sendiri seminggu sekali mengajarkan kitab Thayyibatun Nasyr karya Ibnul Jazari yang menguraikan tentang Qiroat Imam Sepuluh (Qiroah Asyr) yang diajarkan dalam kajian esok hari.
Terkait jadwal pengajian yang diasuh Abah Muh yang dilaksanakan pagi hari adalah sebagai berikut:
1. Sabtu : Mughni Muhtaj dan Al-Ihkam
2. Ahad: ar-Roudhoh, Tuhfah, Ihya Ulumuddin, Shohih Muslim dan Thayyibatun Nasyr
3. Senin: Nihayatul Muhtaj dan Ghunyah
4. Rabu: Tafsir Nawawi dan Ithaf (Malam Hari)
Selesai sholat beliau turun ke ndalem dan saat itulah jamaah bisa sowan ke ndalem beliau. Meski hanya sebentar tetapi dari tangan mulianya telah tercermin keagungan akhlaknya dan luasnya samudra ilmunya. Beliau tak segan menerima tamu siapapun tak memandang kedudukan, harta, maupun rupa. Semua keluhan, harapan, didengarnya dan satu persatu di doakan olehnya.
Semoga kita semu senantiasa memperoleh keberkahan dari Abuya Muhtadi dan juga ayahandanya, Abuya Dimyathi yang telah berhasil mendidik banyak ulama seperti KH. Abdul Mujib Imron (Pengasuh PP. Al-Yasini Pasuruan), KH. Agus Muhammad Fahim (Pengasuh PP. Al-Munawwariyyah Malang) Habib Hasan Assegaff (Pengasuh Majelis Maulid Nurul Mustofa) dan ulama besar lainnya. Dan semoga kita dapat terus semangat mempelajari ilmu agama sebagai bekal hidup dunia dan akhirat. Karena menuntut ilmu tak mengenal waktu dari semenjak lahir sampai ajal menjemput.
Ų·ŁŲØ Ų§ŁŲ¹ŁŁ
Ł
Ł Ų§ŁŁ
ŁŲÆ Ų§ŁŁ Ų§ŁŁŲŲÆ
Pandeglang, 6 Agustus 2018
Muhammad Abid Muaffan
Santri Backpacker Nusantara
Posting Komentar