Hal yang paling menarik dalam kitab Babad Arung Bondan dan dapat dijadikan interpretasi lebih lanjut adalah pernyataan bahwa Gajah Mada merupakan anak dari seorang Mahapatih. Adapun nama patih yang menjadi ayah Gajah Mada masih belum akurat, sebab dalam kisah-kisah tradisional nama tokoh sering berganti karena diceritakan secara berulang-ulang dalam kurun waktu yang berbeda.
PARARATON
Krtarajasa Jayawardhana, atau dalam Pararaton dikenal dengan Raden Wijaya disebutkan memiliki beberapa pengikut yang setia. Merekalah yang mengiringi Raden Wijaya dalam pengungsian dan kemudian membuka hutan Trik sebagai cikal bakal Majapahit. Pengikut-pengikut tersebut diantaranya adalah Lembusora, Nambi, Ranggalawe, Gajah Pagon, Pedang Dangdi, dan lainnya.
Baca Napak tilas pelarian Raden Wijaya ke Madura
Dikisahkan bahwa salah satu pengiring Raden Wijaya bernama Gajah Pagon, terluka karena terkena tombak di pahanya ketika berperang melawan pengikut Jayakatwang dari Kadiri. Namun walaupun dalam kondisi terluka, Gajah Pagon tetap mampu berkelahi melawan orang-orang dari Kadiri yang mengejar-ngejar rombongan Raden Wijaya.
Setelah tentara Kadiri dapat dihalau, rombongan Raden Wijaya memasuki hutan di daerah Talaga Pager. Setelah itu mereka memutuskan untuk menuju ke Desa Pandakan dan disambut oleh kepala desa bernama Macan Kuping. Di desa ini, Raden Wijaya disuguhi kelapa muda yang setelah dibuka berisi nasi putih. Kemudian perjalanan berlanjut menuju Pulau Madura dan meminta bantuan kepada Arya Wiraraja. Namun, karena luka yang diterimanya, Gajah Pagon harus ditinggalkan di Desa Pandakan (Hardjowardojo 1956:39-40).
Mengenai tokoh Gajah Pagon Kitab Pararaton menyatakan:
“Gajah Pagon tidak dapat berjalan, berkata Raden Wijaya: ‘Penghulu Desa Pandakan saya titip seorang teman, Gajah Pagon tak dapat berjalan, agar ia tinggal di sini’.
Berkatalah orang Pandakan: ‘Hal itu akan membuat buruk taunku, juka Gajah Pagon ditemukan di sini, sebaiknya jangan ada pengikut tuanku yang diam di Pandakan. Seyogyanya ia berdiam di tengah kebun, di tempat orang menyabit rumput ilalang, di tengah-tengahnya dibuat sebuah ruangan terbuka dan dibuatkan gubuk, sepi taka da orang yang tahu, orang-orang Pandakan membawakan makanannya setiap hari’.
Gajah Pagon lalu ditinggalkan di situ….” (Hardjowardojo 1965:40).
Gajah Pagon tidak diceritakan lebih lanjut oleh Kitab Pararaton, namun dapat ditafsirkan bahwa keadaan Gajah Pagon berangsur-angsur membaik dan sembuh dari lukanya. Kemungkinan lain yang terjadi adalah ia dinikahkan dengan anak perempuan dari Macan Kuping.
Setelah kepala desa Desa Pandakan meninggal dunia, Gajah Pagon menggantikan tugasnya sebagai kepala desa. Selain itu, Majapahit dapat didirikan dengan menunjuk Raden Wijaya sebagai raja. Saat itulah para pengikut setia Raden Wijaya masing-masing diberikan kedudukannya, walaupun dalam berbagai sumber menyatakan bahwa ada yang tidak puas dengan kedudukan yang diberikan. Namun, Gajah Pagon tetap menjadi kepala desa Desa Pandakan.
Tafsiran selanjutnya yang terjadi adalah Gajah Pagon memiliki putra dari perkawinannya dengan anak Macan Kuping. Anak lelaki yang tumbuh gagah seperti ayahnya yang diberi nama Gajah Mada.
Gajah Mada dilahirkan dan dibesarkan di Desa Pandakan. Kemudian, ia mendapat pendidikan kewiraan oleh ayahnya. Nama desa Pandakan sendiri mungkin berlokasi di wilayah Pandakan sekarang, salah satu kecamatan di utara Malang. Apabila hal ini benar adanya, maka dapat disimpulkan bahwa Gajah Mada lahir di Jawa Timur, di dataran tinggi Malang, sebagai daerah awal mengalirnya Sungai Brantas.
Diawal berdirinya Majapahit, orang yang cukup disegani dan menggunakan nama “Gajah” hanya Gajah Pagon. Jika sang ayah, Gajah Pagon dikenal pada masa pemerintahan Raden Wijaya, maka Gajah Mada mulai dikenal pada masa pemerintahan Raja Jayanegara. (AGU)
(Sumber: Gajah Mada, Biografi Politik- Agus Aris Munandar. Gambar sampul karya Pramono Estu)
Posting Komentar