Mengenal Lebih Dekat dengan Pesantren Al-Quran Sunan Pandanaran
Kamis 26 November 2015
Menyusuri lereng Merapi, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, kita akan mendapati Pondok Pesantren Sunan Pandanaran. Dikenal sebagai pesantren Al-Quran, dan menjadikan Al-Quran sebagai pondasi dalam membangun kader bangsa.
Kader yang lahir dari Al-Quran diharapkan mampu membangun peradaban Indonesia dan dunia. Pesantren yang terletak di Jl. Kaliurang Km.12,5, Candi Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman ini bukanlah secara langsung didirikan oleh Sunan Pandanaran. Melainkan, adalah KH Mufid Mas’ud yang mendirikan, merintis, dan mengembangkan Pesantren ini.
Dinamakan Pesantren Pandanaran, pasalnya Kiai Mufid adalah keturunan ke-14 dari Sunan Pandanaran. Secara historis, Pesantren Sunan Pandanaran berdiri pada tahun 1975. Mula-mula, Pesantren ini berdiri di atas tanah wakaf seluas 2000 meter persegi, dengan satu rumah dan mushalla di atasnya.
Secara resmi PPSPA berdiri pada 17 Dzulhijjah 1395 H, bertepatan dengan tanggal 20 Desember 1975 M. Peresmiannya dilakukan oleh Sri Paduka Paku Alam VIII, dengan disaksikan Bupati Sleman, Drs. Projosuyoto, serta tokoh-tokoh agama dan masyarakat. Menurut sumber yang dirilis oleh majalah Suara Pandanaran mendiang Kiai Mufid mengaku sering bersilaturahmi dengan tokoh-tokoh Islam.
Bahkan, mengakui pula telah terpengaruh oleh mereka. Di antaranya adalah KH Abdul Hamid (Pasuruan), Sayyid Muhammad Ba’abud (Malang), KH Muntaha (Wonosobo), KH Ali Maksum (Yogyakarta), Syeikh Muhammad Yasin bin Muhammad Isa (Makkah), dan Sayyid Muhammad bin Sayyid Alwy Al-Hasani Al Maliky Al-Makky (Makkah).
Lantaran semangat silaturahmi itulah, ikatan batiniyah antara Kiai Mufid dengan para Ulama semakin hangat. Dan lantaran itu pulalah Kiai Mufid mendapat titah dari Kiai Hamid Pasuruan, supaya mendirikan Pesantren yang menjadi wadah para penghapal al-Qur’an. Perkembangan Pesantren Pandanaran adalah Pesantren al-Qur’an.
Dikarenakan Kiai Mufid sejak awal mengasuh langsung program tahfidz, maka sudah sewajarnya apabila hufadz mengalami sedikit guncangan pada saat beliau sakit hingga wafatnya. Akan tetapi, sistem yang telah kiai Mufid siapkan jauh sebelumnya mampu mengatasi masa transisi tersebut secara wajar. Hal ini dibuktikan dengan eksistensi santri mukim kian bertambah secara kualitas dan kuantitas hingga kini.
Sepeninggal Kiai Mufid, amanat kepemimpinan pesantren telah diwariskan kepada semua putra-putri beliau khususnya KH Mu’tashim Billah. Dalam perkembangannya, memang ada beberapa perubahan, namun demikian tidak berarti merubah apa yang telah ditinggalkan kiai Mufid.
Perubahan-perubahan itu lebih kepada untuk menyempurnakan serta meningkatkan kualitas pengajaran kepada santri dan pelayanan terhadap masyarakat. Lebih-lebih perubahan itu sifatnya hanya furu’iyah.
Syahdan, kini dapat dilihat betapa Pesantren Pandanaran mampu melayani segenap kebutuhan masyarakat. Dari sisi pendidikan formal, Pesantren ini memiliki lembaga pendidikan dari tingkat, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, yang kemudian dikembangkan pula pendidikan tinggi berbasis pesantren berupa STAI Sunan Pandanaran.
Dari sisi pelayanan umat, Pesantren Pandanaran memiliki, KBIH Sunan Pandanaran untuk melayani para jama’ah haji, dan Jam’iyah Mubalighin Sunan Pandanaran (Jamuspa) sebagai wadah para kader dai-dai Islam, serta Baitul Mal wat Tamwil (BMT) Sunan Pandanaran untuk mengembangkan aspek ekonomi kerakyatan.
Seiring perkembanganya, Pesantren Pandanaran kerapkali mendapat tawaran berupa tanah wakaf. Dan hal ini difungsikan oleh pihak pesantren untuk lebih mengembangkan peta dakwah. Antara lain, lahan yang berada di dusun Tlepok, Gunung Kidul kini dimanfaatkan sebagai cabang pesantren Pandanaran menjadi Pesantren Al-Jauhar.
Nama Al-Jauhar dinisbahkan kepada istri almarhum Kiai Mufid, yakni Nyai Hj. Jauharoh Munawir yang merupakan putri dari Kiai Munawir Krapyak, Yogyakarta. Pesantren Al-Jauhar, kini juga telah mempunyai lembaga pendidikan formal berupa Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah Al-Jauhar. Selain itu, terdapat pula cabang Pesantren Pandanaran di daerah Merauke, Papua yang juga merupakan tanah wakaf.
Dan semuanya itu berada dalam satu kesatuan, yakni Yayasan Pesantren Sunan Pandanaran. Al-Qur’an sebagai Pondasi Melihat perkembangan Pesantren Pandanaran yang demikian pesat, tentu dibalik itu ada proses yang panjang. Kiai Mufid tidaklah meraih kesuksesan tanpa kerja keras.
Semasa kecil beliau adalah orang tak berpunya, bukan dari kalangan pesantren, dan tumbuh dalam suasana perang pada masa colonial Belanda-Jepang. Kendati demikian, dengan segala keterbatasannya, Kiai Mufid tetap tekun berguru kepada berbagai Kiai dan menghafalkan al-Qur’an.
Semasa menghafalkan al-Qur’an Kiai Mufid muda senantiasa melakukan riyadhah, yakni laku prihatin seperti menghatamkan al-Qur’an 40 hari disertai puasa dan lain sebagainya. Ketekunan kiai Mufid ini tak surut meski beliau telah menghatamkan al-qur’an. Dalam kehidupannya, kiai Mufid selalu istiqamah dalam tadarus al-Qur’an dan Dalailul Khairat.
Semasa hidupnya, beliau tak pernah alpa mengkhatamkan al-Qur’an walau dalam perjalanan. Sementara dalam kesehariannya, Dalailul Khairat selalu dibaca setelah terlebih dahulu menyelesaikan tadarus al-Qur’an sekian juz per hari.
Dua hal di atas (al-Qur’an dan Dalailul Khairat) tak bisa terlepas dari sosok kiai Mufid. Dalam berbagai kesempatan, Kiai Mufid selalu menekankan secara eksplisit bahwa dalam menjalani kehidupan, al-Qur’an harus menjadi senjata di tangan kanan dan shalawat di tangan kiri.
Dari berbagai sumber menyebutkan, bahwa senjata Kiai Mufid tak lain adalah doa-doa Qur’aniyah dan Shalawat. Kiai Mufid sering menekankan, bahwa untuk meraih kesuksesan hidup dunia akhirat, Santri Pandanbaran harus selalu berwasilah secara istiqomah membaca al-Qur’an dan Sholawat (khususunya Dalalilul Khairat).
Pandangan hidup seperti di atas oleh kiai Mufid kemudian diterjemahkan dalam bentuk praktik spiritual yang bersumber ajaran tasawuf berupa kegiatan mujahadah (istighoshah) dalam semua bentuknya. Dengan menerapkan model tarbiyah yang demikian, Kiai Mufid bertujuan membentuk para pribadi-pribadi santri yang berkarakter tawadhu’, serta tidak congkak dari ilmu yang mereka miliki.
Hal ini dapat dilihat hingga sekarang, bahwa mujahadah menjadi menu harian santri Pandanaran yang mengiringi semua kegiatan thalabul ilmi. Nampaknya, kiai Mufid betul-betul “berdialog” kepada Allahswt lewat al-Qur’an dan “berdialog” dengan Nabi Muhammad melalui Shalawat (Dalalilul Khairat) hingga mendapatkan berbagai karunia luar biasa atas izin Yang Maha Kuasa.
Apa yang diperjuangkan kiai Mufid dulu, bisa dilihat sekarang. Berdiri, tumbuh, dan berkembangnya Pesantren Sunan Pandanaran tak lepas dari riyadhah kiai Mufid lewat al-Qur’an dan Shalawat. (Anwar Kurniawan/Abdullah Alawi)
Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/63876/lebih-dekat-dengan-pesantren-al-quran-sunan-pandanaran
Posting Komentar