Napak Tilas Leluhur Masyayikh Lirboyo
"Bersahabatlah dengan Al-Qur'an, bahkan seandainya mentari tak lagi bersinar, hatimu takkan pernah gelap gulita"
(KH. Abdul Karim Lirboyo)
KH. Abdul Karim (1856-1954)_atau dikenal dengan Mbah Manab merupakan Pendiri Pondok Pesantren Lirboyo. Semenjak didirikan pada tahun 1910, Pesantren Lirboyo telah melahirkan ribuan ulama di Persada Nusantara. Lirboyo yang sebelumnya menjadi tempat segala maksiat dengan izin Allah SWT dapat dirubahnya menjadi kawasan surgawi penuh dengan santri yang hilir mudik mengaji.
Di Dusun Banar, Desa Diyangan, Kawedanan, Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah, Ulama Besar ini dilahirkan. Dari sebuah kampung yang berada tak jauh (+/- 6 KM) dari Candi Borobudur yang pernah menjadi salah satu dari tujuh keajaiban dunia ini Mbah Manab lahir. Beliau adalah putra dari Kyai Abdurrahim dan Nyai Salimah, pasangan suami istri yang lahir dari keluarga sederhana dan nasab yang tak begitu terpandang. Namun keduanya mampu melahirkan dan mendidik Abdul Karim yang kelak akan memimpin salah satu pesantren terbesar di Indonesia.
Kyai Abdul Karim meski terlahir dari desa terpencil di tengah-tengah Pulau Jawa, namun berkat ketekunan, riyadhoh dan khidmah pada Sang Guru khususnya Syaikhona Kholil Bangkalan dan Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy'ari, bersama istri dan kedua menantunya KH. Marzuqi Dahlan (Kediri) dan KH. Mahrus Aly (Cirebon) mampu membina pesantren yang menjadi kawah candradimuka ribuan kader penegak kalimatullah dari berbagai penjuru tanah air. Semoga kita bisa meneladani dan melanjutkan jejak langkah Mbah Manab dan Masyayikh Lirboyo juga guru-guru kita semua untuk terus menjadi pelita ilmu bagi umat sebagaimana wasiat Mbah Manab "Santri Lek Muleh Ojo Lalu Madep Dampar" (Santri jika pulang jangan sampai tidak mengajar).
Dan Berikut Cuplikan Perjalanan Hidup KH. Abdul Karim disarikan dari buku Tiga Tokoh Lirboyo dikutip dari laman Lirboyo.net.
KH. Abdul Karim lahir tahun 1856 M di desa Diyangan, Kawedanan, Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah, dari pasangan Kiai Abdur Rahim dan Nyai Salamah. Manab adalah nama kecil beliau dan merupakan putra ketiga dari empat bersaudara. Saat usia 14 tahun, mulailah beliau melanglang buana dalam menimba ilmu agama dan saat itu beliau berangkat bersama sang kakak (Kiai Aliman).
Pesantren yang pertama beliau singgahi terletak di desa Babadan, Gurah, Kediri. Kemudian beliau meneruskan pengembaraan ke daerah Cepoko, 20 km arah selatan Nganjuk, di sini kurang lebih selama 6 Tahun. Setalah dirasa cukup beliau meneruskan ke Pesantren Trayang, Bangsri, Kertosono, Nganjuk Jatim, disinilah beliau memperdalam pengkajian ilmu Al-Quran. Lalu beliau melanjutkan pengembaraan ke Pesantren Sono, sebelah timur Sidoarjo, sebuah pesantren yang terkenal dengan ilmu Shorof-nya, 7 tahun lamanya beliau menuntut ilmu di Pesantren ini. Selanjutnya beliau nyantri di Pondok Pesantren Kedungdoro, Sepanjang, Surabaya. Hingga akhirnya, beliau kemudian meneruskan pengembaraan ilmu di salah satu pesantren besar di pulau Madura, asuhan ulama’ kharismatik; Syaikhona Kholil Bangkalan. Cukup lama beliau menuntut ilmu di Madura, sekitar 23 tahun.
Pada usia 40 tahun, KH. Abdul Karim meneruskan pencarian ilmu di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jatim, yang diasuh oleh sahabat karibnya semasa di Bangkalan Madura, KH. Hasyim Asy’ari. Hingga pada akhirnya KH. Hasyim Asy’ari menjodohkan KH. Abdul Karim dengan putri Kiai Sholeh dari Banjarmelati Kediri, pada tahun1328 H/ 1908 M.
KH. Abdul Karim menikah dengan Siti Khodijah Binti KH. Sholeh, yang kemudian dikenal dengan nama Nyai Dlomroh. Dua tahun kemudian KH. Abdul karim bersama istri tercinta hijrah ke tempat baru, di sebuah desa yang bernama Lirboyo, tahun 1910 M. Disinilah titik awal tumbuhnya Pondok Pesantren Lirboyo.
Kemudian pada tahun 1913 M, KH. Abdul karim mendirikan sebuah masjid di tengah-tengah komplek pondok, sebagai sarana ibadah dan sarana ta’lim wa taalum bagi santri.
Secara garis besar KH. Abdul karim adalah sosok yang sederhana dan bersahaja. Beliau gemar melakukan riyadlah; mengolah jiwa atau tirakat, sehingga seakan hari-hari beliau hanya berisi pengajian dan tirakat.
Pada tahun 1950-an, tatkala KH. Abdul Karim menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya -sebelumnya beliau melaksanakan ibadah haji pada tahun 1920-an- kondisi kesehatan beliau sudah tidak memungkinkan, namun karena keteguhan hati akhirnya keluarga mengikhlaskan kepergiannya untuk menunaikan ibadah haji, dengan ditemani sahabat akrabnya KH. Hasyim Asy’ari dan seorang dermawan asal Madiun H. Khozin.
Sosok KH. Abdul Karim adalah sosok yang sangat istiqomah dan berdisiplin dalam beribadah, bahkan dalam segala kondisi apapun dan keadaan bagaimanapun, hal ini terbukti tatkala beliau menderita sakit, beliau masih saja istiqomah untuk memberikan pengajian dan memimpin sholat berjamaah, meski harus dipapah oleh para santri. Akhirnya, pada tahun 1954, tepatnya hari senin tanggal 21 Ramadhan 1374 H, KH. Abdul Karim berpulang ke rahmatullah, beliau dimakamkan di belakang masjid Lirboyo.
Magelang, 19 Maret 2020
Muhammad Abid Muaffan
Posting Komentar